Berita

net

Politik

Neoliberalisme di Indonesia (untuk Jokowi)

RABU, 22 OKTOBER 2014 | 16:19 WIB | OLEH: GEDE SANDRA

BELUM lama ini lembaga rating Fitch mengeluarkan hasil penelitiannya tentang keterbukaan negara-negara terhadap penguasaan investasi asing. Tidak mengejutkan, Indonesia yang sudah sepuluh tahun semakin bergeser ke kanan, semakin liberal di bawah SBY, mendapatkan "cap" sebesar 80 persen.

Cap Indonesia jauh lebih besar (yang berarti lebih terbuka pada investasi asing) dari salah satu negara industri terbesar di Asia: India (26 persen) ataupun dari negara tetangga kita di ASEAN: Thailand (49 persen). Kedua negara tersebut (India dan Thailand), yang sering kita lihat sebagai negara yang lebih maju dari negara kita saja tidak perlu menjadi terlalu liberal seperti Indonesia. Ini adalah pelajaran penting untuk Jokowi.

Semakin liberalnya perekonomian Indonesia adalah akibat direkayasa oleh para arsitek ekonomi dan keuangan di pemerintahan SBY, seperti: Boediono, Sri Mulyani, Chatib Basri, dan Kuntoro Mangkusubroto. Para gerombolan Mafia Berkeley turun temurun tersebutlah yang telah "menjual" kedaulatan Bangsa Indonesia sejak masa berdirinya Orde Baru Suharto (1966-1998) hingga Orde Reformasi SBY (2004-2014).

Seorang peneliti dari Institute of Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng, menyatakan bahwa modal asing telah menguasai 42 juta hektare daratan untuk pertambangan minerba, 95 juta hektare untuk pertambangan migas, 32 juta hektare untuk HPH, HTI, dan HTR, serta 9 juta hektare untuk perkebunan sawit. Berarti terdapat 178 juta hektar atau 93 persen dari total luas bumi Indonesia yang saat ini dikelola oleh swasta asing.

Karya yang paling monumental dari kelompok neoliberal ini (Boediono, Sri Mulyani, Chatib Basri, dan Kuntoro) adalah UU Penanaman Modal tahun 2007. Yang keberadaannya untuk memperbaharui UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 yang juga disusun oleh senior mereka, para pendiri Mafia Berkeley: Widjojo Nistisastro, Emil Salim, Ali Wardana, Sumarlin, dan sebagainya. Saat itu draft UU diusulkan oleh pemerintah SBY dan akhirnya menang di DPR karena disetujui oleh mayoritas fraksi.

Perlu dicatat lagi oleh Jokowi, partainya PDI Perjuangan adalah salah satu fraksi yang menolak disahkannya UU Penanaman Modal 2007 itu. Jadi, bila Jokowi kemudian merekrut keturunan Mafia Berkeley menjadi anggota kabinetnya, dapat dibayangkan perlawanan yang akan diterima oleh Jokowi bila ia sempat berniat untuk mencabut atau merevisi UU liberal, terutama yang dibuat di pemerintahan SBY.

Saat ini situasinya seolah terlihat dilematis bagi Jokowi. Karena di satu sisi para agen neoliberal dalam dan luar negeri merasa punya saham atas kemenangan Jokowi dan kini ngotot untuk menagihnya: dengan meminta Jokowi memasukkan agen-agen mereka (Sri Mulyani, Chatib Basri, dan Kuntoro) ke dalam kabinet. Namun di sisi lain mayoritas para pemilih Jokowi jelas bukanlah para teknokrat ekonom dan investor di pasar keuangan, melainkan para pemulung, tukang becak, tukang sayur, supir angkot, kuli pasar, tukang ojek, buruh, petani, nelayan miskin kota, dan mahasiswa di seluruh Indonesia- yang sebenarnya juga punya ekonom-ekonom kerakyatan yang bersuara mewakili mereka (seperti: Rizal Ramli, Hendri Saparini, Revrisond Baswir, dan Ichsanudin Noersy).

Mungkin kemampuan lobby untuk memenangkan kelompok neolib masuk kabinet jauh lebih canggih dari kubu kelompok kerakyatan, namun sebenarnya Jokowi dapat lebih menggunakan akal sehat dan hati nuraninya. Kenapa akal sehat? Karena Jokowi harus paham bahwa terbukti neoliberalisme tidak pernah membawa kemakmuran bagi mayoritas rakyat di suatu negara, tapi hanya semakin memperkaya segelintir kelompok pemodal dan pelaku pasar. Amerika Latin telah menjadi saksi bagaimana saat neoliberalisme diterapkan di negeri-negeri mereka, hasilnya adalah kemiskinan yang semakin meluas dan kesenjangan yang semakin akut.

Lalu kenapa hati nurani? Karena diperlukan sensitivitas hati Jokowi yang dapat merasakan getaran kehendak rakyat jelata di Indonesia. Rakyat adalah pemilik negeri ini, bukan pemodal. Karena itulah jika kelak ternyata Jokowi malah mengisi kabinetnya dengan agen-agen neoliberal, maka rakyat yang paham (seharusnya sebagian besar rakyat) hanya akan menyindir sinis: Indonesia, siapapun presidennya, neolib menterinya!

Penulis adalah Peneliti di Lembaga Studi Perjuangan

Populer

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

UPDATE

Sinergi Infrastruktur dan Pertahanan Kunci Stabilitas Nasional

Senin, 10 Maret 2025 | 21:36

Indonesia-Vietnam Naikkan Level Hubungan ke Kemitraan Strategis Komprehensif

Senin, 10 Maret 2025 | 21:22

Mendagri Tekan Anggaran PSU Pilkada di Bawah Rp1 Triliun

Senin, 10 Maret 2025 | 21:02

Puji Panglima, Faizal Assegaf: Dikotomi Sipil-Militer Memang Selalu Picu Ketegangan

Senin, 10 Maret 2025 | 20:55

53 Sekolah Rakyat Dibangun, Pemerintah Matangkan Infrastruktur dan Kurikulum

Senin, 10 Maret 2025 | 20:48

PEPABRI Jamin Revisi UU TNI Tak Hidupkan Dwifungsi ABRI

Senin, 10 Maret 2025 | 20:45

Panglima TNI Tegaskan Prajurit Aktif di Jabatan Sipil Harus Mundur atau Pensiun

Senin, 10 Maret 2025 | 20:24

Kopdes Merah Putih Siap Berantas Kemiskinan Ekstrem

Senin, 10 Maret 2025 | 20:19

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Airlangga dan Sekjen Partai Komunis Vietnam Hadiri High-Level Business Dialogue di Jakarta

Senin, 10 Maret 2025 | 19:59

Selengkapnya