SEBENARNYA saya kurang begitu tertarik dengan isu reklamasi, karena saya bukan warga Jakarta dan saya bukan orang yang ahli dalam bidang kelautan dan lingkungan. Saya hanyalah orang biasa yang saat ini menjadi guru honorer di salah satu sekolah swasta di Jawa Tengah. Selain sebagai guru, alhamdulillah saya juga memiliki beberapa ekor bebek untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Maklum, gaji guru honorer kurang cukup untuk kebutuhan keluarga kami sebulan (loh ko jadinya malah curhat pribadi..pisss ya)
Oke to the point aja…begini ceritanya, akhir-akhir ini saya sering mengkuti pemberitaan terkait kondisi Jakarta. Kenapa saya lebih sering mengikuti berita tentang persoalan Jakarta ketimbang berita yang ada di daerah saya? Jawabannya adalah, karena Jakarta bagi saya itu ‘seksi’. Bahkan ada yang mengatakan, repelika dari Indonesia itu ya Jakarta, karena semua orang dari berbagai daerah semua ngumpul jadi satu dan permasalahan di Jakarta itu komplek, salah satunya adalah soal kepadatan penduduk. Untuk mengatasi kepadatan penduduk tersebut, Pemprov DKI (Ahok) ingin meneruskan proyek yang sudah digagas oleh presiden Soeharto yang tertuang dalam Keppres No. 52 tahun 1995. Di dalam Keppres tersebut dikatakan bahwa untuk mewujudkan fungsi Kawasan
Pantai Utara Jakarta sebagai Kawasan Andalan, diperlukan upaya penataan dan pengembangan
Kawasan Pantai Utara melalui reklamasi di pantai utara dan sekaligus menata ruang
daratan pantai yang ada secara terarah dan
daratan pantai yang ada secara terarah dan
terpaduâ€.
Alhasil, berangkat dari Keppres tersebut
Ahok mengeluarkan izin kepada 9 pengembang
untuk melakukan reklamasi di pantai utara
Jakarta. Namun keputusan Ahok tidak serta
merta diterima oleh sebagian masyarakat Jakarta, salah satunya adalah Koalisi Nelayan
Tradisional Indonesia (KNTI) yang digawangi
oleh Riza Damanik. Alasannya karena reklamasi dapat mengganggu aktivitas mencari nelayan dan dapat membuat nelayan sengsara serta bla bla bla bla bla bla bla bla bla.
Namun, di antara 9 pengembang tersebut KNTI lebih getol menyerang salah satu pengembang yaitu PT Muara Wisesa (MWS) selaku pengembang pulau G dibandingkan dengan pengembang-pengembang lainnya. Dilihat dari segi fisik bangunan pulau, pengembang pulau G ini baru beberapa persen membangun pulau. Hal ini berbeda jauh dengan pengembang pulau D yang bangunannya bahkan sudah berdiri megah. Tapi anehnya kenapa pulau D tidak didemo dan bahkan sampai saat ini KNTI tidak terdengar suaranya untuk menggugat pulau D. Kabar terakhir di media yang saya baca, setelah menang dalam menggugat pengembang pulau G di Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN), KNTI malah ingin menggugat pulau F, I dan K.
Mungkinkah di antara pengembang ada kompetisi dan bahkan ada usaha untuk saling menjatuhkan satu sama lain. KNTI sebagai sebuah lembaga dalam hal ini diuntungkan, karena ia tinggal memilih berpartner kesiapan dan menjatuhkan siapa.
[***]
Muhammad Mansyur
Jl. Bangunharjo 1 No. 20 B Banyumanik Semarang, Jawa Tengah
Telp: 085740211xxx