Berita

Publika

PT Freeport dan Pelanggaran Hukum Pemerintah

KAMIS, 25 FEBRUARI 2016 | 10:42 WIB

INDONESIA merupakan negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.  Sebagai negara hukum maka Indonesia terikat pada konsepsi rule of law sebagimana yang dikemukan A.V Dicey, yaitu (1) supremasi absolut terletak pada hukum; (2) berlakunya prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) yang artinya semua orang tanpa kecuali harus tunduk kepada hukum; dan (3) Konstitusi menjadi landasan bagi segala hukum yang ada di suatu negara.

Lalu, apakah Pemrintah Indonesia benar-benar menjalankan konsepsi sebagai negara hukum dalam konteks pengelolaan mineral dan batubara? Sesungguhnya UU No. 4 Tahun 2009 telah menjadi landasan organik dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang memiliki cita hukum bahwa segala mineral dan batubara yang terkandung dalam perut bumi Indonesia dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. UU No. 4 Tahun 2009, hingga saat ini menjadi landasan penyelenggaraan pertambangan mineral dan batubara yang seharusnya menjadi aturan yang harus ditaati oleh seluruh subjek hukum yang terkait dengan penyelenggaraan mineral dan batubara di Indonesia.

Namun, apabila dikaitkan dengan konsepsi negara hukum sebagaimana dijelaskan di awal. Penyelengaraan mineral dan batubara, khususnya bagi pemegang Kontrak Karya (KK) yaitu PT Freeport, sangat jauh dari konsepsi rule of law sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Apabila dibenturkan dengan teori Dicey di atas, pertama, supremasi absolut terletak pada hukum. Kenyataannya, terkait KK PT Freeport telah terjadi penyimpangan terhadap hukum, khususnya mengenai Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2009 yang mengatur bahwa sejak 12 Januari 2014 PT Freeport harus melakukan pemurnian hasil tambangnya di dalam negeri.


Artinya tidak ada lagi mineral mentah baik ore maupun konsentrat yang dibawa keluar negara tanpa diolah dan/atau dimurnikan di dalam negeri. Tidak ada lagi tanah air Indonesia dibawa mentah-mentah tanpa diolah dan/atau dimurnikan di Indonesia sebagaima ayang selama ini terjadi. Kenyataannya, hingga saat ini, jauh sejak 12 Januari 2014, PT Freeport tetap dapat melakukan ekspor konsentrat untuk dimurnikan di luar negeri, padahal menurut Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2009, hal tersebut sudah tidak boleh. Artinya tanah air dibawah mentah-mentah ke luar negeri tanpa memberikan nilai tambah bagi bangsa Indonesia yang sesungguhnya pemilik kekayaan alamnya.

Konsepsi kedua negara hukum, yaitu adanya prinsip equality before the law. Namun, kenyataannya telah terjadi perlakuan yang berbeda antara pemegang KK dengan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang dalam praktiknya secara konsisten berusaha melaksanakan Pasal 103 UU No. 4 Tahun 2009 untuk membangun fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri untuk melaksanakan UU No. 4 Tahun 2009. Namun di sisi lain, bagi PT Freeport kewajiban permurnian tersebut dapat disimpangi. Alasan bahwa KK memiliki keberlakuan hukum yang berbeda dengan pemegang IUP, misalnya bahwa Kontrak memiliki asas pacta sunt servanda yaitu asas bahwa semua pihak yang berkontrak harus taat kesepakatan dalam kontrak secara konsisten, asas sanctity of contract yaitu asas bahwa kontrak itu suci dan tidak dapat diubah semau-maunya tanpa kesepakapan pihak.

Namun, apabila dilihat lebih dalam bahwa dalam Pasal 10 KK PT Freeport terdapat kesepakatan mengenai kewajiban PT Freeport untuk membangun smelter di Indonesia serta dalam Pasal 23 ayat (2) KK dinyatakan bahwa PT Freeport akan menaati semua peraturan di Indonesia dari waktu ke waktu. Seseungguhnya, siapa yang kemudian tidak taat dengan Kontrak yang tidak hanya mencederai peraturan perundang-undangan, namun mencerai Kontrak yang disepekatinya sendiri.

Konsepsi ketiga mengenai negara hukum yaitu Konstitusi harus menjadi landasan bagi segala hukum. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengandung prinsip ‘penguasana oleh negara’ dan prinsip ‘sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat’ harus dilaksanakan dalam penyelenggaraan mineral dan batubara, termasuk mengenai kewajiban bagi PT Freeport untuk memurnikan hasil tambangnya di Indonesia. Hal itu diperkuat pula oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 10/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa pengelolaan dan/atau pemurnian di dalam negeri atas mineral merupakan materi muatan dalam Pasal 102 dan Pasal 103 UU No. 4 Tahun 2009 yang Konstitusional atau tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Walau secara formalitas hukum pengujian MK terhadap Pasal 102 dan Pasal 103 UU No. 4 Tahun 2009 bukan kepada Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2009, namun kedua Pasal tersebut memiliki substansi yang sama yaitu mengenai kewajiban pengolahan dan/atau permunian, Pasal 102 dan Pasal 103 kewajiban kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Pasal 170 yang merujuk pada Pasal 103 mengenai kewajiban kepada pemegang Kontrak Karya.

Dari tiga konsepsi tersebut, baik Pemerintah maupun PT Freeport telah jelas melakukan pelanggaran hukum secara Konstitusional, baik terhadap Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 maupun UU No. 4 Tahun 2009. Walau untuk menyatakan pelanggaran atau bukan pelanggaran hukum merupakan wewenang lembaga peradilan. Namun, secara akademik yang berbasis teori maka segala bentuk ketidakpatuhan terhadap hukum yang secara jelas pengaturannya, namun tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya maka dalam dimensi ilmu pengetahuan tentang hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk pelanggaran hukum.

Impeachment Presiden?

UUD 1945 telah mengatur bahwa kewajiban Presiden dan Waki Presiden untuk menaati hukum yang hal itu tertuang dalam sumpah Presiden dan Wakil Presiden di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 yang sumpahnya berbunyi: Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”. Jelas dalam sumpah tersebut terdapat kewajiban Presiden untuk memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.

Lalu, ketika Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terkait kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri oleh Mahkamah Konstitusi dikatakan merupakan perbuatan hukum yang konstitusional serta aturan dalam Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2009 yang mengatakan bahwa sejak 12 Januari 2014 tidak ada lagi ekspor ore/konsentrat keluar negeri namun kenyataannya Pemerintah hingga saat ini masih memberikan izin ekspor hasil tambang kepada PT Freeport yang belum diolah dan/atau dimurnikan di dalam negeri merupakan bentuk pelanggaran hukum oleh Presiden?

Hingga saat ini, Presiden melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tetap memberikan izin ekspor kepada PT Freeport untuk membawa konsentrat yang belum dimurnikan di Indonesia keluar negeri. Padahal, dalam konteks yang lebih teknis-ekonomis-sosiologis pemurnian hasil tambang di dalam negeri akan meningkatkan nilai tambah produk sehingga memberikan banyak manfaat bagi negara, misalnya melalui tambahan penerimaan negara, penerimaan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan industri dalam negeri.

Sayangnya, Pemerintah lebih mementingkan PT Freeport walau Pemerintah harus menyimpangi UUD 1945 dan UU No. 4 Tahun 2009. Sayangnya, Pemerintah lebih bertekuk lutut dan tidak berkutik di hadapan PT Freeport dibandingkan kepada kehendak rakyat yang tertuang dalam UUD 1945 dan UU No. 4 Tahun 2009.

Sayangnya lagi, DPR RI sebagai lembaga pengawas tidak bersuara keras untuk memastikan Presiden menjalankan UUD 1945 dan UU No. 4 Tahun 2009 selurus-lurusnya. Walau pernah terdapat wacana dari Komisi VII DPR RI agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) sebagai upaya agar Presiden tidak melanggar hukum karena terus memberikan izin ekspor kepada PT Freeport. Namun, justru dengan penerbitan PERPPU maka penganak-emasan PT Freeport yang menikmati izin ekspor tanpa harus membangun smelter pun dilakukan.

Seharusnya Pemerintah konsisten dan konsekuen dengan kebijakan hilirisasi mineral melalui ketegasan Pemerintah untuk memaksa PT Freeport membangun smelter terlebih dahulu dan seluruh hasil tambangnya dimurnikan di dalam negeri, baru memiliki izin ekspor atas produk yang telah diolah dan dimurnikan di Indonesia. Sebagai negera yang berdaulat dan memegang teguh prinsip negara hukum, ulah Pemerintah sangat jauh dari konsep negara hukum. Konstitusi dan undang-undang No. 4 Tahun 2009 telah disimpangi dan penyimpangan tersebut merugikan kepentingan hukum dan kepentingan bangsa-negara Indonesia secara filosofis, sosiologis, ekonomis, dan teknis.

Akhirnya, untuk kesekian kali Pemerintah bertekuk lutut dan tak berkutik di hadapan PT Freeport. Entah sampai kapan? Semoga dosa masa lalu dan masa kini, tidak terulang lagi di masa mendatang. Semoga kekayaan alam yang merupakan titipan anak cucu ini tidak dikuras tanpa memberikan manfaat bagi bangsa dan negara ini, dapat dihentikan. Ketika Pemerintah memastikan bahwa kekayaan alam Indonesia harus memberikan sebesar-besar manfaat bagi bangsanya sendiri, bukan sebesar-besar manfaat bagi bangsa lain.

Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara


Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional

Rabu, 17 Desember 2025 | 18:08

Rosan Update Pembangunan Kampung Haji ke Prabowo

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:54

Tak Perlu Reaktif Soal Surat Gubernur Aceh ke PBB

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:45

Taubat Ekologis Jalan Keluar Benahi Kerusakan Lingkungan

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:34

Adimas Resbob Resmi Tersangka, Terancam 10 Tahun Penjara

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:25

Bos Maktour Travel dan Gus Alex Siap-siap Diperiksa KPK Lagi

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:24

Satgas Kemanusiaan Unhan Kirim Dokter ke Daerah Bencana

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:08

Pimpinan MPR Berharap Ada Solusi Tenteramkan Warga Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:49

Kolaborasi UNSIA-LLDikti Tingkatkan Partisipasi Universitas dalam WURI

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:45

Kapolri Pimpin Penutupan Pendidikan Sespim Polri Tahun Ajaran 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:42

Selengkapnya