KETIKA berhasil menyelundup masuk Istana 23 Maret 2017, Gunarti mewakili para petani Kendeng menyerahkan secarik kertas berisi Tembang Macapat Pangkur kepada Presiden Jokowi.
Pangkur berasal dari kata ‘mungkur’ yang memiliki arti pergi atau meninggalkan. Tembang Pangkur menggambarkan kearifan kehidupan yang seharusnya dapat menjauhi berbagai hawa nafsu dan angkara murka. Di saat menghadapi sesuatu yang buruk sebaiknya manusia pergi menjauhi dan meninggalkan yang buruk tersebut.
Tembang Pangkur dipersembahkan kepada mereka yang sudah siap untuk meninggalkan segala sesuatu yang bersifat keduniawian dan mencoba mendekatkan diri kepada Tuhan. Tembang Macapat Pangkur yang diserahkan Gunarti kepada presiden Jokowi sudah saya muat di dalam naskah Nguri-Nguri Ibu Bumi Dipun Sakiti yang dimuat RMOL 24 Maret 2017.
Kini saya mencoba menghayati makna yang terkandung di dalam Tembang Macapat Pangkur terkait Serat Wedhatama:
Mingkar-mingkuring ukara (Membolak-balikkan kata) Akarana karenan mardi siwi (Karena hendak mendidik anak)
Sinawung resmining kidung (Tersirat dalam indahnya tembang)
Sinuba sinukarta (Dihias penuh kata-kata )
Mrih kretarta pakartining ilmu luhung (Agar menjiwai hakekat ilmu luhur)
Kang tumrap ing tanah Jawa (Yang ada di tanah Jawa)
Agama ageming aji (Agama “pakaian†diri)
Jinejer ing Wedhatama (Tersaji dalam serat Wedhatama),
Mrih tan kemba kembenganing pambudi (Agar jangan miskin budi pekerti)
Mangka nadyan tuwa pikun (Padahal meskipun tua dan pikun)
Yen tan mikani rasa (bila tak memahami rasa)
Yekti sepi sepa lir sepah asamun (Tentu sangat kosong dan hambar seperti ampas buangan)
Samasane pakumpulan (Ketika dalam pergaulan)
Gonyak-ganyuk nglelingsemi (Terlihat bodoh memalukan) S
i pengung nora nglegewa (Si bodoh tak menyadari),
Sangsayarda denira cacariwis (Semakin menjadi dalam membual)
Ngandhar-andhar angendukur (bicaranya ngelantur kesana-kemari),
Kandhane nora kaprah (Ucapannya salah kaprah),
Saya elok alangka longkangipun (Semakin sombong bicara tanpa jeda),
Si wasis waskitha ngalah (Si bijak mengalah),
Ngalingi marang sipingging (Menutupi ulah si bodoh).
Nggugu karsane priyangga (Menuruti kemauan sendiri),
Nora nganggo peparah lamun angling (Tanpa tujuan jika berbicara)
Lumuh ingaran balilu (Tak mau dikatakan bodoh),
Uger guru aleman (Seolah pandai agar dipuji),
Nanging janma ingkang wus waspadeng semu (Namun manusia yang telah mengetahui akan gelagatnya),
Sinamun samudana (Malah merendahkan diri),
Sesadoning adu manis (Menanggapi semuanya dengan baik),
Mangkono ilmu kang nyata (Begitulah ilmu yang benar)
Sanyatane mung we reseping ati (Sejatinya hanya untuk menentramkan hati),
Bungah ingaran cubluk (Senang jika dianggap bodoh),
Sukeng tyas yen den ina (Bahagia dihati bila dihina),
Nora kaya si punggung anggung gumunggung (Tak seperti Si bodoh yang haus pujian),
Ugungan sadina dina (Ingin dipuji tiap hari)
Aja mangkono wong urip (Jangan seperti itu manusia hidup).
Uripe sapisan rusak (Hidup sekali rusak),
Nora mulur nalare ting saluwir (Tidak berkembang akalnya berantakan),
Kadi ta guwa kang sirung (Seperti gua gelap yang angker),
Sinerang ing maruta (Diterjang angin)
Gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung (Bergemuruh bergema tanpa makna),
Pindha padhane si mudha (Seperti itulah anak muda kurang ilmu),
Prandene paksa kumaki (Namun sangat angkuh).
Berbekal keterbatasan dan kedangkalan daya tafsir yang saya miliki, dengan susah payah saya mencoba menghayati adhimakna yang terkandung di dalam Tembang Macapat Pangkur. Syukur
Alhamdullilah, saya berhasil merasakan suatu makna keindahan luar biasa meluas, meninggi dan mendalam.
Insya Allah, suatu makna keindahan yang dapat membuka mata sanubari dan nurani saya untuk lebih mampu memahami inti makna perjuangan para petani Kendeng dalam menghadapi kekhilafan mereka yang kebetulan sedang memegang kendali kekuasaan di Tanah Air Angkasa tercinta.
[***]
Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan