Berita

fahri hamzah/net

Publika

Pemecatan Fahri Hamzah Dan Kredibilitas Partai Politik

SELASA, 05 APRIL 2016 | 04:15 WIB

MINGGU kemarin (3/4) Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera telah membuat Penjelasan Resmi Tentang Pelanggaran Disiplin Partai yang dilakukan oleh Fahri Hamzah. Sempat di revisi pada pagi hari, akhirnya Penjelasan itu diupload di laman resmi DPP PKS di hari Senin (4/4). Fahri Hamzah pun bereaksi. Ia menggelar konferensi pers hari Senin juga (4/4) dan menjelaskan duduk permasalahan versi Fahri Hamzah.

Saya catat tiga hal penting yang disampaikan Fahri Hamzah yang akan menjadi fokus bahasan saya; pertama, Fahri Hamzah menganalisa ada kemungkinan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh DPP dalam mengeluarkan keputusan pemecatan dirinya. Kedua, Fahri Hamzah akan menempuh jalur hukum untuk mencari kebenaran dan keadilan atas nasib yang menimpa dirinya. Ketiga, Fahri Hamzah tidak akan keluar dari PKS dan akan mencoba meluruskan beberapa oknum petinggi partainya yang tidak memahami ruh dari PKS.

Sejalan dengan Fahri Hamzah, saya sedikit berkomentar terkait keputusan DPP PKS. Bahwasanya, sebagai partai politik, PKS memang mau tak mau harus berada dalam ikatan-ikatan sosial, politik dan tata negara seperti lazimnya partai politik yang lain. Apalagi dalam membuat sebuah keputusan resmi dan sikap politik partai. Termasuk dalam pemecatan Fahri Hamzah. Setidaknya, ada beberapa tata aturan yang mesti tidak saling berkontradiksi dan harus dipenuhi partai dalam membuat keputusan itu. Harus selaras sejalan.


Yang pertama, sebagaimana Partai Politik lain, PKS juga terikat dengan UU Partai Politik Nomor 2 Tahun 2011. Yang kedua, PKS adalah lembaga publik atau Badan Publik. Badan publik seperti PKS terikat oleh UU Keterbukaan Informasi Nomor 14 Tahun 2008 yang penjelasannya tertuang dalam Perpres Nomor 61 Tahun 2010. Yang ketiga, berkaitan dengan Majelis Tahkim yang memutuskan pemecatan, nantinya bahasannya akan saya hubungkan dengan UU Partai Politik, Keputusan Kemenkumhan tentang Mahkamah Partai dan AD/ART Partai Keadilan Sejahtera beserta seluruh aturan derivasinya.

Saya mencatat dan ingin mengkritisi beberapa tata aturan dan prosedur kepartaian yang harus seiring sejalan dan bisa kita pertanyakan dalam konteks keluarnya keputusan pemecatan Fahri Hamzah tersebut.

Pertama, terkait latar belakang. Saya membaca dengan hati-hati sekali mukkadimah awal dibalik keinginan untuk mengganti Fahri Hamzah dari posisi Wakil Ketua DPR. Saya kutip garis besar Penjelasan Resmi PKS di poin (1) hingga (6) ; "(1) PKS  menyamakan arah, visi, strategi, dan pola pengelolaan partai ke depan; (2) Fraksi PKS dan Wakil Ketua DPR RI memiliki posisi penting karena berperan sebagai etalase partai. Pimpinan PKS melakukan briefing kepada Ketua Fraksi (Jazuli Juwaini) dan Wakil Ketua DPR RI dari PKS (Fahri Hamzah) terkait strategisnya posisi tersebut;

Poin (3), Briefing kepada saudara Fahri Hamzah dilakukan oleh 3 (tiga) anggota DPTP yaitu Ketua Majelis Syuro, Wakil Ketua Majelis Syuro dan Presiden PKS; (4) PKS ingin Fahri Hamzah benar-benar tampil sesuai karakteristik partai kader dan partai dakwah dengan kedisiplinan dan kesantunannya. DPTP ingin Fahri tidak menimbulkan kontroversi dan citra negatif bagi Partai saat melontarkan sesuatu;

Poin (5), Beberapa pernyataan FH yang kontroversial tidak sejalan dengan arahan Partai; (a) Menyebut ‘rada-rada bloon’ untuk para anggota DPR RI; (b) Mengatasnamakan DPR RI telah sepakat untuk membubarkan KPK; (c) Pasang badan untuk 7 proyek DPR RI yang bukan merupakan arahan Pimpinan Partai; (6) Wakil Ketua MS menyampaikan bahwa karakteristik mayoritas masyarakat Indonesia itu menjunjung kepatutan, kesantunan, dan kesopanan yang penting diperhatikan oleh pejabat publik, apalagi yang berasal dari Partai Islam.

Saya melihat dengan seksama, bahwa sebenarnya di mukadimah kasus ini, titik tekan DPTP atas rencana memberhentikan Fahri Hamzah dari posisi Wakil Ketua DPR, lebih disebabkan karena sikap keras dan gaya Fahri yang menurut DPTP tidak sejalan dengan gaya dan karakter sesuai keinginan DPTP. Lalu pertanyaannya, apakah memecat Fahri dari Wakil Ketua DPR itu benar saja ketika Fahri tidak sesuai dengan gaya dan karakter yang diinginkan DPTP ?.

Menurut saya, yang pertama, secara niat saja, DPTP sudah salah. Kenapa salah ?. Pertama, semua orang tidak bisa disamakan karakternya. Ada yang blak-blakan, ada yang lembut, ada yang keras. Yang kedua, pernyataan DPTP itu bisa menyulut sentimen darah dan orang daerah. Indonesia dengan berbagai macam suku yang sebagian keras karakternya, akan merasa bahwa karakter yang selama ini menjadi kebanggaannya jadi terkesan tidak menyenangkan dalam pandangan (petinggi) PKS. Yang ketiga, ini membuktikan bahwa langkah PKS di 'drive' oleh citra, media dan pendapat sebagian orang. Merasa malu atau khawatir jika ada kader yang memiliki suara yang lantang dan gaya yang keras.

Yang kedua, terkait proses dan usulan penggantian Fahri Hamzah dari Wakil Ketua DPR. Menurut saya, dalam kasus ini, ada semacam  proses yang tidak mencerminkan perilaku partai modern dalam membuat keputusan atas pejabat publik yang nantinya memberikan dampak pada publik dalam skala nasional.

Karena ada implikasi publik yang luas, maka ada tiga hal yang harus dilakukan PKS untuk mengganti pejabat publik sebagaimana partai modern biasa lalui. Yang pertama, melakukan jajak pendapat pada seluruh anggota partai. Jajak pendapat ini dimungkinkan sekali, karena PKS memiliki sistem administrasi keanggotaan yang sangat lengkap. Libatkanlah seluruh anggota PKS dari anggota Pemula hingga Anggota Purna. Karena mereka memiliki pendapat dan pandangan yang setara. Disamping gratis, juga bisa mendapatkan gambaran utuh pandangan kader tentang Fahri Hamzah sebagai seorang pejabat publik utusan PKS.

Proses ini sekaligus otokritik pada perilaku PKS. Selama ini, PKS dalam memutuskan siapa yang akan menjadi Ketua DPD atau DPW atau Anggota Majelis Syuro, selalu melakukan pemilihan umum internal. Tapi kenapa dalam jabatan publik yang sifatnya nasional dan memiliki dampak yang sangat luas tidak melakukan prosedur yang sama.

Yang kedua, lakukanlah survey dan jajak pendapat di seluruh masyarakat Indonesia yang menggambarkan representasi pendapat dan keakuratan data. Ada data faktual. Jadi bukan karena perasaan mau mengganti Fahri saja, lantas menggelar berbagai prosesi 'sekedar memenuhi syarat prosedural' untuk mengganti.

Dan, ini penting; siapa yang bisa menyimpulkan bahwa Fahri Hamzah itu gayanya tidak menyenangkan? Jangan-jangan perasaan atau prasangka Ketua Majelis Syuro, Wakil Ketua Majelis Syuro dan Ketua DPP saja. Atau sebagian kecil orang saja. Atau konyolnya, jangan-jangan perasaan pribadi saja. Jadi, sekali lagi, harus berdasarkan data. Apalagi petinggi partainya kebanyakan akademisi yang menempuh pendidikan tinggi. Saya kira, harusnya ada pertimbangan ilmiah dalam soal ini.

Yang ketiga, keputusan penggantian  Fahri Hamzah dari kursi Wakil Ketua DPR juga harus mempertimbangkan aspek untung-rugi partai. Semestinya  melibatkan analis politik dan pemikir strategi partai. Ini penting bagi sebuah partai yang mengambil tagline 'modernitas' sebagai ciri perilakunya. Analisanya dari berbagai sudut; gejolak internal, masa depan partai, produktivitas kerja, keutuhan organisasi, dan lainnya.

Dengan masukan 'second opinion' yang utuh, Partai bisa memutuskan apa langkahnya produktif atau merugikan. Lalu apa saja alternatif solusi jika kontraproduktif. Jangan setelah peristiwa baru diminta pendapatnya. Yang ada cuma "reaksi publik". Bukan "antisipasi reaksi publik".

Hal lain yang berkaitan dengan peristiwa penggantian Wakil Ketua DPR dan dilanjutkan dengan pemecatan dari keanggotaan. Saya menyebutnya dengan "akuntabilitas hukum" dan "akuntabilitas kejujuran".

Mari kita baca kembali penjelasan DPP PKS Tentang rentetan pemecatan Fahri Hamzah. Ada poin penting di situ; "Fahri diminta berhenti karena gaya, karakter, pendapat yang ia lontarkan tidak sejalan dengan arah, visi, strategi, dan pola pengelolaan partai ke depan; lebih banyak kontroversi dan kontraproduktif serta tidak sesuai dengan arahan pimpinan partai".

Yang jadi pertanyaan masyarakat dari seluruh proses pemecatan Fahri Hamzah yang disampaikan oleh DPP PKS adalah; "arah, visi, strategi dan pola pengelolaan partai PKS yang mana yang tidak berkesesuaian dengan gaya dan karakter Fahri Hamzah? Arah, visi dan strategi partai yang mana yang dilanggar Fahri?

Saya kira, sekarang saatnya, PKS menjelaskan di poin mana dari arah, visi, dan strategi partai yang dilanggar oleh Fahri Hamzah. Lho, kenapa DPP PKS perlu menjelaskan ?. Karena partai itu milik publik, dan publik berhak untuk masuk bertanya tentang kebijakan partai. Ini sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Pasal 1 bagian pengertian badan publik, serta pasal 2, 3 dan 4. Intinya, hal-hal yang harusnya menjadi konsumsi publik, sebaiknya dibuka oleh lembaga publik; termasuk salah satunya partai politik.

Kalau misalnya DPP PKS enggan menjelaskan tentang hal prinsipil dari arah, visi dan strategi yang dilanggar, maka publik bisa menuduh pembuat keputusan pemecatan Fahri Hamzah itu bermasalah "akuntabilitas kejujuran"nya. Dan dengan demikian seluruh proses pada Fahri Hamzah mengalami cacat "akuntabilitas hukum". Pertimbangan hukumnya tidak transparan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Jadi, mari ucapkan selamat tinggal pada sikap ketertutupan dan selamat datang pada era keterbukaan. Itu ciri utama partai yang demokratis.

Hal lain yang perlu dikritisi adalah pernyataan DPP PKS bahwa Fahri direncanakan diganti dari Wakil Ketua DPR lalu kemudian dipecat karena pernah mengatakan 'rada-rada bloon’ pada beberapa anggota DPR RI; mengatasnamakan DPR RI telah sepakat untuk membubarkan KPK; dan pasang badan untuk 7 proyek DPR RI yang bukan merupakan arahan Pimpinan Partai. Diluar kata-kata "rada blo'on", saya kira, ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan?; sejauh mana dua hal yang dilakukan Fahri Hamzah itu dianggap merugikan partai; apa saja ukurannya?; bagaimana pengaruhnya bagi publik ?.

Jadi, harus ada semacam ruang terbuka di internal partai yang bebas intervensi untuk melakukan "uji gagasan". Kalau mau memutuskan ini-itu bukan karena maunya pemimpin partai an sich. Tapi, lihat saja, ternyata gagasan Fahri Hamzah soal beberapa hal diatas terbukti menjadi bahan debat yang mengasyikkan nan ilmiah di tengah masyarakat awam dan akademisi .

Ada yang pro ada juga yang kontra. Tapi satu kata; menggairahkan. Partai modern seperti PKS justru harusnya melihat ini sebagai peluang. Bahwa ada kadernya yang menjadi pejabat publik yang bisa menggairahkan publik untuk bersama-sama memikirkan arah perjalanan Indonesia ke negara yang lebih demokratis.

Hal lain yang perlu dikritisi adalah soal perselisihan partai dan Majelis Tahkim. Dalam UU Partai Politik Nomor 2 Tahun 2011 Pasal 32 Ayat 1 disebutkan bahwa; "Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART". Penjelasan dari pasal ini; "Perselisihan Partai Politik meliputi; (1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; (2) pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; (3) pemecatan tanpa alasan yang jelas; (4) penyalahgunaan kewenangan; (5) pertanggungjawaban keuangan; dan/atau (6) keberatan terhadap keputusan Partai Politik".

Jadi, kasus Fahri Hamzah masuk dalam Penjelasan tentang pengertian perselisihan partai politik poin (2), (3), (4) dan (6). Kemudian, Pasal 32 UU Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik di ayat 2 hingga 5, menjelaskan tentang Mahkamah partai, mulai fungsinya dan status keputusannya. Jadi betul saja bahwa keputusan Majelis Tahkim atau mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat . Sesuai dengan Pasal 32 Ayat 5 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan beriring pengertiannya dengan Pedoman Partai yang dikeluarkan oleh PKS Nomor 2 Tahun 2015 Pasal 44 ayat (4) yang berbunyi; Putusan Majelis Tahkim bersifat final dan mengikat.”

Pertama, soal personalia. Saya ingin mengkritisi serta mengulang tulisan saya sebelumnya. Bahwa jika Ketua Majelis Tahkim dan Pimpinan Majelis Syuro PKS dirangkap oleh satu orang, maka akan ada kemungkinan "abuse of power". Saya tidak mau terlibat dalam domain PKS untuk menentukan siapa yang ada di posisi tersebut.  Atau melanggar konstitusi atau tidak. Tapi saya membayangkan akan ada semacam "cacat etik" yang akan terjadi bilamana kedua jabatan itu berjalan dalam satu proses. Orang yang dianggap bermasalah akan bertanya, di posisi yang mana kita sedang berhadapan dengan Pemimpin partai; Ketua Majelis Tahkim atau Wakil Ketua Majelis Syuro. Akan ada tarikan psikologis. Entah merasa under pressure atau bingung. Menurut saya, ini penting dicermati.

Yang kedua, saya ingin mengkritisi pembentukan Majelis Tahkim oleh DPP PKS. Soal waktu pembentukan dan kelengkapan personel dan legalitasnya.

Soal waktu pembentukannya. Terus terang saya bertanya-tanya. Melihat rangkaian waktu pembentukan seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan Resmi DPP;  bahwa pada tanggal 29 Januari 2016, BPDO menyampaikan rekomendasi keputusan tentang Fahri Hamzah kepada Majelis Tahkim dengan nomor No.01/D/PDO/PKS1437. Kapan dibentuk Majelis Tahkim?. Ternyata sehari sebelum surat dari BPDO itu dikirim. Yaitu tanggal 28 Januari 2016. Lalu kapan susunan anggota dan Ketua Majelis Tahkim di sampaikan ke pemerintah; dalam hal Kemenkumham?. Ternyata 1 Februari 2016. Sehari setelah pembentukan Majelis Tahkim.

Artinya, Majelis Tahkim terkesan dibuat bukan dalam rangka melengkapi struktur organisasi partai. Tapi karena ada potensi kasus pemecatan, baru PKS membuat Majelis Tahkim. Harusnya jika partai itu tanggap akan pentingnya kelengkapan struktur partai, maka personel Majelis Tahkim sudah ada sejak 14 September 2015 sejak pengumuman DPTP dan seluruh perangkatnya, bukan sehari sebelum BPDO melaporkan hasil rekomendasinya.

Yang tak kalah menariknya adalah peristiwa setelah rapat pertama Majelis Tahkim tanggal 22 Februari 2016, ternyata pada tanggal 26 Februari 2016 DPP PKS menerima surat dari Kementerian Hukum dan HAM yang pokok isinya memohon DPP PKS untuk melakukan penyesuaian komposisi Mahkamah Partai (Majelis Tahkim) yang bersifat tetap.

Lalu pertanyaannya, apakah posisi Majelis Tahkim legal dalam pandangan hukum ?. Saya tidak berani menjawab, karena perlu kajian yang komprehensif dan uji materiil dalam sebuah persidangan. Harus ada juga tanggapan dari Kemenkumham tentang  keabsahan Majelis Tahkim PKS.

Tapi mungkin saja ada 'potensi cacat konstitusi' di situ, jika kita melihat ditengah persidangan, ternyata Kemenkumham masih melakukan korespondensi dengan struktur partai terkait personil Majelis Tahkim. Bahkan ada info beredar bahwa pihak Fahri sudah bertanya kepada Menkumham terkait pengesahan mahkamah partai PKS. Hasilnya, ternyata belum disahkan. Sehingga kubu Fahri menganggap ada keganjilan dalam struktur. Apa benar infonya, saya tidak tahu. Tapi hal-hal ini saya yakin akan menjadi materi pendukung jika ada gugatan dari Fahri Hamzah.

Yang membuat publik bertanya-tanya adalah pendeknya jarak antara pembentukan Majelis Tahkim, laporan dan rekomendasi BPDO dan surat DPP PKS ke Kemenkumham tentang pembentukan Majelis Tahkim. Semuanya hanya selang sehari-sehari. Seolah-olah ada yang harus dikejar. Ada potensi "kredibilitas kejujuran" dalam proses Persidangan atas diri Fahri yang dinodai. Terkesan sekali, seperti ada hal yang disembunyikan dan jadi misteri. Entah itu misteri baik atau miateri buruk.

Hal lain yang ingin saya kritisi adalah azas keadilan dan keterbukaan dalam Kasus persidangan Fahri Hamzah. Sesuai penjelasan DPP PKS, pada tanggal 14 Januari 2016 Fahri Hamzah  mengirimkan surat yang menyatakan salah satunya bahwa dalam persidangan atas dirinya, Fahri meminta 4 orang saksi untuk dihadirkan dalam persidangan, yakni Iskan Qolba Lubis, Jazuli Juwaini, Fadli Zon dan Irman Putra Sidin. Seperti kita ketahui, Iskan Qolba Lubis dan Jazuli Juwaini adalah kader senior PKS. Sedangkan Fadli Zon adalah Wakil Ketua DPR dari Gerindra. Iman Putra Sidin sendiri adalah ahli hukum tata negara yang pendapatnya banyak diapresiasi publik.

Tapi kemudian, Majelis pengadilan yang dibentuk PKS hanya mengabulkan 2 orang saksi. Itupun dari internal PKS. Fadli Zon dan Irman Putra Sidin tidak dijadikan saksi. Entah apa pertimbangannya. Padahal, banyak hal yang bisa didapat dan menjadi sejarah dan pelajaran tersendiri tentang bagaimana PKS hidup dalam tata aturan bernegara seperti pandangan politisi dari partai lain. Yang kedua, PKS akan mendapatkan semacam pendapat yang lebih obyektif karena ini adalah pendapat orang luar yang tidak memiliki tarikan konflik di internal PKS. Yang ketiga, dengan hadirnya Fadli Zon dan Irman Putra Sidin, setidaknya pemutus perkara Fahri bisa mendapatkan gambaran utuh tentang situasi politik yang menjadi pertimbangan sendiri bagi PKS dalam memberikan keputusan atas diri Fahri Hamzah.

Terkait exit-way dari kasus pemecatan Fahri Hamzah ini. Sebenarnya, saya berharap sekali, publik yang simpati pada Fahri Hamzah bisa melakukan petisi dan mendesak DPP PKS untuk tidak memecat Fahri Hamzah dan lebih mengutamakan ishlah (perdamaian), karena saya yakin, mayoritas simpatisan PKS akan mendukung langkah tersebut. Silahkan saja DPP PKS lakukan jajak pendapat yang proporsional dan representatif, baik di internal kadernya maupun di seluruh masyarakat di Indonesia. Saya yakin hasilnya akan seperti itu.

Tapi, ketika Fahri Hamzah berencana akan menarik kasus ini ke ranah pengadilan perdata, saya berpikir langkah Fahri Hamzah ini perlu juga dipertimbangkan. Hal ini akan menegaskan beberapa hal; yang pertama, Fahri Hamzah ingin membawa kasus partai dalam ruang hukum positif bernegara. Terlepas apapun hasilnya, ada pelajaran besar tentang bagaimana kita berperkara dalam sebuah partai.

Yang kedua, ini akan menjadi medium untuk menguji kredibilitas politik PKS dalam mengeluarkan keputusannya.

Yang ketiga, rencana membawa kasus ini ke pengadilan adalah bagian besar dari membuka tabir "akuntabilitas kejujuran" dan "akuntabilitas hukum" seluruh orang dan lembaga yang terlibat dalam kasus ini.

Yang keempat, ini akan menjadi mata kuliah tersendiri bagi seluruh pegiat politik tentang beberapa hal dari politik, seperti pelajaran tentang konstitusi dan yang lainnya.

Apakah ada potensi Fahri Hamzah kalah? Potensi kalah itu sangat besar sekali. Karena faktanya, Fahri hanya seorang diri yang harus bersengketa dengan partai. Saya lihat, modal Fahri Hamzah sepertinya hanya kebenaran langkah yang ia yakini dan keberanian yang tertanam di dalam jiwa. Itu saja.

Lalu, apa saja yang akan terjadi di kemudian hari jika Fahri Hamzah memenangkan perkara di pengadila?

Saya membayangkan beberapa hal; pertama, nama baik Fahri Hamzah akan terehabilitasi kembali; kedua, ada kemungkinan hasil kemenangan Fahri untuk dijadikan amunisi tersendiri bagi gelombang pertanyaan baru; "benarkah ada beberapa oknum di DPTP PKS yang melakukan 'abuse of power' dan saya yakin akan ada rentetan peristiwa politik panjang yang akan mengiringi; ketiga, jika sampai Fahri Hamzah menang, maka itu akan menjadi bara bagi seluruh kader muda PKS di Indonesia untuk lebih berani bersuara tentang partai yang demokratis dan terbuka. Lebih demokratis dari kondisi sekarang.

Mari kita lihat bersama-sama. [***]


Bambang Prayitno
Anggota Keluarga Alumni KAMMI. Opini atas nama pribadi

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional

Rabu, 17 Desember 2025 | 18:08

Rosan Update Pembangunan Kampung Haji ke Prabowo

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:54

Tak Perlu Reaktif Soal Surat Gubernur Aceh ke PBB

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:45

Taubat Ekologis Jalan Keluar Benahi Kerusakan Lingkungan

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:34

Adimas Resbob Resmi Tersangka, Terancam 10 Tahun Penjara

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:25

Bos Maktour Travel dan Gus Alex Siap-siap Diperiksa KPK Lagi

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:24

Satgas Kemanusiaan Unhan Kirim Dokter ke Daerah Bencana

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:08

Pimpinan MPR Berharap Ada Solusi Tenteramkan Warga Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:49

Kolaborasi UNSIA-LLDikti Tingkatkan Partisipasi Universitas dalam WURI

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:45

Kapolri Pimpin Penutupan Pendidikan Sespim Polri Tahun Ajaran 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:42

Selengkapnya