PDIP, walau sudah berkoalisi dengan Nasdem dan mencukupi syarat mengikuti Pilpres dengan 25,67 persen suara sah dan 144 jumlah kursi DPR, masih merasa memerlukan dukungan politik lebih besar dari partai lain. Hal itu dicerminkan oleh langkah-langkah Jokowi yang terus menemui beberapa ketua partai untuk meraih dukungan politik baru. Melihat sinyal ini pun, lantas SBY “mengirimkan†Muhaimin Iskandar dengan PKB-nya untuk bergabung ke PDIP. 10 Mei kemudian menjadi tanggal resmi PKB berkoalisi dengan PDIP. Pilihan SBY untuk lebih “mendorong†PKB daripada PPP untuk bergabung dengan PDIP bukanlah tanpa alasan. Dan untuk alasannya biarlah penulis, SBY dan Tuhanlah yang tahu (maaf).
Tanggal 12 Mei, setelah mementaskan drama kisruh politik atas “sepengetahuan†SBY tentunya, akhirnya SDA, dengan tidak adanya Rahmat Yasin, berhasil membawa paksa PPP berlabuh ke Gerindra. Bergabungnnya PPP ke Gerindra membuat peta politik
lebih jelas untuk diamati. Dan sudah waktunyalah bagi SBY “merestui†Hatta Rajasa dengan PAN-nya bergabung ke Gerindra “harus†sebagai cawapres, bukan yang lain.
Dua poros kini secara nyata telah terbentuk: Poros 1. PDIP, Nasdem, dan PKB dan Poros 2. Gerindra, PPP, dan PAN. Akhirnya kini SBY bisa menarik nafas lega. Poros Indonesia Raya (koalisi partai Islam plus Gerindra) yang digagas Amin Rais musnah sudah. SBY memang harus merasa kuatir bila poros Indonesia Raya ini terbentuk karena dengan poros ini bisa dipastikan Prabowo tidak akan “terbendung†dan SBY tidak akan punya “akses†sama sekali bila Prabowo memenangkan Pilpres. Untuk
Dua poros kini secara nyata telah terbentuk: Poros 1. PDIP, Nasdem, dan PKB dan Poros 2. Gerindra, PPP, dan PAN. Akhirnya kini SBY bisa menarik nafas lega. Poros Indonesia Raya (koalisi partai Islam plus Gerindra) yang digagas Amin Rais musnah sudah. SBY memang harus merasa kuatir bila poros Indonesia Raya ini terbentuk karena dengan poros ini bisa dipastikan Prabowo tidak akan “terbendung†dan SBY tidak akan punya “akses†sama sekali bila Prabowo memenangkan Pilpres. Untuk
langkah yang satu ini, SBY harus mengapresiasi Muhaimin Iskandar sang “
trouble makerâ€.
Kini, sebagai langkah terakhir, SBY harus membentuk poros ketiga sebagai
kendaraan bagi Pramono Edhie, sang adik ipar. SBY adalah seorang pengamat yang “piawaiâ€, dan untuk itu patut diacungi jempol. SBY menyadari betul dari awal
bahwa, Pramono Edhie bukanlah lawannya Prabowo. SBY paham bahwa Prabowo adalah profil terbaik dari kalangan militer yang ada saat ini. Tidak ada tokoh dari
militer yang akan menang “head to head†lawan Prabowo, termasuk Pramono Edhie, di gelanggang Pilpres nanti. Pemahaman SBY inilah yang kemudian “menghantarkan†Hatta Rajasa ke Prabowo. Jadi, SBY realistis bila nanti Pramono Edhie hanyalah sebagai cawapres. Tapi bukanlah SBY bila menerima begitu saja keadaan ini. SBY tetap akan menawarkan Pramono Edhie sebagai capres, walau tak harus.
Untuk membentuk poros ketiga, kini praktis hanya tinggal empat partai yaitu, Demokrat (10,19), PKS (6,79), Golkar (14,75), dan Hanura (5,26). SBY tidak begitu kuatir dengan PKS karena di mana Demokrat berpijak disitulah PKS akan berdiri.
Sementara Hanura, yang dikomandoi oleh Wiranto, adalah partai yang “independenâ€, tak mudah untuk dibujuk. Pilihan SBY satu-satunya tinggal Golkar kalau ingin mewujudkan poros koalisi ketiga dan untuk niatan itu SBY pun mengajak ARB untuk membentuk poros ketiga. ARB kemudian oleh SBY dipersilakan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan koalisi yang bisa mengusungnya sebagai capres atau bahkan cawapres. Tapi bukanlah SBY kalau tidak bisa membujuk ARB bergabung dengannya. ARB, akhirnya realistis dengan keadaan politik terkini dan menerima tawaran SBY yang lebih baik dan lebih menguntungkan daripada yang ditawarkan oleh PDIP atau Gerindra. SBY juga menyakinkan ARB bahwa poros koalisi yang akan dibangun ini adalah koalisi “jempolan†yang juga punya kesempatan kuat untuk memenangi Pilpres. Paling tidak bisa masuk ke dalam putaran kedua, kalau harus terjadi!
Viva SBY! The Real King Maker! (selesai)
Empie Ismail Massardi
Pengamat Spiritual