PEMERINTAH baru saja mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 61/2014 pada 21 Juli lalu tentang Kesehatan Reproduksi.
PP ini mengatur pelaksanaan UU Kesehatan no 36/2009. PP telah memancing pro dan kontra di tengah masyarakat, terutama pada pasal tentang kebolehan aborsi bagi perempuan yang hamil akibat perkosaan selain mereka yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis. Ini karena sejak awal masyarakat telah menolak peluang legalisasi aborsi pada beberapa regulasi yang ada.
Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia memandang penting untuk mengkritisi dua hal penting dalam PP no 61/2014 tersebut. Pertama, tentang legalisasi aborsi bagi korban perkosaan. Kedua, terkait konsep Kesehatan Reproduksi yang memayungi legalisasi aborsi tersebut.
Pertama, sangat disayangkan bila ada pihak-pihak yang melihat kebolehan aborsi bagi korban perkosaan di sini dari aspek normatif saja. Bahwa aborsi yang dilakukan sebelum 40 hari usia kehamilan dibolehkan menurut fiqh Islam. Namun semestinya dimiliki kepekaan bahwa dalam kehidupan masyarakat yang sudah didominasi gaya hidup serba bebas sebagaimana saat ini, PP ini memungkinkan disalahgunakan oleh pelaku perzinaan untuk melegalkan aborsi hasil kemaksiatannya. Dengan PP ini juga memberi peluang Kehamilan Tak Diinginkan (KTD) lainnya, hasil perzinaan, gagal KB, kehamilan yang dianggap menghambat karir dan kerja untuk menuntut legalisasi aborsi sebagaimana sudah terjadi di negara-negara liberal lain.
Kedua, konsep Kesehatan Reproduksi (Kespro) yang dimaksud dalam UU Kesehatan maupun PP ini bukanlah demi kebaikan kondisi kesehatan fisik dan mental kaum perempuan. Kespro adalah konsep menyesatkan pesanan lembaga-lembaga internasional (WHO, UNFPA) agar terwujud liberalisasi seksual di negeri-negeri muslim. Dibalut propaganda hak atas organ reproduksi setiap perempuan, Kespro mendorong pada makin merebaknya seks bebas, penyimpangan seksual seperti LGBT, legalisasi aborsi dalam kondisi apapun dan menghancuran tata nilai agama bahkan menghantar pada lost generation. Sejatinya konsep Kespro adalah program kontrol populasi untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk di negeri-negeri muslim.
Bila sungguh-sungguh mewujudkan konsep Kespro demi melindungi perempuan, maka untuk kasus perkosaan semestinya pemerintah tidak menerbitkan regulasi untuk memberi hak aborsi-meski pada batas usia kehamilan yg dibolehkan fiqh. Lebih penting adalah melakukan penegakan hukum tegas bagi pelaku perkosaan dan memberikan bantuan mental recovery untuk korban. Sementara saat ini pemerkosa masih bisa bebas atau tidak jera karena hukuman yg ringan.
Pemerintah juga gagal melindungi perempuan agar tidak menjadi korban perkosaan berikutnya. Sebab, minuman keras dilegalkan untuk diproduksi bahkan gampang didapat, padahal seringkali miras inilah yang memicu tindak kekerasan seksual/perkosaan. Belum lagi merajalelanya media porno, perempuan mengumbar aurat dll yang mendorong merajalelanya perkosaan. Bukankah kaum perempuan berhak dilindungi dengan dihapuskannya seluruh faktor pemicu tindak perkosaan?.
Saatnya kita menyadari bahwa PP no 61/2014 ini sangat kental dengan motif liberal yang melatarbelakangi kelahirannya. Juga memberi peluang besar bagi makin liberalnya kehidupan sosial bangsa ini. Lahirnya PP ini juga menegaskan kegagalan sistem sekuler untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Karenanya semestinya seluruh komponen bangsa ini menyampaikan koreksi atas kebijakan ini dan mendorong pemerintah melakukan revisi total atas peraturan-peraturan buatan manusia yang lemah dan gagal mewujudkan kemaslahatan bagi semua.
Sebagai gantinya selayaknya menjadikan aturan yang bersumber dari Allah, syariat Islam, untuk menata seluruh aspek kehidupan dengan institusi Khilafah Islamiyah sebagaimana telah dijelaskan dalam berbagai kajian fiqh Islam. [***]
Iffah Ainur Rochmah
Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia