KOMISI Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Hal ini diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan pasangan Prabowo-Hatta.
Sehingga Jokowi-JK akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden 2014-2019 pada 20 Oktober 2014 mendatang.
Seperti kita ketahui pasangan Jokowi-JK adalah pasangan presiden terpilih yang didukung oleh koalisi PDIP, PKB, Hanura, Nasdem, dan PKPI. Dukungan koalisi partai pengusung Jokowi tersebut hanya berjumlah 37 persen atau sekitar 207 kursi di DPR. Sedangkan koalisi Merah Putrih (KMP) berjumlah lebih dari 50 persen atau sekitar 292 kursi parlemen. Koalisi Merah Putih sudah mengikatkan diri dalam koalisi permanen yang akan menjadi penyeimbang jalannya pemerintahan Jokowi.
Disamping KMP, Partai Demokrat di detik-detik terakhir juga mengikrarkan diri sebagai kekuatan penyeimbang yang tidak ke koalisi Prabowo atau koalisi Jokowi.
Disamping KMP, Partai Demokrat di detik-detik terakhir juga mengikrarkan diri sebagai kekuatan penyeimbang yang tidak ke koalisi Prabowo atau koalisi Jokowi.
Reformasi yang membuka kran demokratisasi telah memberi kebebasan dalam berserikat dan berkumpul, semangat inilah yang melahirkan keberadaan multi partai di Indonesia. Proses demokratisasi telah meniscayakan dilakukannya amandemen UUD 1945 yang banyak merombak tata politik dan pemerintahan Indonesia. Salah satu yang berubah adalah lahirnya sistem Pemilihan Presiden secara langsung.
Sebelum amandemen, presiden dan wakil presiden dipilih lembaga tertinggi negara yakni Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR). Perubahan Pemilihan Presiden dari perwakilan menjadi langsung oleh rakyat berdampak pada perubahan sistem pemerintahan yang khas Indonesia yakni melalui MPR menjadi presidensial seperti yang terjadi di banyak negara. Perubahan sistem pemerintahan menjadi presidensial, otomatis telah mengubah kedudukan MPR yang tidak lagi menjadi kekuatan kekuasaan dalam tata pemerintahan di Indonesia.
Eksperimen sistem presidensial di era multipartai seperti sekarang sebenarnya mengandung resiko yang besar. Pengalaman mengatakan bahwa bagaimana susahnya mengelola ritme pemerintahan SBY-JK tahun 2004-2009. Ketika itu SBY-JK pemenang pemilu tetapi dukungan suara diparlemen sangat kecil. Hubungan pemerintahan dan DPR acapkali diwarnai dengan “demam politik†yang tidak berkesudahan.
Peristiwa ini kelihatannya akan terualang di era Jokowi-JK tahun 2014-2019 mendatang. Koalisi Merah Putih yang menguasai parlemen akan menjadi kekuatan penyeimbang kalau tidak ingin dikatakan sebagai kekuatan penghadang pada setiap kebijakan yang akan dijalankan Jokowi-JK.
Kalau model multi partai dan pemilihan dilakukan secara langsung seperti ini, tentu akan sangat mungkin terus terjadi presiden terpilih tidak selalu mendapat dukungan parlemen yang kuat. Koalisi ramping Jokowi-JK jelas akan terkendala di dalam menjalankan roda pemerintahan meskipun pemerintah tetap berjalan, tetapi berjalan dengan penuh kerepotan dan menguras energi karena disibukkan dengan urusan politik di DPR.
Bagaimana siasat yang bisa dilakukan supaya Jokowi-JK tidak selalu terjebak atau mengalami dilema yang tidak berkesudahan dengan DPR?
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan;
Pertama, melakukan perubahan mekanisme pemilihan presiden yang tidak harus dilakukan setelah pileg. Untuk yang ini kelihatannya akan bisa terjembatani ketika UU pilpres yang diajukan ke MK sudah disetujui.
Kedua, melakukan kosolidasi koalisi dalam pilpres. Proses koalisi tidak seyogyanya kaku tidak bisa berubah, setelah pilpres digelar tentu harus ada partai yang bergabung dengan presiden terpilih untuk bersama-sama dengan pemerintah dan di DPR. Tentu bergabungnya partai di last minute ini harus dilakukan berbadasarkan kesamaan platform dan komitmen bekerjasama di eksekutif dan legislatif. Jangan koalisi setengah hati seperti era SBY-Boediono dimana partai koalisi sering ribut dengan internal koalisi dan mengambil sikap berbeda dengan pemerintah yang didukungnya. Harus ada code of condact yang jelasdalam kolasi last minute ini.
Ketiga, menata ulang format sistem pemerintahan, tetapi hal ini bisa dilakukan dengan cara melakukan perombakan UUD 1945 atau dengan kata lain UUD 1945 harus diamandemen kembali.
Tawaran Amandemen ini masuk akal, sebab sistem multi partai seperti di Indonesia relatif tidak cocok jika menganut sistem presidensial. Hal ini dibuktikan dengan berjalannya pemerintahan 10 tahun kebelakang, dan kemungkinan besar akan terjadi di era Jokowi mendatang. Kalau harus dilakukan perubahan terhadap sistem politik, tentu itu bukan hal tabu yang harus dilakukan, misalnya tentang bagaimana peran kepala negara, peran kepala pemerintahan supaya lebih jelas dan bagaimana peran MPR dalam sistem kameralisme itu sendiri.
Bangsa ini mengalami hal kegamanagan ini lantaran terjadi konsep, teori politik, praktek pengalaman negara lain yang menganut sistem sama dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang dalam hal ini adalah kemajemukan bangsa Indonesia juga turut meyumbang ketidakcocokan sistem presidensial ini. Kebanyakan negara yang sukses mengembangkan sistem presidensial adalah negara yang tingkat diversitas kulturalnya tidak terlalu besar dan mencolok seperti yang terjadi di Indonesia. Indonesia yang multikultur tentu berbeda dengan negara yang lain yang tidak besar dan tajam tingkat kemajemukanya. Dalam menerapkan sistem kepartaian dan sistem politik.
Indonesia perlu melakukan penyesuaian
(adjusment) sehingga nanti bangsa Indonesia menemukan konsep tata pemerintah dan demokrasinya sendiri. Bangsa Indonesia tidak harus memfotokopi utuh praktek demokrasi yang ada di negara lain/Barat. Bangsa Indonwsia kalaupun toh harus menggunakan demokrasi lengkap dengan tata pemerintahannya, tetapi harus demokrasi yang punya karakteristik Indonesia yang memperhatikan multikulturalisme Indonesia. [***]
Bachtiar Dwi KurniawanDosen Fisipol UMY
Direktur Eksekutif Institute for Policy and Leadership Studies