Berita

ilustrasi/net

Publika

Kontra Terorisme Berangkat dari Perspektif Konyol

SELASA, 31 DESEMBER 2013 | 08:03 WIB

INDONESIA meninggalkan tahun 2013 bergerak mengikuti pendulum waktu masuk 2014. Ada satu soal yang kerap saya dapatkan dalam beragam perhelatan diskusi (majlis) selama masa kurun waktu 2013; kapan terorisme di Indonesia akan berakhir?

Saya banyak melihat wajah pesimis dengan soal tersebut, karena berpijak kepada asumsi "terorisme" sudah menjadi komoditi penting bagi pihak tertentu. Ada sebagian yang optimis karena melihat komitmen pemerintah melalui seluruh instrumen terkait yang dimilikinya, terlihat berkerja secara massif sistemik bahkan dengan kekuatan yang sangat eksesif.

Bagi saya, dalam tataran konsep secara sederhana terorisme akan berakhir atau minimal teredam jika faktor (akar) dan sebab-sebab pemicunya juga hilang. Namun soal "terorisme" di Indonesia bukan hal sederhana. Karena perang melawan terorisme dalam sepuluh tahun terakhir di Indonesia adalah produk kebijakan politik keamanan Nasional resonansi dari politik keamanan global dimana Barat menjadi episentrum pemegang kepentingan.


Kebijakan politik keamanan yang berdiri diatas "doktrin" tendensius dan tidak obyektif serta tidak jujur, karenanya di tahun-tahun mendatang isu terorisme akan terus menyeruak eksis.

Tahun 2014 bukan akhir cerita terorisme di Indonesia, bahkan di tataran global terorisme telah menjadi judul baku sebuah "drama" panjang  imperialisme Barat.

Kenapa saya katakan "doktrin" tendensius, tidak obyektif dan tidak jujur?. Karena kebijakan politik keamanan telah terpasung dalam mindset (paradigma) yang menempatkan Islam Ideologis sebagai akar terorisme. Sederhananya, radikalisme pemikiran dalam Islam adalah akar terorisme. Dan membuat simplikasi aksi-aksi terorisme terkait dengan nilai kayakinan radikal yang berkembang di Indonesia.

Ini adalah realita mindset yang tendensius dan berimplikasi kepada pemahaman tentang terorisme dan solusinya tidak tepat. Namun secara culas menutupi faktor dan sebab-sebab utama lainnya yang tidak kalah penting.

Padahal jika mau jujur dan obyektif sejatinya terorisme adalah fenomena komplek yang lahir dari beragam faktor yang juga komplek. Ada faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi (kemiskinan), ketidakadilan, marginalisasi, kondisi politik dan pemerintahan, sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya.

Ada Juga faktor internasional seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis (AS), imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar ganda dari negara superpower, dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana mestinya (unipolar).

Di samping adanya realitas kultural terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam interpretasinya cukup variatif.

Ketiga faktor tersebut kemudian bertemu dengan faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, akhirnya menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan ataupun yang kemudian di cap terorisme.

Oleh karena itu, menurut saya kontra terorisme di Indonesia berangkat dari perspektif konyol, semua piranti dan perangkatnya (khususnya Densus88 dan BNPT) telah menempatkan Islam dan sebagian kelompok umatnya sebagai musuh. Dan ketika Indonesia dianggap sebagai negara yang berdiri tidak berdasarkan agama maka otomatis menempatkan Islam Ideologis dan pengusungnya secara diametrikal sebagai musuh terhadap eksistensi NKRI.

Dan "doktrin" ini menjadi energi untuk terus menerus memangkas setiap geliat kebangkitan Islam Ideologis di Indonesia. Menjadi legitimasi "drama" perang melawan terorisme untuk di lembagakan dan dilestarikan dengan beragam makar (muslihat)-nya.

Dan terlihat sekali bahwa target jangka panjang dibalik proyek perang melawan terorisme adalah membungkam kebangkitan kekuatan politik Islam dan umatnya, serta dalam rangka menjaga Indonesia dalam bingkai sekulerisme dan menjadi ordinat kepentingan imperialisme modern Barat. [***]

Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra Terorisme dan Direktur The Community Of Ideological Islamic Analyst (
CIIA)

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional

Rabu, 17 Desember 2025 | 18:08

Rosan Update Pembangunan Kampung Haji ke Prabowo

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:54

Tak Perlu Reaktif Soal Surat Gubernur Aceh ke PBB

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:45

Taubat Ekologis Jalan Keluar Benahi Kerusakan Lingkungan

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:34

Adimas Resbob Resmi Tersangka, Terancam 10 Tahun Penjara

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:25

Bos Maktour Travel dan Gus Alex Siap-siap Diperiksa KPK Lagi

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:24

Satgas Kemanusiaan Unhan Kirim Dokter ke Daerah Bencana

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:08

Pimpinan MPR Berharap Ada Solusi Tenteramkan Warga Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:49

Kolaborasi UNSIA-LLDikti Tingkatkan Partisipasi Universitas dalam WURI

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:45

Kapolri Pimpin Penutupan Pendidikan Sespim Polri Tahun Ajaran 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:42

Selengkapnya