SEUSAI resmi dilantik menjadi presiden Amerika Serikat (20/1/2017), Donald John Trump langsung menggemakan pidato kepresidenannya yang perdana.
Secara keseluruhan pada pidato pertamanya, terkesan presiden Trump lupa atau tidak yakin bahwa sebenarnya dirinya sudah terpilih menjadi presiden. Pidato kepresidenan Trump masih terkesan seperti pidato kampanye untuk menjadi presiden maka masih penuh obralan janji-janji surga.
Antara lain, Presiden Trump menengarai sekelompok oknum telah merampas kekuasaan dari rakyat untuk dipusatkan ke markas besar kepemerintahan di Washington D.C maka berjanji surga akan mengembalikan kekuasaan kepada rakyat.
Suatu janji surga yang tentu saja disambut gegap-gempita oleh rakyat tanpa tahu bagaimana cara Trump memenuhi janji tersebut mengingat tentu saja mereka -termasuk Trump sendiri- yang sudah terlanjur menikmati nikmatnya kekuasaan akan tentu tidak akan begitu saja mengikhlaskan kekuasaan dikembalikan ke rakyat.
Presiden Trump bahkan berjanji surga bahwa kemakmuran yang sudah dirampas oleh para politisi dan pengusaha akan dikembalikan ke rakyat. Suatu janji surga yang sulit dipercaya kesurgaannya akibat kebetulan kini Trump bukan saja pengusaha namun juga merangkap politisi bahkan kepala negara Amerika Serikat.
Janji surga menyerahkan kemakmuran kepada rakyat juga terkesan mirip janji komunisme yang di hiper-kapitalisme Amerika Serikat sangat ditabukan. Presiden Trump juga berjanji surga bahwa pemerintahan bukan lagi dikontrol oleh partai politik namun oleh rakyat. Sebuah janji surga yang senantiasa menggema kapan saja di mana saja dan pada kenyataan senantiasa menjadi janji neraka sebab niscaya mati-matian ditentang oleh para partai politik.
Dalam pidato perdana kepresidenannya, Donald Trump meratapi hancurnya industri di dalam negeri Amerika Serikat tanpa mengungkap keberhasilan industri senjata Amerika Serikat mengeksor perang agar senantiasa berkecamuk di luar Amerika Serikat sebagai pasar yang potensial lukratif bagi penjualan produk senjata made in and by USA.
Trump mengumandangkan semboyan America First†bukan hanya sekali namun dua kali secara berturut-turut, tanpa sadar (atau sadar?) bahwa semboyan itu adalah semboyan kelompok radikal Neo-Nazi terinsprirasi oleh kaum Nazi di Jerman di masa kekanseliran Adolf Hitler.
Cara berpikir presiden Trump terkesan masih primordial terkotak-kotak pada sesumbar memerangi terorisme namun masih diembel-embeli predikat radikal Islam. Seolah terorisme memang monopoli Islam, padahal di dalam negeri Amerika Serikat sendiri telah terbukti bahwa siapa saja lepas dari SARA ternyata mau dan mampu melakukan terorisme.
Trump tentu saja pasti menolak anggapan bahwa apa yang disebut ISIS atau entah apa namanya itu merupakan rekayasa jurus marketing Amerika Serikat demi menciptakan pasar bagi penjualan produk industri senjata. Terlepas dari aneka tafsir yang tentu saja nisbi, subyektif dan kontekstual dalam satu hal kita bisa belajar dari Presiden Donald Trump yaitu kegigihan upaya menggelorakan semangat National Pride (Kebanggaan Nasional).
Semangat Kebanggaan Nasional niscaya mengutamakan kepentingan dalam negeri ketimbang luar negeri di tengah kemelut deru campur debu berpercik keringat, air mata dan darah persaingan sengit di masa yang disebut sebagai era global ini.
Semangat Kebanggaan Nasional memang merupakan kubu pertahanan utama setiap bangsa termasuk bangsa Indonesia untuk mampu bertahan bahkan berjaya di tengah arena kemelut pertarungan global di planet bumi masa kini dan masa depan.
Penulis adalah pembelajar makna Kebanggaan Nasional