KEPUTUSAN Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) mundur dari Partai Gerindra akibat perbedaan pandangan mengenai RUU Pilkada sangatlah disayangkan, karena hal itu ibarat "Kacang Lupa Pada Atomnya".
Mengapa demikian? Karena bagaimanapun juga dan tidak dapat dipungkiri, Partai Gerindra mempunyai peran yang sangat besar sehingga Ahok dapat menjadi Wakil Gubernur DKI dalam Pilkada DKI yang lalu.
Seandainya Partai Gerindra tidak menyandingkan Ahok dengan Jokowi, apakah warga Jakarta mengenal Ahok? Apakah Ahok dapat maju sebagai pendampingnya Jokowi? Bukankah di kampung halamannya sendiri Ahok kalah ketika ingin menjadi Gubernur Bangka Belitung? Bahkan Ahok tidak mempunyai track record yang spektakuler selama jadi politisi Senayan, apalagi ketika jadi Bupati Belitung yang hanya 1 tahun 3 bulan sehingga banyak janji-jani yang belum ditepati akibat ditinggal pergi demi ambisinya ingin menjadi Gubernur Bangka-Belitung.
Memang betul bahwa Jokowi dan Ahok bisa jadi pemenang dalam Pilkada DKI yang lalu dikarenakan mendapat suara dari rakyat, namun apakah mereka mampu bekerja sendiri mengumpulkan suara tanpa adanya bantuan dana dan campur tangan mesin partai yang mengorganisir anggotanya untuk memilih Jokowi dan Ahok?
Dalam suatu kesempatan Ahok berkata bahwa bagi dirinya melihat Partai Gerindra sudah tidak sesuai dengan perjuangannya, untuk memberikan rakyat sebuah pilihan terbaik sehingga dia pun hekang dari Partai Gerindra, namun apakah Ahok berani meninggalkan jabatan Gubernurnya karena banyak hal yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat seperti belum diterapkannya Undang Undang Pembuktian terbalik, pembenahan aparatur di Pemrov DKI, kemacetan di ibu kota, Trans Jakarta, dan lain-lain.
Entah mewakili rakyat yang mana yang seringkali digunakan Ahok sebagai alasan dalam menyatakan pendapatnya.
Ahok lupa bahwa tidak semua penduduk Jakarta memilih dia, karena bila kita lihat perolehan suara dan partisipasi warga DKI dalam pilkada 2012 yang lalu, pasangan Jokowi-Ahok mendapat 2.472.130 suara, dan angka Golput 2.555.207 dengan total jumlah penduduk yang berhak memilih sebanyak 6.962.348 orang, jadi yang tidak memilih pasangan ini adalah 4.490.218 orang.
Dari jumlah 2.472.130 suara yang memilih pasangan Jokowi-Ahok, dapat kita pilah lagi menjadi berapa orang yang benar-benar memilih karena faktor Jokowi dan berapa orang yang benar-benar memilih karena faktor Ahok. Kalau mau jujur tentu jawabannya akan lebih besar karena faktor Jokowi karena Ahok tidak punya prestasi apa-apa dan bukan siapa-siapa.
Oleh sebab itu, Ahok janganlah sombong dengan sebentar-sebentar selalu mengatasnamakan rakyat. Padahal kedekatannya kepada rakyat atau warga Jakarta masih dipertanyakan, apalagi kedekatannya dengan pegawai di lingkungan Pemrov DKI yang banyak menggerutu karena gaya kepemimpinannya yang cenderung jauh dari santun.
Dalam suatu tatanan kehidupan di masyarakat atau di pemerintahan, tetap harus ada etika yang terjaga, terlepas apapun yang disampaikan adalah suatu kebenaran dan itu yang membedakan kualitas seseorang. Belajarlah untuk mengerti bukan selalu maunya dimengerti.
Iko Jakalaksana
Tinggal di pinggiran Jakarta Selatan