BHINEKA Tunggal Ika semboyan yang sejak usia dini saya dengar bermakna "meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua". Semboyan ini yang membuat sebuah negara bernama Indonesia bisa bertahan hingga hampir 69 tahun dalam perbedaan yang begitu rumit baik dalam suku, ras, budaya, serta agama.
Dengan semboyan ini pula kita sesama anak bangsa Indonesia menganggap satu sama lain sebagai saudara-bersaudara dalam bingkau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun sehari lalu saya sempat merasa anggapan bahwa kita bersaudara itu hanya tipuan belaka. Ini dikarenakan kemarin, seorang dari saudari saya dijadikan ajang lelucon oleh sebagian warga negara republik ini.
Novela Nawipa dan kawan-kawannya dari Papua menjadi saksi dalam sidang PHPU di Mahkamah Konstitusi. Kepolosan dalam menjawab pertanyaan dari jajaran hakim MK dan beberapa kesalahan yang ia lakukan dalam menyebutkan satuan dalam jarak yang seharusnya meter disebut kilometer, dijadikan candaan saat berlangsungnya sidang.
Terlepas dari pilihan politik yang berbeda dengan saya, dia adalah saudari saya. Meski lahir dan dibesarkan di Jakarta, darah yang mengalir di dalam tubuh saya adalah darah murni Papua.
Ini membuat saya kesal sekaligus sedih, di sejumlah media nasional tanpa merasa bersalah mereka menjadikan kepolosan Novela dalam menjawab pertanyaan sebagai objek lelucon.
Inikah yang kita katakan kita bersaudara? Saya diajarkan tidak ada saudara yang mempermalukan saudaranya sendiri, apalagi sampai menjadikan saudaranya sebagai objek candaan yang menurut saya sudah berlebihan.
Kepolosan orang Papua adalah sebuah kekayaan yang dimiliki oleh Papua. Dalam kepolosan itu kami orang Papua tampil apa adanya. Tanpa dibuat-buat, kami hadir dalam diri kami sendiri.
Tidak seperti elite politik yang terkesan banyak pencitraan dan dibuat-buat. Kepolosan orang Papua sering dijadikan ajang candaan dan tawaan yang terkadang berlebihan, kami terkadang bigung apa yang kalian rasakan sebagai kelucuan dalam tingkah laku atau tutur kata kami.
Kami tak bisa membalas, karena kami tak tahu siapa yang sebenarnya salah atau benar. Tapi kami hanya bisa menjawab melalui prestasi dari orang-orang Papua baik dalam bidang sekuler maupun non sekuler.
Kalian mentertawai kami, tapi kami tahu Tuhan yang berkuasa selalui mengasihi kami dan menyayangi kami bangsa Papua. Sebagai anak Papua saya hanya ingin mengatakan janganlah jadiakan kepolosan orang Papua sebagai lelucon, tapi jadikanlah itu untuk pelajaran bagai kita semua. Bagaimana kita hidup dengan apa adanya tanpa kepalsuan dan kemunafikan. Hargailah kami jika kalian menganggap kami saudara kalian dan kami adalah bagian dari sebuah bangsa yang namanaya Indonesia itu.
Jika kalian masih menganggap kami aneh dan kalian merasa lucu dengan kami dalam arti kata kalian menghina kami, biarkanlah kami hidup sendiri dan mengurus diri kami sendiri serta mengakui identitas diri kami sebagai bangsa Papua ras Malanesia.
Amos S. T
Mahasiswa sebuah Universitas di Jakarta Pusat asal Papua
Tinggal di Jakarta.