Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seharusnya tidak mudah terpengaruh oleh sindiran kalangan tertentu yang memaksa agar segera mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
"Jangan hanya karena disindir Indonesia tidak mengaksesi FCTC, lalu pemerintah memaksakan kehendaknya untuk membunuh petani dan industri tembakau yang selama ini menjadi sumber penghasilan masyarakat dan negara," tegas eneliti senior pada lembaga Masyarakat Pemangku Kepentingan Kretek Indonesia (MPKKI) Prof Kabul Santoso dalam keterangan persnya di Jakarta, Selasa (14/10).
MPKKI berharap di akhir masa pemerintahannya, Presiden SBY memberikan warisan berharga dengan tidak mengaksesi FCTC. Sikap Presiden SBY bila menolak meneken FCTC itu merupakan wujud perlindungan terhadap keberlangsungan industri nasional tembakau dari hulu ke hilir. Ratifikasi tidak hanya berdampak pada petani tembakau, namun juga bakal merontokkan industri rokok kretek nasional. Padahal, industri ini menyerap jutaan tenaga kerja. Belum lagi tenaga kerja di bisnis yang mendukung pertanian tembakau dan industri rokok kreteknya.
Lebih lanjut Kabul mengingatkan, Presiden SBY pernah berjanji tidak akan mengaksesi FCTC di hadapan petani tembakau saat menghadap Istana pada April 2014 lalu. Studi lapangan MPKKI ke beberapa negara penghasil tembakau, antara lain Jerman, Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Tiongkok menunjukkan keberpihakan pemerintah negara-negara tersebut terhadap industri tembakau nasional.
Empat negara tersebut memiliki UU sendiri yang mengatur pertembakauan. Khusus kasus di Tiongkok, dengan jumlah perokok mencapai 390-an juta lebih. Meskipun Tiongkok akhirnya mengaksesi FCTC, tetapi keberpihakan pemerintah melindungi industri rokok dalam negerinya sangat baik. Bahkan, AS sampai hari ini tidak mengaksesi FCTC. AS dan Swiss hanya tanda tangan FCTC, tetapi tidak meratifikasi.
"Apakah pemerintah siap dengan dampak ekonomi sosialnya? Apakah pemerintah mampu menyediakan lapangan pekerjaan untuk sumber daya manusia yang banyak?," tanyanya.
“Selain itu, rokok kretek di Indonesia sudah menjadi trademark. Di dunia ini, kretek hanya ada di Indonesia. Seharusnya, kretek justu dilestarikan seperti halnya cerutu Kuba," tambah mantan rektor Universitas Negeri (Unej) Jember ini.
Data MPKKI menyebutkan, di Indonesia terdapat 20 daerah sentra penghasil tembakau di mana masyarakat masih banyak yang membutuhkan sebagai sumber penghidupan mereka. Fakta ini harus dibarengi adanya serapan industri untuk bahan baku industri rokok.
"Agak aneh Indonesia sebagai produsen kretek dengan produk sangat khas dibunuh sendiri oleh pemerintah melalui berbagai regulasi, di antaranya PP 109/2012, Permenkes 28/2013, peraturan tentang cukai rokok," ujarnya.
[wid]