KONSTELASI politik dalam negeri seakan belum juga menurun. Suasana 'panas' diantara poros koalisi parpol kembali hangat di Parlemen. Fraksi-fraksi parpol tengah berdebat terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada. RUU yang sudah dibahas sejak 2012 lalu itu rencananya akan diputuskan bulan ini, September 2014.
RUU Pilkada diusulkan oleh pemerintah melalui Kemendagri. Jika RUU ini disahkan maka akan berlaku Pilkada serentak pada 2015. Ada tiga opsi mekanisme pemilihan kepala daerah yang dibahas dalam Panja RUU Pilkada. Pertama, pasangan gubernur, walikota, dan bupati dipilih langsung seperti sekarang. Kedua pasangan gubernur, walikota, dan bupati dipilih DPRD. Dan ketiga, gubernur dipilih langsung tetapi bupati dan walikota dipilih DPRD.
Perdebatan tentang RUU Pilkada mendapat komentar beragam di tengah masyarakat, mulai dari rakyat kecil hingga pengamat yang sudah terlatih bicara dengan gaya dan bahasa yang lebih tertata rapi dalam mengomentari perdebatan tentang RUU yang sedang digodok di Senayan. Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Pihak yang kontra beranggapan langkah mundur dalam demokrasi jika kepala daerah dipilih melalui mekanisme parlemen. Sementara yang pro memandang pilkada langsung lebih banyak madharatnya.
Terlepas dari perdebatan tersebut, mari kita cermati dengan dengan baik bahwa Pilkada dilakukan secara langsung atau diwakili oleh DPRD tidak akan memiliki dampak yang besar bagi lahirnya pemimpin yang berkualitas. Problem kita sesungguhnya adalah mentalitas yang tidak baik akibat terjebak dalam transaksi politik yang mengharuskan demikian. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, Pilkada dilakukan secara langsung melahirkan proses transaksi dari calon Kepala Daerah kepada rakyat, dan pembelian tiket partai. Begitu juga jika Pilkada diwakili oleh DPRD, tentunya harga kursi DPRD/Fraksi semakin mahal, bahkan memungkinkan sekali calon yang didukung oleh koalisasi partai dapat melangkah dengan mulus menjadi kepala daerah.
Lantas apa untungnya buat rakyat jika Pilkada dilakukan secara langsung atau dilakukan melalui perwakilan DPRD? Menurut hemat saya tidak akan banyak berdampak terhadap lahirnya pemimpin yang benar-benar baik karena dalam kedua proses tersebut sangat memungkinkan terjadinya transaksi uang. Yang dibutuhkan rakyat sejatinya adalah, bagaimana pemimpin yang lahir dari produk politik ini benar-benar mereka yang amanah, bertanggung jawab, dan mau bekerja demi rakyat dan tidak terjebak dalam arus kepentingan politik partai pendukung.
Untuk itu seharusnya yang diributkan di Senayan adalah bagimana kriteria calon pemimpin yang boleh dan layak untuk mencalonkan diri dalam Pilkada. Bungkuslah melalui sebuah aturan yang memungkinkan kita untuk mendapatkan pemimpin yang baik. Kemudian perkuatlah sanksi hukum untuk para pemimpin yang tidak amanah, serta berlakukan juga sanksi moral bagi mereka yang berbuat salah, agar kepala daerah takut menghianati rakya. Semoga.
[***]Donk Ghanie, tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten