JIKA di Jakarta, kasus dugaan penistaan agama menyebabkan masyarakat berbondong-bondong ungkap rasa maka di Washington, New York, Boston, Portland, Los Angeles, San Fransisco, London, Bristol, Berlin, Barcelona, Roma, Paris, Sydney, Melbourne, Cape Town dan lain-lain termasuk Antartika, kasus penistaan perempuan menyebabkan masyarakat berduyun-duyun ungkap rasa.
Akibat penistaan yang dilakukan Presiden Donald Trump terhadap perempuan dengan kata-kata mesum yang tidak layak ditulis di naskah yang dimuat media terhormat ini maka amarah dunia membara. Ratusan ribu insan demo di Washington D.C.
Di depan kedutaan Amerika Serikat di London, berkumpul puluhan ribu orang untuk kemudian short-march ke Trafalgar Square. Di Trafalgar Square tokoh anggota parlemen faksi partai Labour, Yvette Cooper orasi protes keras terhadap sesumbar jorok presiden Donald Trump yang sejak 20 Januari 2017 merupakan insan paling berkuasa di planet bumi masa kini.
Walikota London, Sadiq Khan yang mengaku dirinya feminist tidak mau ketinggalan bergabung ke aksi-damai melawan penistaan perempuan. Frances Scott pelopor gerakan 50:50 yang menuntut keseimbangan gender pada parlemen Inggeris mendesak masyarakat menandatangani petisi untuk menolak sistem demokrasi yang telah memungkinkan Donald Trump terpilih menjadi presiden.
John Kerry, Elizabeth Warren, Scarlett Johannson, Emma Watson, Michael Moore, Ashley Judd, Madonna, bergabung ke laskar anti penistaan perempuan. Charlize Theron menangis ketika menyaksikan kedahsyatan gelora semangat juang laskar anti penindasan perempuan. Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa kasus penistaan perempuan bisa membangkitkan protes masyarakat secara sedemikian menghebohkan di puluhan negara.
Sama halnya juga tidak terbayangkan bahwa kasus penistaan agama bisa menggerakkan begitu banyak warga aksi-damai di Indonesia. Dapat diyakini bahwa protes terhadap penistaan perempuan mau pun penistaan agama merupakan gejala sosial yang tampil di permukaan kesadaran publik. Di balik sang gejala pasti ada sumber penyakit yang sebenarnya. Hanya dengan menghilangkan rasa sakit sama sekali bukan berarti menyembuhkan sang penyakit yang sebenarnya.
Penistaan perempuan yang dilakukan oleh Donald Trump pada hakikatnya sekadar gejala yang memicu ledakan amarah terhadap masalah yang lebih besar yaitu masalah diskriminasi gender yang masih merajalela di planet bumi masa kini. Khusus terhadap Donald Trump yang kebetulan telah terpilih menjadi presiden melalui sistem pemilihan presiden khas Amerika Serikat yang memenangkan Donald Trump padahal jumlah suara rakyat yang memilih Hillary Clinton lebih banyak. Sistem Pilpres khas USA yang juga mengalahkan Al Gore padahal lebih unggul dalam perolehan suara rakyat ketimbang George W. Bush, sebenarnya sudah berulang kali ingin dikoreksi namun selalu berhasil dipertahankan oleh pihak-pihak yang merasa diuntungkan oleh sistem tidak benar itu.
Tumpukan ketidakbenaran menimbulkan ketidakpuasan menyebabkan tekanan frustrasi terpendam pada sanubari masyarakat yang kemudian secara akumulatif makin menumpuk hingga akhirnya meledak akibat penistaan perempuan yang dilakukan oleh Donald Trump yang kebetulan seorang lelaki mengalahkan Hillary Clinton yang kebetulan seorang perempuan akibat sistem pilpres khas USA yang sudah anakronis namun dibiarkan tetap kronis.
Demo akbar pada hari pertama kepresidenan Trump merupakan ungkapan protes terhadap penindasan kaum kuat terhadap kaum lemah. Kasus penistaan perempuan yang memicu kehebohan mancanegara itu menyadarkan kita semua agar sebaiknya jangan membiarkan ketidak-beresan sosial berlarut-larut.
Sebaiknya setiap ketidakberesan sosial segera dibereskan agar tidak menumpuk menjadi bahan peledak ledakan sosial yang sebenarnya tidak perlu meledak apabila tidak dibiarkan menumpuk
.[***]
Penulis buku Kelirumologi Genderisme