. Paska digelar Pilkada Serentak 2017, pimpinan di daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota termasuk di Provinsi Aceh, tidak boleh merotasi atau mengganti pejabat di lingkungan pemerintahan seenaknya.
Dengan demikian stabilitas di daerah bisa tetap dijaga. Begitu pandangan pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf saat dihubungi wartawan, Kamis (23/3).
"Stabilitas daerah tetap harus dijaga. Namun kalau ada yang mengganti pejabat harus sesuai aturan dan harus ada campur tangan pemerintah. Jika tidak mengikuti mekanisme dan UU Aparatur Sipil Negara maka keputusan mutasi tersebut bisa dibatalkan melalui Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Bisa dibatalkan karena sesungguhnya proses mutasi dan rotasi meski dengan cara seperti yang diatur misalnya oleh Kemenpan-RB," ujarnya.
Dia melanjutkan sebelum digelar mutasi pejabat, prosedur seperti lelang jabatan, proses test, wawancara, pengujian, lalu pembentukan tim seleksi harus dilakukan. Dia mengingatkan tindakan merotasi tidak bisa diganti seenaknya.
Terkait pernyataan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah yang mengatakan Presiden Joko Widodo saja tidak bisa membatalkan keputusannya, memutasi pejabat di lingkungan Pemprov Aceh, merupakan tindakan yang arogan.
Sebab menurut Asep, dalam konteks kepegawaian ada hirarki ada kewenangan-kewenangan presiden lewat kementerian, KASN bisa intervensi pada proses pengisian jabatan, rotasi mutasi dan demosi pejabat. UU ASN kan mengamanatkan hal itu.
"Jadi tidak bisa sembarangan, bisa dibatalkan oleh KASN itu," tegas Asep lagi.
Nah, Gubernur Aceh Zaini Abdullah ngotot memakai UU tentang Pemerintahan Aceh dalam melakukan pembelaannya terkait dengan mutasi pejabat Aceh tersebut, tetapi proses pengisian jabatan jabatan itu menurut dia, tetap mengacu kepada UU ASN karena pembinaan sumber daya manusia itu tetap ada di pusat.
Sementara itu pengamat politik dari UIN Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago menilai ada motif tertentu Gubernur Aceh Zaini Abdullah yang merotasi pejabat di lingkungan Pemprov Aceh di penghujung kekuasaannya.
Sebab, selai kalah di Pilkada, UU yang ada tidak memperbolehkan kepala daerah untuk merotasi pejabat sampai pelaksanaan Pilkada dianggap selesai.
"Ini orang sudah kalah dalam Pilkada masih ada motivasi merotasi dan mengutak-ngatik birokrasi, ini tentu ada motif," ujarnya.
Menurut Pangi, motif tersebut lebih cenderung kepada kepentingan pribadi bahkan patut diduga ada transaksional.
"Ini bisa dikatakan ada politik pragmatis. Harusnya tidak boleh terjadi, negara (pemerintah pusat) harus memberikan sanksi kepada pejabat yang sesuka hati memindahkan orang untuk kepentingan pribadi dia," demikian Pangi.
[rus]