LE Livre de la Cite des Dames atau The Book of The city of Ladies, karangan Christine de Pizan ditulis lebih dari 600 tahun lalu, di Perancis, untuk mengkritik kumpulan puisi Le Roman de La Rose yang terlalu menonjolkan sisi seksualitas perempuan secara berlebihan dan dianggap merendahkan.
Dalam buku yang menggunakan kiasan menghadirkan _lady reason, Lady rectitude dan lady justice_ , buku ini coba menjelaskan bahwa perempuan bukanlah makhluk hina, penzina, lemah, tidak stabil, tidak dapat dipercaya dan bahkan ada yang berkorban untuk kemanusian (Martyrdom).
Perjuangan perempuan dalam membangun kesetaraan atau emansipasi terus berlangsung dari abad ke abad. Di Indonesia, perjuangan perempuan disimbolkan oleh Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Din dan lain sebagainya dalam perjuangan kebangsaan kita, sebagai tanda kesetaraan gender terhadap laki-laki.
Hak hak perempuan untuk berpendidikan, bekerja, berpenghasilan, berpolitik, menjadi presiden dan berbagai hak dan tanggung jawab sosial sudah dan terus kita lakukan, agar emansipasi semakin nyata. Hal ini sesuai juga dengan semangat global untuk tidak merendahkan hak hak perempuan dan bias gender.
Namun, beberapa hari ini kita dipolemikkan dengan wacana yang terbangun dari pernyataan kepala polisi Jakarta, Irjen Iriawan. Dalam arahannya kepada pimpinan kepolisian di Jakarta, Iriawan mengatakan bahwa polisi-polisi itu pakai rok saja jika tidak berani menindak provokator. Silakan istri istri polisi mengukur ukuran pinggang suaminya, agar dibuatkan rok.
Pernyataan Iriawan ini pun dikecam berbagai kalangan, termasuk anggota DPR di Komisi III, mitra kerjanya. "Apakah wanita itu pengecut?," tanya Dasco Ahmad, anggota DPR RI. Begitu juga tanya yang lainnya.
Cara berpikir Iriawan adalah cara berpikir lama. Dari sudut stereotip, Irawan menempatkan wanita sebagai makhluk lemah, banci, penakut, tidak dapat diandalkan dan lain sebagainya. Sedangkan laki laki adalah pemberani. Sehingga, jika polisi itu penakut, maka silakan pakai rok. Atau jadi perempuan atau banci saja.
Berbagai gerakan feminisme di dunia, baik yang moderat maupun radikal, telah berusaha meluruskan penggunaan bahasa agar istilah yang dimaksud dalam suatu kata lebih bersifat deskriptif daripada perspektif. Atau menetralkan makna. Ini tertuang dalam kajian kajian Sexism and Power.
Dorongan feminisme ini telah berhasil menetralkan berbagai istilah semula, seperti "chairman" menjadi "chairperson", "mankind" jadi "humankind", dan berbagai lambang lambang maskulinitas vs feminitas yang awalnya berlawanan secara diametral.
Bias gender saat ini, khususnya buat elite nasional, sudah dianggap ketinggalan zaman. Bahkan di negara maju, Gerald Rubin, University of New Haven, menyatakan bias jender, diskriminatif dan berprasangka yang berlebihan cenderung mendorong seseorang untuk melakukan kekerasan seksual, perkosaan dan bentuk kekerasan seks lainnya.
Oleh karenanya, permintaan tuntutan maaf Kepala Polisi Jakarta kepada kaum perempuan, khususnya, dan kepada masyarakat secara umum tentu mempunyai makna yang harus direspon.
Tito dan Masa Depan Polisi
Di balik urusan bias gender di atas, sebuah makna lain dari arahan Iriawan adalah melakukan upaya represif terhadap gerakan provokatif. Tentu hal ini harus dilihat konteksnya, apa, siapa, mengapa, kapan, di mana akan ada gerakan provokatif tersebut.
Gerakan besar di Jakarta hanya ada dua hal yang patut dihitung, pertama adalah gerakan Membela Islam, pimpinan Habib Rizieq dan para ulama. Kedua, adalah gerakan massa untuk pemilihan gubernur DKI. Tidak ada terlihat gerakan lainnya.
Untuk yang pertama, Habib Riziq dkk sudah melakukannya dalam skala besar beberapa Jumat lalu. Semuanya berjalan lancar, sesuai dengan undang undang yang mengatur hak hak rakyat menyatakan pendapat di muka umum. Sedangkan hal kedua, politik pilkada, sudah pasti bersifat siklik atau periodik yang biasa buat demokrasi. Apakah demokrasi itu ancaman? Lalu di mana ancaman provokasi yang harus ditembak?
Menembak adalah tindakan represif polisi. Itu yang akan ditinggalkan Kapolri Tito Karnavian.
Tito melakukan berbagai langkah dialog dengan kekuatan kekuatan sosial. Awal minggu ini, Tito berdialog dengan aktivis lintas generasi, yang difasilitasi Bursah Zarnubi dan Hariman Siregar. Ratusan aktivis kiri kanan dan tua muda hadir. Dialog itu mengetengahkan pikiran Tito sebagai berikut: (1) Public Trust. Polisi akan meningkatkan terus kepercayaan publik pada institusinya. (2) Preventif. Polisi akan mengarahkan kenyataannya untuk mencegah gejolak sosial, melalui berbagai dialog dan meninggalkan pendekatan represif. Untuk itu polisi juga akan memperbaharui postur anggaran, dengan lebih membiayai divisi intelijen dan kamtibmas. (3) Sebagai elite nasional, Tito akan menjembatani berbagai dialog dari elemen bangsa untuk menghindari ketegangan sosial dalam masyarakat yang mungkin disebabkan oleh demokrasi dan Global Change.
Pikiran Tito ini pikiran yang cemerlang. Selain mempertimbangkan Cost and Benefit Ratio, Tito juga mempunyai pandangan Futuristik tentang Social Change.
Persoalannya tinggal, apakah Tito merespon soal "Rok rok" Polisi ini secara tepat dan cepat? ***
Penulis adalah pendiri Sabang Merauke Circle