PADA acara diskusi publik yang digagas oleh Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) dengan Keluarga Alumni Geologi Gadjah Mada (Kageogama) di Gedung Bidakara Jakarta, Senin (20/3), Dirjen Minerba telah mengeluarkan pernyataan kerasnya bahwa PT Freeport Indonesia (PTFI) tetap ngotot dengan semua tuntutannya untuk dipenuhi.
Antara lain soal divestasi, royalti, dan pajak. Serta tetap diberikan izin operasi sampai dengan tahun 2041. Termasuk, pernyataan dia bahwa "PTFI jangan keenakan mendapat izin ekspor konsentrat seperti pada sistem lama dan tolong tunjukan salah satu contoh di negara mana di dunia ini soal stabilisasi investasi bahwa aturan royalti dan pajaknya tetap".
Sejalan dengan itu, di tempat yang sama Senior Vice President Geo Engineering PTFI Wahyu Sunyoto menjelaskan bahwa sampai dengan saat ini telah ditambang bijih (ore) yang menghasilkan emas, perak, tembaga dan mineral ikutan lainnya sebanyak bijih 1,7 miliar ton dan masih ada tersisa potensinya bijih/ore sekitar 2,1 miliar ton akan habis ditambang pada akhir tahun 2054.
Ia tetap berharap persengketaan PTFI dengan pemerintah tidak berujung di arbitrase internasional. Bahkan dia lebih jauh mengancam dengan berhentinya operasi saat ini telah meruntuhkan tanah di tebing atau atap penambangan dengan cara "caving block", bahkan akibat runtuhnya dinding atas dan samping tambang bawah tanah akan mengakibatkan hilangnya biji berharga untuk diambil emas, perak, dan tembaga.
Lebih jauh Dirjen Minerba mengatakan bahwa PT Freeport Indonesia jangan keenakan dan memaksakan kehendak untuk bisa melakukan ekspor dengan Kontrak Karya ( KK) dan seolah paling berjasa telah menyumbang banyak devisa bagi negara Indonesia. Dirjen Minerba secara emosi menantang PTFI membuka jumlah emas, tembaga, dan perak sudah dibawa dari tanah papua
"Kalau dia mau tetap ekspor silakan dengan menyetujui perubahan KK menjadi IUPK seperti PT Amman Mineral Sumbawa," tegas Bambang Gatot Aryono saat itu.
Tentu atas sikap tersebut perlu saya komentari. Apakah Dirjen Minerba lupa bahwa pada tanggal 31 Agustus 2015 telah mengeluarkan surat resmi nomor 1507/30/DJB/2015 ditujukan kepada Dirut PTFI, yang point intinya disampaikan antara lain:
1. Dari pembahasan renegosiasi naskah amandemen KK sejak Oktober 2014 sampai dengan Maret 2015 dari 20 pasal yang dibahas, PTFI baru menyetujui hanya 2 pasal secara utuh. Sisanya, atau sebanyak 18 pasal belum dapat disepakati sesuai UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009.
2. PTFI berpendapat bahwa KK tetap berlaku sampai dengan akhir tahun 2021 dan pada tahun 2021 harus diperpanjang walaupun dalam bentuk izin. Tetapi dokumen amandemen KK tetap menjadi kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
3. PTFI juga berpendapat bahwa UU 4/2009 tentang Pertambangan dan Batubara tidak berlaku untuk KK PTFI yang disusun dan disetujui berdasarkan UU 1/1967.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan mempertimbangkan berbagai aspek peraturan perundang-undangan, maka Dirjen Minerba Bambang Gatot Aryono berpendapat bahwa PTFI tidak beritikad baik dan bermaksud tidak akan menyelesaikan amandemen KK atau PT FI tidak taat terhadap UU Minerba 6 Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 169 (b).
Apalagi pada tanggal 24 Juli 2014, PTFI telah menandatangani MOU dengan Kementerian ESDM untuk membangun smelter di Gresik dan disepakati juga dengan menempati jaminan kesungguhan 5 persen dari nilai pembangunan smelter sebesar 2,3 miliar dolar AS. Sehingga nilai jaminan 115 juta dolar AS dan hanya disetorkan 15 juta juta dolar AS dan sisanya tidak disetorkan dengan alasan "cashflow perusahaan".
Atas dasar MoU tersebut pemerintah tetap memberikan izin ekspor dengan mengenakan bea keluar. Tarif bea keluar berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI (Permenkeu) 153/ PMK.011/2014 perubahan ketiga dari Permenkeu 75/PMK.011/2012, yang dasar pengenaan tarif bea keluar dengan mempertimbangkan tingkat kemajuan pembangunan smelter dengan tarif bea keluar yang dikenakan.
Pasalnya, jika mengacu ke Permenkeu 75 secara tegas dan konsekuen bisa dikenakan tarif 20 persen saat itu dan sekarang bisa mencapai 60 pesen, maka sejak batas akhir boleh melakukan ekspor mineral atau bijih mentah adalah tanggal 9 Januari 2014 sesuai pasal 170 UU Minerba 4/2009.
Tetapi faktanya, pemerintah tetap terkesan lemah dengan mengubah terus Permenkeu tersebut dan hanya dikenakan tarif hanya 5 persen. Faktanya pembangunan smelter tidak pernah ada sampai dengan saat ini. Sehingga MOU tersebut harusnya dapat diproses secara hukum karena telah digunakan untuk merugikan negara dengan melawan UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009.
Tentu pertanyaan kritis perlu ditujukan kepada Dirjen Minerba adalah mengapa anda malah meningkat rekomendasi izin ekspor volume konsentrat yang pada Juli 2015 hanya sebesar 775.000 mton untuk jangka waktu 6 bulan, akan tetapi pada Januari 2016 telah merekomendasikan menjadi 1,1 juta mton per 6 bulan, dan pada tanggal 17 Febuari 2017 berdasarkan PP 1 /2017 dan Permen ESDM Nomor 5 dan 6 Tahun 2017 malah memberikan untuk jangka waktu lebih panjang menjadi 1 tahun, dari dulunya yang hanya 6 bulan.
Kalau melihat perdebatan ahli hukum di berbagai forum soal keberadaan Kontrak Karya yang induknya adalah UU 1/1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan Umum terhadap UU Minerba tentu muncul multitafsir dari masing masing ahli dengan perspektifnya.
Padahal selain soal dimensi hukum kontrak keperdaan, masih ada dimensi sosial ekonomi pekerja dan masyarakat di wilayah tambang, dimensi kedaulatan negara, dimensi geopolitik terkait adanya gerakan separatis dan dimensi lingkungan hidup secara peraturan perundang-undangan yang harus dipertimbangkan.
Kemudian kalau pemegang Kontrak Karya seperti PT Vale (ex Inco) dan PT Amman Mineral Sumbawa (ex Newmont) patuh mengikuti isi UU Minerba dan sudah mulai berkomitmen membangun smelter dan telah memenuhi kewajiban divestasinya, sesuai isi kontrak Karya Pasal 10 ayat 5, Pasal 24, dan Pasal 13 soal royalti dan pajak-pajak diangap tetap, maka sesungguhnya UU Minerba itu lebih kepada penegaskan dari isi kontrak karya, bukan suatu penyimpangan.
Ternyata sampai saat ini ada sekitar 28 pemegang IUP sudah membangun smelter dan bahkan banyak yang sudah beroperasi, hal ini semakin menguatkan kesimpulan bahwa PTFI tidak punya itikad baik membangun smelter.
Sudah tentu sikap PTFI tidak mau membangun smelter dengan alasan harus ada kepastian perpanjangan izin operasi sampai dengan tahun 2041 adalah bagian strategi mengulur kewajibannya untuk memurnikan semua emas bebas yang diperoleh oleh proses penangkapan 14 unit konsertrator Knelasen terbesar di dunia.
Penangkapan itu dilakukan untuk menghindari emas bebas yang tidak bisa ditangkap dengan proses flotasi akan lolos bersama tailing, sedangkan penangkapan emas yang terinklusi pada mineral sufida tembaga diperoleh melalui proses pengapungan (flotasi) yang menghasilkan konsentrat yang sejumlah 40 persen dari keseluruhan konsentrat yang diproduksi PTFI diproses lanjut oleh smelter PT Smelting Gresik, pemurnian tembaga dilakukan dengan cara elektoris, terbukti berhasil memaksimalkan konsentrat menjadi tembaga murni sebanyak 300.000 ton pertahun dan 2000 ton lumpur anoda pertahun dan unsur-unsur mineral ikutan dalam larutan konsentrat yang merupakan produk samping adalah gypsum untuk bahan baku pabrik semen Gresik dan Asam Sulfat sebagai bahan baku PT Pertokimia Gresik.
Kalaulah diasumsikan saja ada 2 persen kandungan emas dari lumpur anoda dari hasil proses smelter dari PT Smelting gresik, maka diduga akan menghasilkan emas sebesar 2 persen X 2000 ton anoda lumpur. Atau setara dengan 40 ton emas dari 40 persen konsentrat dari total konsentrat milik PTFI yang diolah di smelter Gresik. Maka kalau ditambah potensi emas dari 60 persen konsentrat yang diekspor dan proses pemurniannya di smelter Jepang dan lainnya, dengan ditambah emas bebas yang berhasil ditangkap oleh 14 unit konsetrator Knelson yang beroperasi dilokasi tambang PTFI , maka tak salah publik menduga-duga ada potensi emas 100 ton pertahunnya dihasilkan dari lokasi tambang PTFI.
Padahal deposit bijih tembaga Gresberg terbentuk pada batuan terobosan dengan batuan samping berupa batugamping, sehingga mineral mineral sulfida penyusun cebakan bijih tembaga porfiri Cu -Au Grasbeg terdiri dari bornit (Cu5FeS4), kalkosit (Cu2S), Kalkopirit (CuFeS2), digenit (Cu2S5), pirit (FeS2), dan emas umumnya terdapat sebagai inklusi di dalam mineral sulfida tembaga.
Sedangkan di beberapa bagian tubuh bijih konsentrasi emas terdapat bersamaan dengan kehadiran mineral pirit. Apalagi PTFI saat ini sudah bergerak menambang ke lokasi semakin dalam dengan tambang bawah tanah, karena sudah semakin dekat ke tubuh batuan terobosannya, maka akan diperoleh kadar kandungan emas, tembaga, dan perak lebih tinggi dibandingkan diperoleh dari bijih yang berada lebih jauh dari kontak dengan batuan terobosannya.
Adanya gerakan konsorsium BUMN tambang siap membeli semua sisa saham divestasi untuk mencapai penguasaan 51 persen akan terkendala, pasalnya pihak PTFI pada awal tahun 2016 telah menawarkan kepada Pemerintah Indonesia sebanyak 10,64 persen dengan harga 1,7 miliar dolar AS. Sementara menurut Kementerian ESDM sesuai Permen ESDM Nomor 27 Tahun 2017 dengan skema "replacement cost" harga yang wajar adalah USD 630 juta, tentu sulit diperoleh kesepakatan harga yang wajar dilandasi tidak adanya itikad baik oleh PTFI hampir dalam segala hal. Sehingga daripada buang waktu dan negara dirugikan lolosnya terus ekspor konsentrat , apalagi sudah 4 tahun PTFI tidak membayarkan devidennya kepada pemerintah atas saham miliknya 9,36 persen .
Berdasarkan semua fakta-fakta tersebut di atas, dengan pertimbangan demi kedaulatan negara dan kepentingan nasional sesuai pesan konstitusi UUD 1945 Pasal 33 bahwa semua sumber daya alam haruslah dikuasai oleh Negara dan dikelola agar bermanfaat untuk memakmurkan rakyat, maka sudah seharusnya pemerintah menugaskan segera Konsorsium BUMN tambang (PT Inalum, PT Antam, PT Bukit Asam, dan PT Timah) bersama PT Petrokimia Gresik dan PT Semen Gresik untuk membangun smelter menampung konsentrat dari tambang PTFI maupun dari tambang lainnya di seluruh Indonesia.
Apakah kita masih harus terus belajar kepada negara kecil tetangga kita Singapura yang tidak mempunyai sumber migasnya, akan tetapi sejak lama mereka membangun kilang minyak dengan kapasitas 1,5 juta barel perhari dan Negara kitapun sampai saat ini sangat tergantung disuplai dari negara tersebut? [***]
Penulis adalah Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI)