Berita

Anies Baswedan/Net

Politik

Islam Anies Baswedan

RABU, 12 APRIL 2017 | 11:54 WIB | OLEH: SYAHGANDA NAINGGOLAN

ISU Islam militan dan radikal distempelkan ke kubu Anies Baswedan (AB) dalam Pilgub DKI putaran kedua ini. Baik dalam bentuk video kampanye Ahok yang baru-baru ini viral, di mana ummat Islam itu diidentikkan dengan kekerasan dan anti toleransi. Maupun, munculnya gerakan sebagian ummat Islam yang mengaku moderat, yang memberikan kesan berseberangan dengan Islam radikal dan transnasional di balik AB group.

Kelompok yang mengaku moderat ini memberikan dukungan kepada Ahok dengan dalih bahwa mendukung Ahok, sang penista Islam, lebih banyak manfaatnya ketimbang mendukung AB yang ada unsur Islam "impor" tersebut.

Ditambahkan pula bahwa sebagian Islam "impor" ini merupakan ideologi transnasional yang bertentangan dengan Pancasila.

Dalam membahas isu ini kita perlu melihat secara jernih berdasarkan pendekatan historis dan sosiologis untuk melihat keabsahan Logik dari isu tersebut. Pertama, apakah Islam itu bersifat lokal atau transnasional? Kedua, Apakah Pancasila itu bersifat lokal atau transnasional? Ketiga, apakah Islam itu, baik jika transnasional maupun bersifat lokal, bertentangan dengan Pancasila? Keempat, apakah dinamika Islam dalam politik kita bersifat historis atau a historis?

Saya akan menjawab hal ini secara mix saja. Pertama, pada tahun 1926, pendiri Pancasila versi rezim Jokowi sekaligus bapak bangsa, Bung Karno, menulis tentang Marxisme, Islamisme dan Nasionalisme. Ini adalah tulisan "master piece" pemimpin besar revolusi kita. Dalam tulisan tersebut bung Karno sejak awal menekankan bahwa Islam itu bersifat transnasional, bukan lokal. Namun, Bung Karno meyakini bahwa Islam itu berguna untuk dua hal, pertama, mengusir penjajah  Belanda. Dan kedua, Islam itu akan menjadi lokal di bumi Indonesia sebagai sumber peradaban.

Tulisan bung Karno itu sudah berusia 90 an tahun. Ketika itu transnasional belum masuk pada frame global atau globalisasi. Lalu bagaimana situasinya dalam keniscayaan globalisasi saat ini? Ini akan kita bahas nanti.

Kedua, tentu saja kita harus melihat apakah Islam ini bertentangan dengan Pancasila? Tentu saja kita melihat sebaliknya. Islam adalah sumber nilai atau salah satunya bagi resultante nilai-nilai Pancasila itu. Resultante bukan bersifat skalar yang tanpa arah, melainkan bersifat vektoral yang memberi arah. Sumber nilai dari sisi Islam ini apakah bersifat lokal? Tentu saja bersifat transnasional, karena agama-agama samawi, seperti juga Kristen dan Katholik, bersifat transnasional.

Ketiga, Pancasila dalam pikiran bung Karno bukanlah ideologi lokal. Selain sila silanya bersifat universal, Bung Karno sendiri memaksudkan sila Kemanusian sebagai Internasionalisme. Mengapa bung Karno sudah berpikir global jauh sebelum Indonesia Merdeka? Karena Bung Karno menyadari bahwa bangsa ini adalah bangsa besar. Selain itu, persoalan atau eksistensi suatu bangsa hanyalah bisa difahami dalam kerangka "beyond". Yang terakhir ini terbukti bung Karno mengekspor revolusinya dan tentu saja dengan ideologi (Pancasila) kepada negara negara new emerging force".

Keempat, soal dinamika politik Islam bukanlah hal baru di Indonesia. Dikotomi maupun multi front antara kekuatan kekuatan Islam selalu berlangsung sebagai akibat terjadinya revitalisasi pemahaman atas Islam sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Kontestasi eksistensi mazhab dan pilihan politik menjadi dinamis seiring perubahan yang terjadi baik pada skala lokal maupun global.

Globalisasi dan Transnasional Islam


Transnasional Islam di masa lalu vs masa kini (masa global) tentu sangat berbeda. Transnasional Islam dahulu adalah sebuah ideologi perjuangan melawan penjajahan dan kapitalisme/markentalisme yang dikembangkan penjajah. Sebagaimana komunisme yang transnasional, di masa itu, Islam memberikan sebuah konsep dan aksi alternatif untuk mengatur kehidupan bangsa bangsa yang dijajah terbebas dari penjajahan.

Saat ini, ketika globalisasi terjadi, khususnya setelah revolusi media sosial, Islam menjadi identitas, yang sebagiannya dapat bersifat ideologi, namun sebagiannya merupakan peristiwa budaya.

Sebagai ideologi, dia tetap melakukan kontestasi mengimbangi neoliberlisme dan kapitalisme barat, yang saat ini mengontrol dunia (rule the world) secara sempurna.

Sebagai budaya, identitas ini merupakan aktualisasi diri atau kelompok. Hal ini menjadi sifat atau karakter dari globalisasi terkini, yakni setiap manusia ingin dilihat, ingin didengar. Dan setiap manusia ingin menjadi messenger (pembawa pesan/berita).

Sifat global dari globalisasi ini akan menempatkan kelompok manusia sebagai bagian masyarakat global. Jika merujuk pada Ritzer dan Giddens, bisa menjadi lokal dalam global (glocalized). Namun, berpikir bahwa ada ideologi atau keyakinan atau konsep berkehidupan yang dibatasi teritorial, merupakan konsep usang dalam pandangan globalist.

Islam Anies Baswedan

Menganggap adanya hantu di belakang AB karena adanya dukungan Islam transnasional merupakan kekeliruan besar. Pertama, dalam konteks pribadi AB, yang merupakan anak sekolah se-alumni dengan Hillary Clinton dan Mark Zuckenburg, pendiri facebook, di Maryland University, justru keislaman AB sudah teruji dalam masyarakat pluralistik (multiculturalist society). Jejak ini menunjukkan agenda agenda radikalisme pada diri AB tidak mungkin terjadi.

Kedua, adanya dukungan Habib Rizieq, HTI, dan bahkan diusung PKS sesungguhnya telah kita bahas di atas bahwa hal itu merupakan dukungan kelompok historis pada bangsa kita. Jika kita ingin berseberangan dengan AB dan pendukungnya, bukan berarti kita harus mendukung penista agama yang sesat. Ada opsi yang lebih manusiawi, seperti yang dilakukan SBY, netral.

Persoalan bangsa ini akan semakin tidak menentu jika kita memaknai secara salah apa yang seharusnya kita pikirkan sebagai sebuah kebenaran. Kebenaran yang harus kita tunjukkan adalah bahwa keberadaan Anies sebagai seorang muslim dan pendukung-pendukung muslim di belakangnya bukanlah suatu kejahatan terhadap Pancasila. Sebagai mana pemimpin besar revolusi kita, Bung Karno, mengajarkan pada kita bahwa memang Islam itu ajaran transnasional dan Islam itu penyumbang nilai2 pada Pancasila. Jika kita berpikir benar tentang kebenaran, maka kita harus menghilangkan prasangka dan buruk sangka atas Islamnya Anies Baswedan. [***]

Penulis adalah Direktur Sabang Merauke Circle

Populer

Konsesi Tambang Ormas Dicurigai Siasat Jokowi Kabur dari Kejaran Utang

Sabtu, 15 Juni 2024 | 12:27

Politikus Demokrat Usul Legalisasi Judol Buat Tambah Uang Negara

Senin, 17 Juni 2024 | 18:58

Preview Belgia Vs Slovakia: Hati-hati Pancingan Emosi

Senin, 17 Juni 2024 | 16:59

Bey Machmudin Pastikan Tak Ada Ormas Keagamaan di Jabar yang Kelola Tambang

Rabu, 12 Juni 2024 | 00:19

Bey Machmudin Siapkan Bonus Kontingen Peparnas 2024

Selasa, 11 Juni 2024 | 13:16

Bey Machmudin: Harus Ada Upaya Masif Hentikan Perundungan!

Jumat, 14 Juni 2024 | 05:24

Dugaan Korupsi Jaringan Internet Desa, Kejati Sumsel Periksa 7 Operator Siskeudes

Rabu, 12 Juni 2024 | 21:36

UPDATE

Partai Nasdem Komitmen Jadi Rumah Besar Politik Perempuan

Jumat, 21 Juni 2024 | 22:08

Picu PHK, Pakar Digital: Harusnya Merger Tokopedia-Tiktok Dari Awal Tidak Boleh

Jumat, 21 Juni 2024 | 21:56

Refly Harun Menyayangkan Jika Terjadi Pilkada “Brutal”

Jumat, 21 Juni 2024 | 21:52

Sultan Palembang Hingga Mantan Kabareskrim Susno Duadji Hadiri Nobar Perdana Film 'Dul Muluk dan Dul Malik'

Jumat, 21 Juni 2024 | 21:47

Komitmen Pemprov Sumut, Stunting Turun Diangka 14 Persen Tahun 2024

Jumat, 21 Juni 2024 | 21:43

Praktik KKN Terang-terangan Jadi Awal yang Buruk Bagi Pemerintahan Prabowo

Jumat, 21 Juni 2024 | 21:34

Jelang PON 2024, Pemko Banda Aceh Bakal Tertibkan Pengemis

Jumat, 21 Juni 2024 | 21:31

Pemain Judi Online Capai 2,3 Juta Orang, Kabareskrim: Kita Masukkan Penjara, Nanti Penjara Penuh

Jumat, 21 Juni 2024 | 21:18

Sekretaris Gapeksindo Sumut: Calon Pemimpin Perlu Paham Dunia Konstruksi

Jumat, 21 Juni 2024 | 21:04

Kepala Desa “Diamankan” ke Hotel Merdeka untuk Menangkan Kepala Daerah di Jateng?

Jumat, 21 Juni 2024 | 20:56

Selengkapnya