SAYA beruntung diperkenankan mengenal para tokoh seperti Cak Nur, Emil Salim, Frans Magnis Suseno, Sandyawan Sumardi, Bante Panyavaro, Hidayat Nur Wahid, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Soesilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo dan lain-lain. Saya banyak memetik berbagai pelajaran tentang kebangsaan, kenegaraan, kerakyatan, kemanusiaan, kehidupan dari para beliau yang sangat saya hormati itu.
Di alam demokrasi yang dihadirkan di persada Nusantara masa Orde Reformasi, wajar apabila timbul berbagai pendapat yang tidak selalu sama satu dengan lainnya. Pendapat kerap saling berbeda bahkan saling bertolak belakang. Wajar apabila dalam suasana saling beda pendapat timbul perdebatan yang makin terbuka dapat dilakukan siapa pun juga setelah teknologi informasi menghadirkan internet yang menghadirkan apa yang disebut media sosial.
Sangat disayangkan bahwa dalam perdebatan sebagai gelanggang adu pendapat kemudian timbul suatu zat sosial baru yang disebut bully. Bully bahkan bukan lagi terkait masalah yang sedang diperdebatkan namun ganas merangsek masuk ke ranah pribadi yang sama sekali tidak ada kaitan dengan masalah yang sedang diperbedatkan.
Pada hakikatnya bully sama saja dengan hujat. Bahkan hujat tidak segan mengubah diri menjadi fitnah sebab sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan. Demi mengalahkan bahkan menghancurleburkan mereka yang beda paham, hujatan sengaja dihujatkan tanpa mengenal tata krama, etika, moral, budi pekerti, akhlak dan sejenisnya akibat memang tidak segan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan.
Bahkan sasaran hujat dan fitnah merambah sampai ke para tokoh yang sebenarnya tidak layak dihujat dan difitnah. Mohon dimaafkan saya tidak berani menyebut hujatan atau fitnahan yang dihajarkan ke para tokoh yang sangat terhormat itu akibat tidak senonoh untuk ditulis di media terhormat yang sedang anda baca ini.
Mungkin diri saya yang bukan siapa-siapa ini memang pantas dihujat dan difitnah, namun rasanya tidak pantas menghujat apalagi memfitnah para tokoh terhormat. Pendek kata, saya hanya bisa menghela nafas sambil mengelus dada saya sendiri pada setiap saat saya mendengar atau membaca hujatan atau fitnahan keji yang dihujatkan kepada tokoh yang saya hormati itu.
Memprihatinkan bahwa budaya saling hujat dan saling fitnah itu merebak hanya akibat perbedaan pendapat atau paham di alam demokrasi. Sebagai seorang insan sederhana yang sedang berikhtiar mempelajari kedalaman ajaran Jesus Kristus Jangan Menghakimi dan keluhuran makna yang tersirat di dalam hadits Jihad Al Nafs maka saya tidak berani menghujat apalagi memfitnah sesama manusia. Juga akibat saya sadar bahwa diri saya sendiri belum tentu lebih baik ketimbang mereka yang gemar melakukan hujatan dan fitnahan itu.
Namun sekadar demi sedikit berupaya ikut merasakan perasaan para beliau yang dihujat apalagi difitnah, maka dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati saya memberanikan diri untuk mengajukan permohonan agar para pelaku berkenan menahan diri dalam melemparkan hujatan dan fitnahan kepada siapa pun juga apalagi para tokoh yang selayaknya bahkan sewajibnya dihormati.
Saya memohon agar segenap pihak yang sedang berbeda pendapat untuk berkenan mengutamakan bukan kecurigaan, keamarahan, dan kebencian namun pengertian, penghargaan dan penghormatan.
Insya Allah, permohonan saya dikabulkan. Andaikata ditolak maka saya tidak berdaya apa pun kecuali menghela nafas sambil mengelus dada saya sendiri kemudian memanjatkan doa kepada Yang Maha Kasih untuk senantiasa berkenan melimpahkan Anugerah Kesadaran kepada para penghujat dan pemfitnah serta anugerah kesabaran kepada para beliau yang dihujat dan difitnah.
[***]
Penulis adalah pembelajar makna kasih sayang