APBN 2015 sudah disusun sebagai baseline pemerintahan baru.
Pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5,5% hingga 6%, laju inflasi 4% plus minus 1%. Nilai tukar rupiah pada kisaran Rp 11.500 hingga Rp 12.000 per dolar AS, SPN 3 bulan pada 6,0 hingga 6,5%.
Untuk ICP (harga minyak), pada kisaran 95 dolar AS hingga 110 dolar AS per barel, dan
lifting minyak sekitar 900.000 hingga 920.000 barel per hari. Sementara untuk
lifting gas bumi mencapai 1.200.000 hingga 1.250.000 barel setara minyak per hari.
Bagi sementara pihak ini merupakan angka-angka yang pesimis.
Dalam situasi yang sama, pemerintah baru membutuhkan
quick win sesuai janji kampanye. Hal ini penting di tengah krisis legitimasi yang terus dikumandangkan kubu oposisi (kalah pemilu).
Mungkin di awal tahun butuh konversi program dari pemerintahan sebelumnya menjadi program pemerintahan baru. Seperti Jamkesda menjadi Kartu Jakarta Sehat. Dugaan saya pada BPJS yang akan segera menjadi Kartu Indonesia Sehat.
Pemutakhiran data penerima tentu mengandung konsekuensi pembiayaan. Sungguh, sekali lagi, butuh dukungan parlemen dengan solusi kebijakan subsidi tepat sasaran.
Di saat bersamaan, Pansus Pilpres akan berjalan, suka atau tidak hal ini akan membawa tekanan fiskal dan moneter.
Secara kinerja, kita juga bisa lihat kepiawaian presiden baru jika berkaca dari APBD DKI Jakarta, yakni dibawah 10% memasuki triwulan kedua.
Janji pembangunan infrastruktur seperti tol laut juga tidak bisa dilihat segera, persis seperti MRT di Jakarta, meski di Jakarta lebih beruntung sebagai program yang sudah diinisiasi lama dari gubernur sebelumnya.
Ini adalah stimulus yang belum dapat dirasakan langsung masyarakat kalangan bawah.
Untuk itu, tidak banyak pilihan bagi wajah-wajah di kabinet menghadap situasi ini:
Pertama, wajah baru yang dirasa mampu dan akan sungguh-sungguh membantu dengan adaptasi yang membutuhkan waktu. Kedua, wajah lama dengan prestasi yang begitu-begitu saja tapi dirasa bisa segera menyeberangkan APBN ke meja makan rakyat.
Namun demikian, untuk dua bulan ke depan rakyat masih di atas angin, selain mereka punya mekanisme sendiri untuk melakukan konsolidasi melalui Lebaran, proyeksi arus konsumsi barang jasa berjalan baik.
Seperti prediksi Bank Indonesia (BI), kebutuhan uang tunai pada Ramadan dan Lebaran tahun ini bakal naik 14,9% menjadi Rp 118,5 triliun.
Bagi pelaku ekonomi tentu bukan hal yang mudah untuk tahun tahun mendatang, utamanya gerakan buruh yang punya logikanya sendiri di luar logika parlemen. Isu
outsourcing dan UMP masih tetap menjadi isu konsolidasi.
Melihat ini semua, tidak ada pilihan lain bagi presiden baru kecuali fokus, kolaborasi dan eksekusi, alias bekerja.
Bertindak reaksioner hanya akan menjadi "ladang minyak" yang memberi subsidi pada modal politik oposisi.
Namun secara kualitatif,
baseline-nya juga dalam bentuk pertanyaan: bukankah 10 tahun terakhir ekonomi kita tumbuh dalam pergolakan politik yang tak pernah padam?
SBY tidak saja menghadapi penolakan di KPU dari Megawati dan JK di pemilu 2009, namun juga upaya pencabutan mandat di tengah perjalanan melalui mobilisasi politik.
Kita sudah memilih, mari bertanggung jawab.
Akhirnya, salam buat orang tua, keluarga dikampung halaman. Selamat mudik, dan hati hati di jalan, optimisme masih milik kita.
[***]