HIRUK pikuk Pancasila penuh menghiasi Socmed dan per Whatsapp-an.
Posting demi postingan berseliweran, baik tentang penetapan 1 Juni sebagai hari Pancasila, atau aksi-aksi dan panggung terkait Pancasila dan terakhir tak kalah seru, yakni permusuhan Pancasila terhadap komunisme dan palu arit.
Hiruk pikuk ini terjadi karena gerakan tiga kelompok sebagai berikut: Pertama, pengklaim Pancasilais sejati dari kalangan orde baru melakukan konsolidasi besar-besaran melihat adanya kebangkitan komunisme saat ini.
Kedua, kelompok Soekarnois mendesak Jokowi agar menetapkan Pancasila itu lahir 1 Juni dan Bung Karno adalah pencetus Pancasila.
Ketiga, adanya kelompok yang ikut-ikutan dalam trending topic ini.
Apakah hiruk pikuk ini mempunyai makna bagi perubahan nasib rakyat? Inilah pertanyaan penting bagi kita. Sebab, jargon dan kata-kata tentang Pancasila acapkali hanya sebuah tameng bagi reklaiming eksistensi sebuah kelompok ketimbang sebuah ideologi membebaskan kemiskinan.
Benarkah demikian? Pertama, kelompok orde baru yang mengklaim paling Pancasilais pada dasarnya tidak memahami Pancasila secara benar. Mengapa? Karena mereka mencampur adukkan sebuah paham dengan sejarah. Hal ini membuat mereka salah bersikap terhadap komunisme.
Pancasila sebagai sebuah paham adalah sebuah produk pemikiran. Produk pemikiran siapa? Tentu saja pemikiran kelompok pejuang pembebasan kita melawan Belanda. Pejuang itu mempunyai ideologi beragam, dari Sosialis Islam, Komunis, Marhaenis, Sosialis kanan, Sosialis Tengah, dan juga yang bersandar pada agamanya, seperti Islam dan Kristen. Ideologi itu sendiri juga produk pemikiran.
Sebagai produk pemikiran tentu saja Pancasila sebagai konsensus ideologis merupakan produk bersama. Namun, dengan catatan saat itu adalah sebagai ideologi anti kapitalisme dan liberalisme. Pancasila Vs ideologi kolonial. Dalam posisi seperti itu, menihilkan komunisme, merupakan pikiran sesat. Sebuah pemikiran yang seharusnya hilang bersama lenyapnya rezim Suharto.
Bahwa dalam sejarah ada (tuduhan) pemberontakan komunis, tentu harus dilihat secara terpisah. Sejarah adalah sebuah dialektika dari gesekan berbagai kepentingan, baik bersifat ide maupun material. Dalam suatu momentum, tentu sebuah kelompok bisa berbeda kepentingan dengan kelompok lainnya, namun bisa bekerjasama dalam momentum lainnya.
Dengan begitu, sebuah sifat reaksioner yang dilakukan kaum loyalis orde baru ini merupakan gaya Pancasilais yang tidak jelas. Mereka gagal membedakan kepentingan imperialisme negara China dengan kepentingan kelompok korban kemanusian 65, yang sudah dimasukkan dalam agenda Presiden pemenang pilpres, dalam Nawacita. Sama dengan konyolnya Jokowi yang merestui kapolri dalam penangkapan orang-orang yang memakai atribut Palu dan Arit. Padahal belum jelas makna dari pemakai simbol Palu Arit, sebagai orang orang tertindas dan miskin atau sebuah propaganda kebangkitan ideologis.
Kedua, Jokowi dan Soekarnois bangga dengan keberhasilan penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Dan Bung Karno adalah Bapak Pancasila.
Gerakan ini juga sebuah gerakan tanpa makna. Mengapa demikian?
Satu, gerakan mengklaim 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila tidak dilakukan dengan kritik terhadap eksistensi kapitalisme dan liberalisme yang dilahirkan kelompok Pancasilais Orde Baru. Padahal Pancasila adalah sebuah Way of Life yang kontra, berkontestasi dan sekaligus berkonfrontasi dengan Kapitalisme, Liberalisme dan Neoliberlisme. Rezim Jokowi dan Megawati semakin memanjakan kapitalisme dan korporasi untuk mencengkeram kekuasaannya atas negara dan menghancurkan nasib kaum marhaen. Khususnya, dapat dilihat semakin tingginya ketimpangan sosial saat ini (Gini Index sekitar 0,5).
Dua, Jokowi gagal melakukan rekonsiliasi idea. Hal ini dengan tidak adanya keyakinan Jokowi bahwa Komunisme dan Sosialisme adalah bagian penting dari sebuah Ideologi Pancasila. Orde Reformasi telah berhasil dalam menghancurkan Pancasila karena, a). Mengganti sila ke 4 Pancasila dengan liberalisme dalam berdemokrasi. b) Mengganti UUD45 tanpa referendum menjadi UUD 2002. Khususnya menghilangkan keaslian khas dan sakral pendiri bangsa, dengan menghilangkan pasal 6 UUD45 (Presiden dan Wapres harus Indonesia Asli). c) Meletakkan negara dalam cengkeraman segelintir elite pemilik modal asing dan aseng.
Komunisme, selain paham Islamisme dan Nasionalisme, adalah alat penting untuk memastikan Pancasila cukup sakti melumpuhkan segelintir konglomerat yang menguasai dan mengontrol 90 persen kekayaan nasional. Jika Jokowi sekedar menjadikan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, tanpa merevitalisasi elemen-elemen ideologis radikal anti kapitalis, maka sebenarnya itu sekadar lip servis tanpa makna.
Sampai saat ini Pancasila hanya merupakan jargon omong kosong kelompok-kelompok kepentingan di atas dan kelompok ikut ikutan tanpa menjadikannya sebuah gerakan substantif dan ideologis. Mereka hanya senang kulit luarnya saja. Tidak menangis melihat Lambang Naga berkibar di lambang HUT Jakarta 2 tahun lalu. Tidak menangis melihat rakyat miskin terusir dari rumahnya sendiri di gang gang sempit, demi real estate mewah. Tidak menangis melihat nasib buruh, petani dan nelayan yang semakin sulit.
Hanya bangga dengan apel-apel panggung Pancasila.
Itulah Pancasila Sontoloyo.
*penulis adalah Dewan Syuro Serikat Buruh Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia 98