Berita

Publika

Gotong Royong Melawan Pecandu Impor

SELASA, 11 AGUSTUS 2015 | 17:05 WIB

SELAMA ini, upaya untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan di Indonesia selalu berhadapan dengan para pecandu impor. Negara, dalam hal ini pemerintah, yang memiliki kewenangan mengurusi masalah pangan seringkali dibuat tak berdaya ditangan para pecandu impor.

Penulis menyebut ini sebagai candu, karena sifatnya yang menyebabkan ketagihan. Setiap kali upaya untuk membangun kedaulatan pangan muncul, para pecandu ini seakan berada dalam ancaman. Mereka kemudian menyusun rekayasa yang terstruktur dan massif, mendistorsi pasokan, serta menciptakan situasi yang seolah-olah semakin kritis. Hingga kemudian upaya membangun kemandirian tersebut kandas dan pemerintah kembali mengambil jalan pintas, impor lagi.

Para pecandu ini mengetahui dimana celah dan boroknya semua rantai bisnis pangan. Kapan mereka harus masuk, dengan siapa harus bermain dan bagaimana pola permainannya. Permainan para pecandu impor ini kian sulit terendus manakala ia berkolaborasi apik dengan kepentingan elite yang memperkaya diri melalui perburuan rente pada beragam komoditas impor tersebut.


Dalam kasus daging sapi misalnya, pada kuartal III-2015 pemerintah hanya memberikan izin impor 50.000 sapi bakalan. Jumlah itu jauh dari yang diajukan importir sebesar 250.000 ekor, yang merupakan jumlah yang sama dengan kuota kuartal II/2015. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa produksi daging sapi dari peternak lokal cukup untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di dalam negeri.

Jelas, penurunan kuota impor yang mencapai 80% tersebut akan menimbulkan ancaman tersendiri dikalangan importir. Terlebih ditengah ketiadaan data dan informasi yang akurat dari pemerintah terkait ketersediaan stok daging sapi dari peternak lokal. Alhasil, terjadilah apa yang kita rasakan saat ini. Para pedagang mogok massal dan harga daging sapi pun meroket tajam. Instabilitas harga ini tentunya akan berdampak buruk bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses pangan dengan harga yang tinggi.

Gejolak harga ini memunculkan desakan agar pemerintah kembali membuka keran impor sesuai kuota yang diminta importir, jalan pintas yang paling radikal dan berdimensi sempit jangka pendek. Padahal jika pemerintah memiliki data yang akurat terkait produksi daging sapi dari peternak lokal, argument ini bisa terbantahkan dan pemerintah bisa konsisten dengan kebijakan yang telah ditetapkannya. Tidak ada lagi istilah, Negara bertekuk lutut pada mafia!

Karena seharusnya, permainan para pecandu impor yang motifnya selalu berulang ini sudah bisa diantisipasi jauh-jauh hari sebelum kebijakan pembatasan impor itu ditetapkan. Negara harus punya peta jalan (road map) yang jelas, kebijakan yang konsisten dan manajemen krisis yang pas saat berhadapan dengan para importir tersebut dalam menghadapi gejolak harga di pasar. Sehingga jika permainan para pecandu ini muncul ke permukaan, pemerintah sudah siap dengan amunisi-amunisinya, punya data yang akurat dan manajemen krisis yang tepat. Pemerintah tidak ragu lagi dengan kebijakan yang telah ditetapkannya sendiri.

Tidak mudah memang untuk menjadi bangsa yang berdaulat, khususnya dalam hal pangan. Dengan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi pada produk-produk pangan impor, negeri ini tentunya akan sangat rentan terhadap perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi secara internasional.

Impor, meskipun dari aspek pemenuhan kebutuhan masyarakat tidak terlalu bermasalah, akan tetapi dalam jangka panjang tentu akan sangat mebahayakan kelangsungan hidup ratusan juta rakyat Indonesia. Saat terjadi perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi di tingkat internasional, maka secara otomatis kita pun langsung terkena dampaknya.

Pemerintah dan rakyat harus bersatu, gotong royong melawan para pecandu impor yang sudah menguasai rantai bisnis pangan dari hulu sampai hilir. Lawan! Jika tidak, negeri ini tidak bisa lepas dari jebakan ketergantungan pada produk-produk pangan impor yang keuntungannya hanya dinikmati segelintir orang dan mengalir ke petani/peternak di luar negeri. [***]


Penulis adalah Alfian Helmi, Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Sapporo, Jepang

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

Kreditur Tak Boleh Cuci Tangan: OJK Perketat Aturan Penagihan Utang Pasca Tragedi Kalibata

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:15

Dolar Melemah di Tengah Data Tenaga Kerja AS yang Variatif

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:00

Penghormatan 75 Tahun Pengabdian: Memori Kolektif Haji dalam Buku Pamungkas Ditjen PHU

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:48

Emas Menguat Didorong Data Pengangguran AS dan Prospek Pemangkasan Suku Bunga Fed

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:23

Bursa Eropa Tumbang Dihantam Data Ketenagakerjaan AS dan Kecemasan Global

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:01

Pembatasan Truk saat Nataru Bisa Picu Kenaikan Biaya Logistik

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:46

Dokter Tifa Kecewa Penyidik Perlihatkan Ijazah Jokowi cuma 10 Menit

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:35

Lompatan Cara Belajar

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:22

Jakarta Hasilkan Bahan Bakar Alternatif dari RDF Plant Rorotan

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:11

Dedi Mulyadi Larang Angkot di Puncak Beroperasi selama Nataru

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:48

Selengkapnya