SETELAH menerima kunjungan Koalisi Merah Putih beberapa waktu lalu, Presiden SBY menyampaikan ke publik bahwa Koalisi Merah Putih dan juga partainya sendiri, akan menjadi bagian mengawal pemerintahan sebagai kekuatan penyeimbang. Ia berpendapat, menjadi penyeimbang bisa memberikan fungsi check and balances untuk memastikan agar semua kebijakan pemerintah berjalan ke arah yang benar. “Saya optimistis bahwa demokrasi kita akan berjalan dengan baik. Harapan rakyat juga begitu," demikian kata Presiden SBY.
Seturut dengan pendapat Presiden SBY di atas, DPR memang memiliki kewenangan sebagai pembuat undang-undang, penganggaran, dan pengawasan. Fungsi ini juga sama pentingnya dengan fungsi eksekutif sebagai lembaga yang menjalankan pemerintahan. Karena bila fungsi-fungsi tersebut berjalan dengan baik, bisa dipastikan memberi dampak yang sangat baik pula terhadap kehidupan seluruh rakyat Indonesia.
Pertanyaannya, apakah fungsi-fungsi DPR tersebut selama ini sudah berjalan dengan baik? Sejauh ini fungsi-fungsi tersebut belum maksimal karena “bias†pemahaman anggota DPR tentang “kerja politik†yang disamakan dengan “kerja sosial†dalam menjalankan tugasnya.
Kerja sosial vs kerja politik
Daripada menjalankan kerja politik dengan menyusun dan menetapkan undang-undang, penganggaran serta pengawasan, sebagian besar anggota DPR justru lebih memilih untuk melakukan kerja sosial. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari sering bolosnya mereka ketika sidang paripurna dengan alasan klasik sekaligus klise: melakukan kunjungan kerja ke Dapil untuk menyerap aspirasi. Padahal kunjungan kerja ke Dapil sudah diatur jadwalnya, yaitu saat reses. Artinya tidak ada alasan untuk tidak menghadiri sidang-sidang penting karena jadwal ke Dapil sudah tersusun rapi.
Gejala yang demikian berpangkal pada kesalahan mendasar dalam memahami kunjungan kerja/menyerap aspirasi dari konstituen. Kunjungan kerja bukanlah tujuan pada dirinya. Tetapi tujuan utamanya adalah, apa-apa yang didapat dari kunjungan kerja tersebut bisa diperjuangkan di parlemen. Artinya, menyerap aspirasi tidak memiliki makna pada dirinya sendiri, tetapi ia bermakna jika, dan hanya jika, diterjemahkan ke dalam kerja politik melalui penetapan undang-undang, pengawasan, serta penganggaaran untuk kepentingan yang sebesar-besarnya konstituen yang mereka wakili. Ini adalah bias pertama.
Bias yang kedua—dan ini lebih parah dari yang pertama—adalah saat menjelang pemilu legislatif. Pada momen ini, para caleg betul-betul tidak bisa membedakan apa itu kerja politik dan kerja sosial. Karena itu, hampir semua caleg dari seluruh partai berlomba-lomba untuk membagi-bagikan kaos, sembago dan yang lebih fatal membagi-bagikan uang. Cara ini ditempuh dengan harapan mereka dipilih oleh pemilih.
Pada pokok inilah, kerja sosial harus dibedakan secara jelas dengan kerja politik. Kerja sosial merujuk pada suatu kerja dalam suatu komunitas tertentu yang tidak memiliki kaitan langsung dengan struktur tata-kenegaraan. Karena itu jangkauan dan dampaknya sangat terbatas.
Ini berbeda sama sekali dengan kerja politik yang menjadi tugas utama DPR. Kerja politik dimakanai sebagai kerja dalam suatu tata relasi institusional tertentu dari hasil kesepakatan bersama para anggotanya. Kerja politik menunjuk pada suatu kerja struktur tata-kenegaraan untuk mengatur hajat hidup seluruh warga negara dalam mencapai cita-cita bersama (common good). Karena itu jangkauannya luas, mengikat seluruh warga negara.
Dari definisi di atas, bisa dipahami bawah bukan berarti kerja sosial tidak baik. Tentu saja baik, tetapi ia bukan tugas utama anggota DPR. Biarkanlah warga biasa atau lembaga-lembaga sosial yang menjalankan tugas-tugas tersebut, tak perlu diambil alih oleh anggota dewan. Tugas utama anggota dewan lebih tinggi dan lebih luas dari itu, yaitu kerja politik mengatur kehidupan seluruh warga negara mencapai kebaikan bersama melalui tugas pokok mereka: penyusunan dan penetapan undang-undang, penganggaran, dan pengawasan.
Bila kerja politik dimaknai sebagai segala usaha yang dikerahakan untuk “kebaikan umum†ala Aristotelean, mungkinkah kebaikan umum itu dicapai melalui legislasi, penganggaran, dan pengawasan? Jawabannya kembali kepada pembedaan yang tegas antara kerja sosial dan kerja politik. Kebaikan umum yang hendak dituju itu bisa dicapai jika, dan hanya jika, anggota DPR memahami secara betul apa itu kerja politik.
Ketika memahami kerja politik, maka mereka akan menyusun dan menetapkan perundang-undangan, melakukan pengawasan terhadap implementasi undang-undang, serta penganggaran yang semuanya harus diarahkan untuk kebaikan bersama (kesejahteraan rakyat). Perlu dicatat, untuk menjalankan kerja politik ini, anggota dewan tidak perlu memiliki dan mengeluarkan uang banyak seperti dalam kerja sosial yang kita saksikan hari-hari kini, tetapi hanya memerlukan keahlian khusus, keterampilan dalam mengatur tata-negara, serta tujuan luhur dalam memperjuangkan nasib seluruh warga negara. Dengan demikian, kerja politik akan menghasilkan suatu ketahanan jangka panjang bagi seluruh warga negara atau minimal konstituen. Meski warga negara tidak diberi sembako, mereka tetap bisa makan; kendati konstituen tidak diberi kaos, mereka tetap bisa membeli baju; kalaupun tak dikasih uang, masyarakat tetap menghasilkan uang karena diikat oleh kebijakan negara yang memungkinkan mereka bisa mengakses hal tersebut.
Kelemahan Sistem Perwakilan
Bias pemahaman tentang kerja sosial vs kerja politik ini begitu parah diidap oleh para anggota DPR, bahkan mungkin sebagian besar masyarakat kita. Gejala itu bisa kita lihat dalam setiap momen-momen menjelang pemilu legislatif di mana para caleg dan masyarakat menjorokkan lembaga perwakilan “yang terhormat†hanya sekedar membagi-bagikan kaos, sembako dan bahkan uang. Calon anggota DPR direduksi semata-mata orang yang memiliki harta berlimpah yang perlu dibagi-bagikan kepada para pemilih. Hanya sebatas itu, tak lebih dan tak kurang!
Pada pokok inilah sejumlah kelemahan sistem perwakilan menampakkan dirinya. Pertama, sistem perwakilan berpotensi terperangkap pada “kediktatoran,†dalam arti para wakil rakyat sama sekali tidak memiliki kepedulian terhadap rakyatnya. Dan kedua, sistem perwakilan sangat potensial tidak mencerminkan aspirasi yang diwakili. Di gedung parlemen berteriak-lantang atas nama kepentingan rakyat, sementara mereka sama sekali tidak pernah merasakan penderitaan rakyat. Karena itu untuk menjaga keluhuran lembaga perwakilan yang terhormat tersebut, kelemahan sistem perwakilan ini perlu diatasi.
Merasakan Penderitaan Rakyat
Ide yang relevan dibangkitkan kembali guna mengatasi kelemahan sistem perwakilan ala DPR ini adalah pendidikan “kaum terpilih†yang pernah menjadi proyek filsafat politik Plato. Ide pokok Plato berpijak pada argumentasi bahwa keputusan-keputusan politik menyangkut nasib orang banyak tidak boleh diserahkan kepada “massa†(mob) yang tak memiliki kompetensi khusus untuk mengatur tata-negara. Urusan nasib orang banyak harus diserahkan kepada para ahli, yang menempuh pendidikan khusus dan berjenjang dalam sistem seleksi yang ketat. Bila keputusan politik diserahkan pada “massa†kebanyakan, maka nasib negara berada dalam risiko diperintah tidak dari, oleh, dan untuk rakyat, tetapi dari, oleh, dan untuk “massa beringas.â€
Ide ini relevan untuk diterapkan dalam mengatasi kelemahan sistem perwakilan. Tentu saja dengan berbagai modifikasi. Kaum terpilih ala Plato adalah filsuf-raja atau raja-filsuf yang tak ditemukan di Indonesia kini. Dalam konteks ini, anggaplah “kaum terpilih†itu adalah para caleg yang dipilih oleh rakyat dengan legitimasi keputusan dari KPU. Mereka-mereka inilah yang akan menempuh pendidikan berjenjang dalam sistem seleksi yang ketat sebagaimana dibayangkan oleh Plato 24 abad lalu itu.
Para caleg terpilih ini diwajibkan untuk menjalani pendidikan dengan merasakan penderitaan rakyat yang memilih mereka secara langsung, minimal tiga bulan. Caranya adalah dengan menjalani profesi warga negara/konstituen khususnya yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Para caleg terpilih diwajibkan menjalani pendidikan dan latihan dengan menjadi “buruh-tani, petani, tukang ojek, tukang becak, tukang panggul, pedagang kaki lima, nelayan, supir angkot, guru honorer, dan profesi-profesi lain dari kelas menengah bawah.†Mereka dilatih untuk merasakan bagaimana penderitaan menjadi buruh-tani, bagaimana menjadi nelayan, tukang ojek, tukang panggul, supir angkot, dan kaum lemah lainnya.
Dengan merasakan penderitaan rakyat secara langsung melalui pendidikan dan latihan menggeluti profesi kelas menengah bawah, para anggota DPR diharapkan betul-betul bisa melakukan kerja politik sesuai aspirasi konstituen mereka. Karena itu kesenjangan antara mereka yang diwakili (konstituen) dengan yang mewakili (anggota dewan) tidak akan terlalu jauh seperti yang terjadi saat ini. Pasalnya para kaum terpilih ini setidaknya pernah mencicipi penderitaan yang dirasakan oleh setuao konstituen sehingga kerja politik mereka akan diarahkan untuk mengatasi penderitaan rakyatnya.
Ide revolusioner ini layak dipertimbangkan guna mengatasi bias pemahaman “kerja politik†yang disamakan dengan “kerja sosial†sebagaimana sudah digambarkan, sembari dimaksudkan mengatasi kelemahan sistem perwakilan yang saat ini kita saksikan dan nikmati bersama. [
Wallahu a’lam]
Mohamad Nabil
Bergiat di KAMURA, Jakarta
Direktur Riset Freedom Foundation