REFORMASI dilakukan bertujuan untuk menggapai suatu perubahan kearah kondisi serta keadaan yang lebih baik dalam segala aspeknya antara lain bidang politik, ekonomi, sosial budaya, serta kehidupan keagamaan. Artinya reformasi dilakukan untuk meningkatan harkat dan martabat rakyat Indonesia sebagai manusia demokrat, egaliter dan manusiawi. Selain itu, reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etik sebagai manusia yang berketuhanan Yang Maha Esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.
14 tahun reformasi berlalu, proses perubahan belum berhasil membenahi sistem demokrasi Indonesia dengan orientasi jelas. Demokrasi lebih memberikan kesan tidak baik untuk para penikmatnya. Tiga kali bangsa ini melewati pemilu presiden, bahkan untuk yang keempat kalinya di 9 Juli 2014 mendatang.
Sejak dua pekan terakhir, publik dicekoki dua tontonan, di dua panggung berbeda yang sangat kontras unsur sportivitasnya. Yang satu, Piala Dunia 2014 Brasil yang penuh dengan nilai-nilai sportif dalam pertarungan keras dan tersengit sekalipun di lapangan. Yang satunya lagi, Pilpres 2014 yang penuh intrik kejam dan tidak sportif, melek-melekan dan gamblang terang-benderang dilakukan. Sportivitas adalah bagian yang sama sekali tak terpisahkan dari dunia olahraga, meski esensi adu kuat, adu strategi dan adu serang adalah merupakan hal utama yang harus dilakukan bagi setiap olahragawan. Tetapi di dunia politik, apalagi pilpres di negeri ini? Tidak perlu harus sportif-sportif amat rupanya. Hantam terus.
Lihat saja, seperti yang dilakukan oleh salah satu anggota tim pemenangan Jokowi-JK, Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Lampung Sjachroedin Zainal Pagaralam (ZP) dalam kampanye. Mengancam, warga yang tidak memilih pasangan nomor dua akan masuk neraka. Terangnya: "Yang nanti mau masuk surga nanti tanggal 9 Juli jangan lupa pilih Jokowi-JK ya, kalau tidak milih nanti masuk neraka.†Menyikapi pernyataan Sjachroedin ZP dalam kampanye capres-cawapres Jokowi-JK di Bandar Lampung. Kampanye seperti ini termasuk dalam katagori kampanye hitam (black campaign). Yaitu, tuduhan atau tudingan yang tidak berdasarkan fakta dan itu merupakan bagian dari fitnah, tidak relevan diungkapkan terkait parpol maupun tokoh apalagi dituduhkan kepada seorang calon presiden. Jelas-jelas sudah melewati verifikasi dan uji kelayakan oleh lembaga penyelenggara pemilu (KPU) sesuai amanat Undang-Undang Pemilu Presiden 2014.
Sedangkan di kesempatan yang sama, Jurukampanye PDI-Perjuangan, Megawati Soekarno Putri menegaskan bahwa, pasangan nomor urut satu tidak berpengalaman memimpin pemerintahan. Jelasnya, "Mungkin menjadi ketua RT juga belum pernah, ini bukan fitnah saya berani mempertanggungjawabkannya," ujar Megawati dalam kampanye Jokowi-JK dihadapan masayarakat Bandar Lampung. (Kompas.com, 24/6/2014). Hal ini dinilai sebagai kampanye negatif (negative campaign). Yaitu, pengungkapan fakta kekurangan mengenai suatu calon atau partai politik.
Pilpres, publik di tanah air jelas dan gamblang disuguhi adegan demi adegan, pidato demi pidato, kampanye demi kampanye, fitnahan demi fitnahan. Tanpa perlu ada yang menyemprot atau mengacungkan kartu kuning. Lanjut terus, kecurangan demi kecurangan. Dan terlihat jelas di media sosial – betapa sangat massif para pendukung dan simpatisan dari masing-masing capres saling menghujat – negative campaign dan bahkan black campaign tak jarang dilakukan.
Tak ada lagi sportivitas yang bisa dilihat di panggung Pilpres kali ini. Sungguh, rakyat jelas melihat itu. bukan lagi visi misi dan program kerja yang didengungkan oleh para timses, akan tetapi provokasi dan bahkan intimidasi yang dilakukan. Perlu uang? Janji-janji jabatan? Prospek peluang menjaga kelangsungan bisnis? Inilah potret politik transaksional yang sedang kita hadapi.
Kasus yang paling jelas dan gamblang, adalah penerbitan “Obor Rakyat†yang menghujat capres tertentu. Benar-benar sepihak. Dan toh aman-aman saja, terus bisa beredar sampai edisi ketiga di berbagai pondok pesantren di pelosok negeri. Jauh sebelum muncul kasus “Pernyataan Wiranto†yang diprotes keras oleh rekan-rekan sejawatnya di ABRI, kini menjadi TNI. Wiranto dicap melakukan kampanye hitam (black campaign).
Dengan banyaknya mendapat laporan dan desakan dari berbagai pihak. Akhirnya, Bawaslu RI memanggil Ketua Umum Partai Hanura yang juga mantan Panglima ABRI Jenderal Purn Wiranto. (tribunnews.com, 24/6/2014), sehari sebelumnya Bawaslu, (23/6/2014) meminta penjelaskan dari mantan Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Mayor Jenderal (Purn) Djasri Marin yang memberikan keterangan kepada Bawaslu RI, menjelaskan tentang Danpuspom yang melakukan penyelidikan kasus tersebut hanya menemukan kesalahan bahwa Tim Mawar bergerak sendiri, alias tidak diperintahkan Prabowo yang saat itu menjabat Komandan Jenderal Kopassus. Ia menegaskan bahwa Prabowo bukan lah inisiator. Terangnya, bahwa "Pemberi perintah dalam hukum adalah orang yang turut serta, orang yang memerintahkan atau orang yang melakukan. Tiga-tiganya itu tentu dia (Prabowo) tidak ada. Prabowo saat itu tidak ada peran apa-apa."
Di sinilah, kita sebagai masyarakat terdidik yang memiliki kecerdasan dan kesadaran politik yang tinggi, agar dapat menjaga tatanan demokrasi pemilu presiden yang lebih sportif, aman, damai dan beritegritas tinggi demi melanjutkan perjuangan cita-cita reformasi bangsa ini untuk menjadi bangsa lebih maju, sejahtera, berdaulat, adil dan makmur. Oleh karena itu, kita harus mengambalikan arah Reformasi sehingga membawa bangsa menuju kebangkitan dan kemajuan serta kesejahteraan untuk rakyat dan bangsa ini ke depan.
Nurdiansyah
Jl. Kampung Perigi No. 24 Rt. 02/08
Kelurahan Bedahan, Kecamatan Sawangan
Kota Depok
Nomor ponsel: 081282004xxx