Berita

foto:net

DPO Tidak Boleh Ajukan Pra-Peradilan Dan PK

MA Mestinya Batasi Hak Para Pembangkang Hukum
RABU, 29 JUNI 2016 | 09:14 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Celah hukum di Indonesia memungkinkan tersangka atau terpidana yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) mengajukan upaya hukum seperti pra pera­dilan dan Peninjauan Kembali (PK).
 
Seharusnya, mereka yang masuk dalam daftar DPO di­batasi haknya mengajukan up­aya hukum. Alasannya, mereka sudah membangkang terhadap proses hukum yang sedang dijalaninya.

"Perlu ada pembatasan upaya hukum bagi orang-orang yang namanya masuk ke dalam DPO," kata Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter.


Menurutnya, sistem hukum di Indonesia memberi celah bagi orang yang membangkang terhadap proses hukum yang dijalaninya, dengan diberi akses untuk mencari keadilan lewat proses hukum tersebut.

"Seperti kasus La Nyalla yang mengajukan pra peradilan saat yang bersangkutan berstatus buron, dan juga kasus Sudjiono Timan yang mengajukan PK saat yang bersangkutan masih masuk ke dalam daftar DPO," katanya, di kantor ICW, Jalan Kalibata Timur IV, Jakarta, kemarin.

Saat ini sudah menjadi tren di Indonesia, di mana orang yang masuk DPO dimungkinkan un­tuk ajukan upaya hukum. "Ini bahkan dibolehkan Mahkamah Agung (MA), sekalipun yang bersangkutan sudah dipidana dan kabur sebelum proses ek­sekusi," ujarnya.

Lola menilai, jika kondisi ini dibiarkan maka akan banyak lagi terpidana dan tersangka kabur duluan lalu melakukan upaya keadilan saat berstatus buron.

Pihaknya mengingatkan MA soal Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 1 tahun 2015 yang menyatakan terdakwa tidak bisa mengajukan PK jika tidak lakukan oleh yang ber­sangkutan.

"Jangan biarkan mereka yang sudah membangkangi hukum, tapi masih mencari keadilan le­wat proses hukum," tegasnya.

ICW sendiri mencatat, sudah 10 orang buron yang menggu­nakan celah hukum ini mencari keadilan bagi dirinya. Pihaknya mendorong MAuntuk membata­si penerimaan upaya hukum atas adanya tren tersebut. "Batasi upaya hukum bagi tersangka dan terpidana yang sedang dalam pelarian atau buron," tandas­nya.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono menerangkan, belum ada kesamaan regulasi di tingkat aparat penegak hukum terkait DPO telah memicu banyaknya kecolongan hukum.

"Misalnya saat perkara baru di tingkat penyelidikan, ter­sangka yang masuk DPO bisa mengajukan pra peradilan, atau saat persidangan tersangka tidak mau datang dan melarikan diri," katanya.

Dia menjelaskan, ada celah di pra peradilan yang menyatakan pra peradilan tersebut tidak diwajibkan untuk diajukan lan­sung oleh tersangka. Akibatnya pihak lain bisa mengajukan pra peradilan bagi tersangka.

Seperti kasus La Nyalla, di­mana yang mengajukan pra peradilan adalah anak kandung yang bersangkutan. "Harusnya DPO tidak boleh mengajukan pra peradilan karena dia sudah melawan peradilan," sebutnya.

Menurut Supriyadi, sudah biasa di Indonesia, DPO tidak mau datang ke pengadilan tapi malah mengajukan pra peradilan. Dia meminta MA tegas agar permo­honan pra peradilan yang diajukan DPO tidak boleh diterima.

"Konsekuensinya daftar DPO yang diupdate setiap bulannya oleh jaksa intelijen harus bisa diakses oleh MA dan pengadi­lan," katanya.

ICJR mengusulkan agar dibuat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) untuk membatasi up­aya DPO dalam pra peradilan dan PK. "Selain itu, kita juga berharap pada revisi KUHAP, karena KUHAP yang sekarang masih banyak bolongnya, teru­tama soal banding, kasasi, dan PK," tandasnya. ***

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya