MENJELANG Pilkada 2017, mendadak para buzzer pendukung salah satu calon gubernur Jakarta sengit melancarkan serangan hujatan kepada Sandyawan Sumardi dengan hujatan-hujatan "Bodoh", "Guobluok", “Serigala Berbulu Domba†, "Ketahuan aslinya setelah dibuka kulitnya oleh Ahok", "Bunglon", " Pencari kekuasaan belaka", " Penjual kemiskinan", "Sosialis", "Komunis", "Murtad ", “Pengkhianat Katolik " dan lain sebagainya.
Sebenarnya apa yang telah dilakukan Sandyawan Sumardi sehingga harus dihujat sedemikian parah? Tahun 2000, Sandyawan mulai tinggal di Bukit Duri, bantaran sungai Ciliwung. Melalui Sanggar Ciliwung Merdeka yang pada tanggal 13 Agustus 2000, diresmikan oleh KH. Said Aqie Siradj, Sandyawan melakukan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, lingkungan hidup, ekonomi mandiri, tata-ruang, dan seni budaya.
Relawan-relawan muda datang dari berbagai kalangan anak-anak muda kampung Bukit Duri sendiri, para profesional, para mahasiswa, termasuk pelajar SMA seperti putri KH. Abdurrahman Wahid dan putri Dr. Kalina Supelli. Di tahun 2001, Ciliwung Merdeka bersama warga Bukit Duri membangun Rumah Panggung Bambu di samping Sanggar Ciliwung Merdeka, sebagai Bengkel Kreatif Pemberdayaan Ekonomi Warga Bukit Duri. Dari bengkel kerja inilah diwujudkan bisnis warga di bidang sablon kaos T-shirt, spanduk, bendera, dlsb.
Pendidikan Hadap Masalah di kalangan anak-anak, remaja, ibu-ibu dan lelaki dewasa, mulai membuahkan hasil. Ketika terjadi banjir besar tahun 2002, komunitas warga Bukit Duri bukan hanya terbukti mampu menolong diri sendiri, tapi melalui pendirian posko-posko bantuan darurat kemanusiaan, dapur umum, posko kesehatan, dan "mobile clinic" yang dimotori para relawan medis dokter dan perawat mengadakan pengobatan massal, komunitas warga Bukit Duri bersama Ciliwung Merdeka serta Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK), dengan segala keterbatasannya, menjadi fasilitator bantuan kemanusiaan darurat di titik-titik lokasi komunitas warga korban banjir di Jabodetabek, misalnya Kampung Melayu, Condet, Penas, Tanjung Duren, Jembatan Besi, Grogol, Cengkareng Timur, Teluk Gong, Waduk Pluit, Kelapa Gading, Bekasi.
Pasca banjir besar 2002 , Ciliwung Merdeka bersama Tim DPK (Dewan Perwakilan Kampung) Bukit Duri membangun 5 sumur bor/sumur alam, membangun dan membenahi gorong-gorong air, sistem resapan air, membangun turap sungai Ciliwung dengan bronjong kawat berisi batu, turap dengan bambu, menanam tanaman penahan erosi dan sedementasi sungai seperti bambu, pohon lo, pohon ipik, dan lain sebagainya, serta secara gotong-royong membangun 14 rumah panggung milik warga yang hancur karena banjir, serta membangun Mushala Assa'adah di RT 06/RW 12, Bukit Duri.
Di awal tahun 2003, Sandyawan mengajak warga Bukit Duri untuk membantu korban tanah longsor di Sukabumi. Ciliwung Merdeka ikut membantu para petani yang jadi korban kekerasan oleh aparat Brimob yang lebih membela PT. Perhutani ketimbang para petani di Cibaliung, Pandeglang. Sebelumnya pada bulan Februari 2001, komunitas warga Bukit Duri terlibat dalam memberikan bantuan kemanusiaan terhadap ribuan warga etnis Madura yang kembali ke kepulauan Madura, karena menjadi korban konflik Sampit, Kalimantan Tengah, antara etnis Dayak dan Madura, yang mengakibatkan jatuhnya korban dari dua-belah pihak, lebih dari 500 orang meninggal, dan lebih dari 100.000 warga, terutama warga kehilangan tempat tinggal.
Dalam tragedi tsunami di Aceh dan Sumatera Utara 2003, komunitas warga Bukit Duri bersama Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK) memberikan bantuan kemanusiaan di Aceh Barat dan Pulau Nias (membuka posko bantuan darurat untuk medis, logistik, di dusun Kuala Tuha, membangun 126 rumah panggung untuk warga, membangun Meneusah, klinik percontohan, pasar ikan, pemberdayaan penjual ikan keliling "mogee" dan membuat 4 kapal penangkap ikan di pantai Kuala Tuha, membangun sekolah madrasah 3 tingkat untuk usia SD, SMP, dan SMA, sebuah masjid besar, pemberdayaan ekonomi kampung melalui peternakan.
Dalam banjir besar Jakarta di tahun 2007, meskipun kampung Bukit Duri sendiri 75 persen tenggelam, komunitas warga Bukit Duri bersama Ciliwung Merdeka, dengan penuh semangat bahu-membahu membantu di 32 titik korban banjir di Jabodetabek, melalui kerja Tim SAR 24 anak-anak muda pinggir kali yang dengan 6 perahu karetnya berhasil menyelamatkan beberapa nyawa korban banjir di Bukit Duri-Kampung Pulo sendiri, Waduk Pluit, Kelapa Gading dan Grogol. Bantuan medis dalam wujud "mobile clinic" (4 mobil ambulance pinjaman) untuk pengobatan massal (waktu itu dibantu 27 dokter dan beberapa relawan tenaga medis lainnya), dan penyalur bantuan logistik (terpal, selimut, alat sekolah, dlsb) dari KWI.
Tahun 2008 warga komunitas bantaran sungai di Bukit Duri dan Kampung Pulo, menyelenggarakan Gerakan Lingkungan Hidup Ciliwung Merdeka (GLH-CM) dengan membangun Rumah Kompos di depan pos RT 011 RW 03, Kampung Pulo, Kel. Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur yang kemudian menjadi percontohan budidaya kompos organik di Jakarta, membangun Klinik Rumah Sehat Ciliwung Merdeka (RSCM), membangun 5 Pos RT di Bukit Duri dan Kampung Pulo. Juga dipasang pompa-pompa penyulingan air bersih di tiap RT yang difasilitasi oleh Ciliwung Merdeka.
Kerja keras bersama warga di bidang pembangunan lingkungan hidup di Bukit Duri maupun Kampung Pulo mendapatkan penghargaan dari Walikota. Di tahun 2009 Ciliwung Merdeka dan Jaringan Relawan Kemanisiaan (JRK) dibantu warga Bukit Duri dan Kampung Pulo, mulai mengadakan pemetaan wilayah/ruang, dan studi sejarah kampung di Bukit Duri dan Kampung Pulo. Akhir Juli 2012, Jokowi dan Ahok, didampingi beberapa tokoh PDIP dan Gerindra, mengunjungi komunitas warga Bukit Duri, untuk berdialog dengan perwakilan warga miskin urban Jakarta itu.
Desember 2014, komunitas warga Bukit Duri bersama Ciliwung Merdeka menerima anugerah penghargaan tingkat nasional dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI sebagai penggiat permukiman berkelanjutan kategori pemberdayaan komunitas lokal, sebagai "City Changer".
Apakah akibat segenap pengabdian nyata itu lalu Sandyawan Sumardi memang layak dihujat ?
Penulis sedang belajar makna kemanusiaan dari Sandyawan Sumardi