BILA tidak ada aral melintang dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK), maka pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) hampir bisa dipastikan akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Berdasarkan hasil resmi yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pasangan Jokowi-JK berhasil mengalahkan pesaingnya, pasangan Prabowo-Hatta Rajasa dengan perolehan suara 70.997.833 (53.15%) berbanding 62.576.444 (46.85%) atau dengan selisih lebih dari delapan juta suara. Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon ini diakui banyak pihak sebagai pemilihan presiden yang penuh hiruk pikuk, berlangsung paling keras dan sangat kompetitif. Banyak segi menarik yang bisa didiskusikan atau diseminarkan dari rangkaian pilpres Juli lalu.
Tetapi, agaknya diantara banyak fenomena yang perlu untuk dikaji, satu hal yang paling fenomenal adalah sosok seorang Jokowi itu sendiri. Sosok yang hampir tidak seorangpun membayangkan pada tiga atau empat tahun yang lalu bahwa seorang bernama Jokowi akan menjadi figur penting dalam percaturan politik nasional. Tidak ada yang menyangka bahwa kemudian ia tampil memenangi pemilukada DKI Jakarta 2012 dengan mengalahkan incumbent Fauzi Bowo, untuk kemudian terpilih menjadi seorang presiden setelah memenangi pilpres 2014.
Jokowi menjadi sangat fenomenal, bukan karena ia “orang besar†tetapi justru karena ia adalah sebaliknya, â€wong cilikâ€. Menengok pada sejarah politik negeri ini dari pasca kemerdekaan hingga saat ini, kursi kepemimpinan nasional seolah hanya menjadi previleges bagi “orang-orang besar†atau keturunan mereka. Lihatlah, presiden pertama republik ini, Soekarno, ia adalah seorang proklamator dan pemimpin revolusi. Lalu, Soeharto, seorang Jenderal yang memiliki reputasi dalam pada partisipasinya pada perang kemerdekaan, panglima pembebasan Irian Barat dan Pangkostrad yang menumpas Gestapu.
Lalu, pada masa reformasi demokrasi berturut-turut empat kepala negara Indonesia, mulai dari B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno, dan terakhir Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), keempatnya dilihat masyarakat sebagai sosok “di atas rakyat†atau bukan orang kebanyakan. Pada diri Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur melekat kebesaran dan ketokohan kakeknya Hasyim As’ari, pendiri organisasi muslim terbesar Nahdlatul Ulama (NU), serta ayahnya, Wahid Hasyim, seorang tokoh Islam yang terbilang sebagai founding father Indonesia. Yang menggantikannya, Megawati Soekarnoputri, adalah ketua umum partai politik PDI-P pemenang pemilu 1999 yang juga tidak bisa dilepaskan dari aura kebesaran bapaknya Soekarno. Susilo Bambang Yudhoyono, adalah seorang jenderal yang menantu jenderal legendaries Sarwo Edi Wibowo.
Lalu, siapakah sebenarnya Jokowi yang memenangi pilpres 2014? Ia bukan siapa-siapa bila dibanding dengan tokoh-tokoh nasional yang pernah menjabat presiden Republik Indonesia. Ia yang lahir pada 1961 itu bukanlah jenderal dengan reputasi legendaries, bukan pula anak atau menantu dari tokoh besar republik ini. Siapa orang tua dan saudaranyapun, tidak kenal. Jokowi hanyalah seorang manusia biasa yang beroleh peluang dari demokrasi yang berlangsung di negeri ini. Ia merangkak dari bawah sebagai seorang pengusaha meubel di Solo. Sebagai insinyur kehutanan lulusan Universitas Gajah Mada (UGM), ia beroleh kesempatan menjajal pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Solo. Berhasil memenangi pilkada Solo dengan 36.62%, Jokowi menjadi walikota Solo pada 2005-2010. Banyak hal yang telah dilakukan, beberapa prestasi didapatkan. Jokowi mulai terlihat menjadi sosok yang fenomenal pada saat Ia memenangi pemilukada Solo tahun 2010 dengan prosentase tertinggi secara nasional, Ia menang dengan 90.09 % suara. Pada 2012, PDI-P memajukan Jokowi untuk bertarung dalam Pemilukada DKI Jakarta. Ia sama sekali tidak diunggulkan dan hampir semua lembaga survey memprediksi Jokowi yang berpasangan dengan Ahok, akan kalah telak. Tetapi, hasil akhir pemilukada 2012 DKI Jakarta menegaskan sosoknya yang fenomenal. Orang Solo ini mengalahkan incumbent Fauzi Bowo, untuk kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta 2012-2017.
Pada 2014, Jokowi yang bukan apa-apa di PDIP -- atas desakan dan dukungan orang banyak -- dipercaya Ketua Umum PDI-P Megawati untuk maju dalam pemilihan presiden (pilpres) 2014. Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla yang diusung koalisi kecil (PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura) menghadapi Prabowo-Hatta Rajasa yang diusung koalisi besar (Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP, dan Demokrat).
Berbeda dengan Jokowi yang pendatang baru dalam politik tataran nasional, Prabowo adalah putera Begawan ekonomi Prof.Dr. Soemitro, cucu Margono Djojohadikusumo (ketua DPA pertama), mantan Komandan Jenderal Kopassus, mantan Panglima Kostrad dan mantan menantu Presiden Soeharto. Prabowo telah aktif berusaha meraih kursi kepresidenan sejak belasan tahun silam. Bahkan ia sengaja membuat partai politik, Gerindra, untuk mengantarkannya ke kursi kepresidenen. Tetapi Prabowo kalah oleh orang biasa bernama Jokowi, pada pencoblosan 9 Juli 2014 lalu.
Masyarakatpun lebih memilih Jokowi dengan alasan yang beragam. Kemenangan Jokowi dalam pilpres 2014 penting untuk didiskusikan terutama menyangkut bagaimana kita memberikan penafsiran terhadap segi-segi unik dalam proses politik setelah lebih satu dasawarsa reformasi demokrasi. Mengapa masyarakat memilih sosok Jokowi yang “bukan siapa-siapa� Apakah fenomena Jokowi mengambarkan terjadinya perubahan atau pergeseran dalam budaya, nilai-nilai dan perilaku politik masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa? Juga tidak kalah menarik untuk mempertanyakan apa sesungguhnya makna keterpilihan Jokowi bagi keberlangsungan dan hari depan demokrasi di negeri ini?
TOR Diskusi Bulanan Institut Peradaban (20 Agustus 2014): Direktur Eksekutif Institut Peradaban Prof. Dr. Salim Said, M.A., MAIA.