PADA 15 Maret 2017 petang hari sekitar pukul 17.)) waktu Jakarta, Ibu Ayla dan saya menyapa masyarakat Kendeng, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah yang sedang merendam kaki mereka ke dalam kotak semen di depan Istana Merdeka Jakarta.
Para petani Kendeng ingin menghadap Presiden Jokowi yang sangat mereka hormati dan cintai demi menyampaikan amanat penderitaan mereka.
Untuk dapat menghayati amanat penderitaan para rakyat Kendeng, saya petik surat terbuka yang mereka tulis bagi Presiden Jokowi yang sangat mereka hormati dan cintai sebagai berikut:
"Kami adalah bagian dari warga desa-desa di bentang alam karst Kendeng yang akan bangkrut penghidupan taninya karena adanya pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang beserta penambangan bahan semen lainnya di wilayah kami. Kami datang kembali berbondong-bondong ke ibukota negara, untuk rawe-rawe rantas, malang-malang putung menyemen kaki kami di depan Istana Presiden. Bentuk protes ini telah kami lakukan sebelumnya, dan kali ini kami berniat menyemen kaki kami sampai Pak Presiden tampil kembali sebagai pemimpin rakyat, dan menghentikan seluruh kegiatan industri semen di wilayah hidup kami. Buat apa kami bersusah payah mengambil risiko? Kami menyerahkan diri kami sebagai petani untuk membela kewarasan bangsa dan keutuhan negara Republik Indonesia.
Kami memprotes tindakan pemerintah, pengurus negara Republik Indonesia, yang sejak 2012 telah mempermainkan kami sebagai warga negara, petani, warga bangsa. Dengan taktik petak umpet melawan ketentuan dan kepastian hukum negara, mengabaikan pendapat kami, untuk tetap meneruskan penanaman modal di industri semen PT Semen Indonesia di Rembang.
Pak Presiden, kami juga tahu, bahwa sebagian besar pegawai kantor-kantor pemerintahan yang sampeyan pimpin sesungguh-sungguhnya masih setia mengabdi sebagai pegawai negeri. Justru yang menyusahkan hidup kami, melecehkan martabat kemanusiaan kami, memecah-belah persatuan kami orang desa dari pegunungan Kendeng, menyalahkan kami seolah-olah kami ini orang jahat, adalah kepala-kepala kantor pemerintah, para pegawai-negeri yang paling tinggi pangkatnya, dosen-dosen universitas yang paling tinggi tingkat pendidikannya, dan paling tahu aturan hukum dan undang-undang, tapi menjadikan hukum, undang-undang dan peraturan untuk menipu rakyat, artinya, untuk menipu diri sendiri juga.
Pak Presiden, kalau sikap sewenang-wenang dari para pejabat tinggi di kantor-kantor yang sampeyan pimpin tidak sampeyan hentikan sekarang, artinya Pak Presiden mengingkari kewajiban dan tanggungjawab melindungi warga-negara Republik Indonesia dan sumber kehidupannya sebagai petani dari ancaman nyata, yaitu adanya operasi industri semen. Perusakan dengan menambang bahan galian sampai menghasilkan semen tidak bisa dipertemukan dengan cara hidup sehari-hari kami sejak nenek-kakek kami sebagai wong tani, untuk menanam memelihara memanen bahan pangan yang tak tergantikan pentingnya buat kami dan orang banyak.
Waktu mau coblosan pemilihan Presiden dulu, kami ini ya benar-benar bangga mau punya Presiden yang merakyat, sederhana, yang tutur kata dan sikapnya menunjukkan kedekatan dengan rakyat. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kami ya dibikin bingung, terutama oleh aparat dari yang paling dekat dengan dusun kami, sampai kekepala daerah, sampai-sampai ke menteri-menteri, sampai ke pengurus kantor Pak Presiden sendiri.
Anak-anak muda yang paling peduli dari desa-desa kami malah ditakut-takuti, mau diperkarakan polisi, dicari-cari kesalahan tindakannya. Tindakan kami membela negeri kami yang kami warisi dengan kerja keras disalah-salahkan sebagai perbuatan tercela.
Sejak pamitan dengan orang-orang terkasih kami di dusun, sejak kami berdoa bersama, ngomong langsung sama Gusti Allah sebelum berangkat ke depan kantor Pak Presiden, bukan perempuan bukan laki kami diam-diam pada keluar air mata. Bukan karena ketakutan, bukan karena kami ini sentimentil, tapi karena membayangkan anak-anak kami, akan mewarisi hidup seperti apa mereka, kalau para pegawai yang diupah dengan uang milik publik, menista mereka seperti layaknya memperlakukan hewan melata.
Pak Presiden jangan pernah lupa ya Pak, rakyat memang kecil-kecil, tapi apa-apa yang kami kerjakan menentukan hidup matinya bangsa dan negara kita ini".
Surat terbuka kepada Presiden Jokowi yang sangat mengiba sanubari itu ditandatangani oleh para Petani Pegunungan Kendeng: Joko Prianto (Rembang), Sukinah (Rembang), Suparmi (Rembang), Jumikan (Rembang), Sudiri (Rembang), Giyem (Pati), Gunritno (Pati), Darto (Pati) , Sariman (Pati), Kumari (Blora), Darto (Grobogan) dan lain-lain.
[***]
Penulis adalah pendiri Pusat Pembelajar Kemanusiaan