Berita

Luthfi Hasan Ishaaq

X-Files

Bendahara PKS Masukkan VW LHI Jadi Aset Partai

Kasus Sapi Dan Pencucian Uang
SELASA, 29 OKTOBER 2013 | 10:36 WIB

Para saksi memberikan keterangan tentang kepemilikan mobil Luthfi Hasan Ishaaq yang disamarkan, hingga duit Rp 200 juta untuk terdakwa kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi dan pencucian uang ini.

Sidang lanjutan kasus suap kuota impor daging sapi dan pencucian uang dengan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq kembali bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin.  Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menghadirkan 11 saksi. Banyaknya saksi yang dihadirkan membuat jadwal sidang sempat molor.
 
Sedianya sidang digelar di lantai 1. Namun, lantaran ruangan sidang sempit dan tidak ada kursi untuk pengunjung, sidang kemudian dipindah ke lantai 2. Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Gusrizal itu dimulai tepat pukul 2.30 WIB. Dua saksi berasal dari lingkungan DPP PKS, yakni Bendahara Umum (Bendum) PKS Mahfudz Abdurrahman dan Ketua Bidang Ekonomi DPP PKS Rama Pratama.


Hadir juga istri Ahmad Fathanah, Sefti Sanustika, karyawan E-Zegna Syahrul Rahman, serta pemilik Mega Audio bernama Chandra Angkasa. Saksi lain adalah Komisaris PT Intim Perkasa Ahmad Maulana, dan karyawan PT Sirat Inti Buana Abdurahman Hakim. Sisanya saksi dari lembaga pembiayaan kredit mobil dan dari dealer mobil. Setelah diambil sumpahnya, para saksi dimintai keterangan. Para saksi duduk berjejer di depan majelis hakim.

Bendum PKS Abdurrahman yang duduk di deretan ketiga ditanya hakim Gusrizal soal mobil VW Caravelle yang diduga milik Luthfi. Kata dia, mobil itu dibeli tunai oleh montir DPP PKS Agus seharga lebih dari Rp 1 miliar. Kemudian kepemilikannya atas nama asisten Luthfi, Ali Imron. Mahfudz menyatakan bahwa mobil tersebut bukanlah milik partai. “Pembelian pribadi, tapi sehari-hari dipakai untuk partai,” terang Mahfudz. Ditanya kenapa kepemilikan atas nama orang lain, Mahfudz mengaku tidak mengetahui.

Dari persidangan terungkap juga bahwa Mahfudz pernah memerintahkan anak buahnya, Ahmad Mashuri, untuk memasukkan mobil VW Caravelle itu sebagai aset partai. Perintah itu dikeluarkan ketika Luthfi berada dalam tahanan, dan aset-aset milik bekas Presiden PKS itu mulai disita penyidik KPK.

Hakim I Made Hendra terus mencecar Mahfudz. Dicecar hakim, wajah Mahfudz pucat. Kata dia, hal tersebut dilakukan sebagai bentuk inisiatif sendiri agar aset milik Luthfi tidak diketahui KPK. Caranya dengan mencantumkan biaya pengeluaran di laporan keuangan PKS untuk pembelian VW Caravelle. Padahal, tidak pernah sepeser pun uang dari partai berlambang bulan sabit kembar itu keluar untuk membeli mobil tersebut. "Tidak ada pengeluaran itu," aku Mahfudz.

Dari persidangan juga diketahui bahwa Luthfi menghabiskan uang Rp 165 juta untuk memodifikasi tiga mobilnya. Menurut Chandra Angkasa, Luthfi pernah datang ke tokonya dan meminta agar mobil miliknya diupgrade sistem suaranya. Mobil tersebut yaitu VW Caravelle, Alphard dan FJ Cruiser. Untuk VW Caravelle Luthfi menghabiskan Rp 65 juta. “Dipasang power, amply, sub wofer dan speakernya,” terang Chanda.

Untuk mobil Alphard memakan Rp 35 juta dan untuk FJ Cruiser menelan Rp 56 juta. Menurut Chandra, pembayaran untuk jasanya itu melalui transfer. “Yang transfer kurang jelas siapa, namun kemudian diketahui Ahmad Zaki, seratus juta. Sisanya atas nama Pak Luthfi sebesar Rp 56 juta,” rinci Chandra.

Sementara untuk saksi Syahrul Rahman, hakim mengorek soal pembelian dua jas dan tujuh kemeja seharga total Rp 165 juta. Menurut Syahrul, Luthfi bersama tiga orang lain pernah datang ke tokonya di Plaza Senayan, Jakarta. ”Tiga orang itu adalah Ahmad Fathanah, Yudi Setiawan, satu lagi saya tidak kenal,” ucap Syahrul.

Saat itu, Luthfi memesan dua jas dan tujuh kemeja produk Italia yang totalnya Rp 165 juta 750 ribu. Ketika ditanya hakim Gusrizal siapa yang membayar untuk pembelian itu, Syahrul menjawab Yudi Setiawan. “Pembayarannya Rp 15 juta pakai kartu kredit, sisanya cash dalam dolar Amerika. Saya sendiri yang menerima,” ucap Syahrul.

Sedangkan Sefti Sanustika mengakui pernah memerintahkan sopirnya mengantar uang Rp 200 juta untuk Luthfi. Pengiriman uang untuk Luthfi dilakukan atas suruhan Fathanah. "Saya ditelepon, disuruh antar uang," aku Sefti.

Kata Sefti, sehari sebelumnya, uang itu dibawa Fathanah ke rumah. Sefty mengaku tidak tahu darimana asal uang itu. Padahal, menurutnya, itulah pertama kali Fathanah membawa uang ratusan juta ke rumah. Sebenarnya, Fathanah meminta agar Sefty yang mengantar langsung ke Luthfi. Namun karena sedang ada acara, Sefty mengutus sopirnya. "Diantar ke pom bensin di Pancoran," katanya.

Sidang usai menjelang adzan Maghrib. Sidang akan dilanjutkan pada Kamis depan dengan agenda masih pemeriksaan saksi.

Kilas Balik
VW Caravelle Itu Semula Disebut Sebagai Milik PKS


Untuk menelusuri aset Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dalam proses penyidikan, KPK antara lain memeriksa Bendahara Umum PKS Machfudz Abdurrahman sebagai saksi pada Rabu (17/4) lalu. Hari itu, Machfudz tiba di Gedung KPK pukul 9.30 pagi. Saat keluar dari Gedung KPK Pukul 16.40, wajahnya terlihat lelah.

Saat akan meninggalkan Gedung KPK, Machfudz mengaku tidak ditanya penyidik mengenai rumah di Batu Ampar, Condet, Jakarta Timur yang diduga milik Luthfi. "Tidak ada, tidak ada," ucapnya.

Machfudz mengaku ditanya 10 pertanyaan oleh penyidik. Antara lain soal aset dan laporan keuangan DPP PKS. "Saya dimintai keterangan mengenai mobil mana yang milik partai, dan mana yang milik LHI. Sudah saya jelaskan semuanya ke penyidik," katanya.

Kata Machfudz, di antara mobil-mobil tersebut ada yang disita KPK, yakni VW Caravelle. "Tapi, itu punya partai," kata Machfudz seusai diperiksa penyidik saat itu. Tapi dalam sidang kemarin, Machfudz mengakui menyuruh anak buahnya memasukkan mobil Luthfi itu sebagai aset DPP PKS.

Dalam sidang sebelumnya, jaksa KPK antara lain menghadirkan kepala montir di Gedung DPP PKS Agus Trihono sebagai saksi. Agus dikorek keterangannya mengenai sejumlah mobil yang diduga milik Luthfi. Mobil tersebut adalah mobil Volvo XC 60 T5 seharga Rp 710 juta yang kepemilikannya atas nama Soeripto, dan mobil Volvo XC 60 T6 seharga Rp 1,25 miliar yang dibatalkan pemesannya karena dokumennya disita KPK. Namun menurut Agus, pembatalan tersebut karena mobil yang diinginkan tak kunjung ada. "Tidak jadi beli karena tidak sesuai speknya," aku Agus.

Agus juga mengurus pembelian mobil Alphard seharga Rp 650 juta yang kepemilikannya atas nama sopir Luthfi, Ali Imron. Mobil lain yang diurus Agus adalah Volkswagen Carravelle seharga Rp 1,098 miliar yang uang mukanya sebesar Rp 15 juta. Uang tersebut ditransfer Agus dari rekening pribadinya, selanjutnya Luthfi memberikan uang dalam kardus senilai Rp 1 miliar untuk pelunasan, namun meminta agar mobil tersebut diatasnamakan Ali Imran. "Carravelle atas nama Pak Ali Imran, yaitu sopir Pak Luthfi, sedangkan saya yang memelihara mobilnya," kata Agus. Ditanya asal uang tersebut, Agus mengaku tidak mengetahui.

Agus juga mengurus pembelian Nissan Navara senilai Rp 710 juta yang kemudian diatasnamakan dirinya. "Tapi maaf, saya lupa siapa yang menyuruh untuk fotokopi KTP, karena saya banyak urusan," ucap Agus.

Mendengar hal itu, hakim Nawawi Pomolango mengancam Agus dengan pasal pemberian keterangan palsu berdasarkan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 tahun 1999, yang ancamannya penjara 3 tahun sampai 12 tahun penjara.

Jaksa Guntur juga membacakan BAP Agus yang isinya menyatakan, Agus bertemu Bendahara PKS Machfud untuk membuat kesaksian di hadapan penyidik KPK agar mobil Carravelle tersebut adalah invetaris DPP PKS. Ditanya soal itu, Agus kembali mengaku lupa.

Banyak Pejabat Yang Sumpahnya Main-main

Yenti Garnasih, Pengamat Hukum

Pengamat hukum tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yenti Garnasih berharap, hukuman untuk para terpidana kasus korupsi jadi lebih berat setelah pasal TPPU juga  dimasukkan ke dalam dakwaan.

Soalnya, hukuman yang singkat tidak akan memberikan efek jera. Lantaran itu, menurutnya, perkara korupsi terus muncul. "Selain itu, melalui pasal TPPU, negara bisa merampas hasil kejahatan," tandasnya, kemarin.

Yenti pun berharap majelis hakim mempertimbangkan unsur moral dan etika ketika menjatuhkan hukuman untuk para terdakwa yang terbukti korupsi dan melakukan pencucian uang. Terutama yang berasal dari penyelenggara negara, termasuk anggota DPR. "Karena mereka sudah diberi gaji, sudah diberi rumah, kendaraan. Belum tunjangan lain. Kok masih korupsi," tandasnya.

Yenti menilai, banyak pejabat yang bersumpah saat pelantikan, tapi sumpahnya hanya main-main. Indikasinya, banyak pejabat yang terlibat kasus korupsi. "Karena itu, soal etik harus dimasukkan juga dalam pertimbangan hakim," tegasnya.

Selanjutnya, dia menilai, langkah jaksa penuntut umum (JPU) KPK menghadirkan 11 saksi dalam sidang kasus TPPU terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq sudah tepat.

Katanya, kehadiran 11 saksi itu untuk membuktikan TPPU yang didakwakan jaksa kepada bekas Presiden PKS tersebut. Yaitu, adanya upaya Luthfi untuk menyamarkan, memindahkan, atau menyembunyikan asal-usul uang hasil kejahatan melalui berbagai transaksi agar seolah-olah dari kegiatan sah. "Transaksi-transaksi itu apa saja, dan harus jelas jumlahnya. Itu yang sedang dibuktikan sekarang oleh jaksa," kata Yenti, kemarin.

Setelah jaksa membuktikan adanya transaksi-transaksi yang diduga untuk mencuci uang, lanjut Yenti, nanti di akhir sidang giliran terdakwa yang diberi kesempatan untuk membuktikan asal-usul uang tersebut. Jika terdakwa tidak bisa membuktikan dari mana asal-usul uang tersebut, maka hakim akan menilai dakwaan jaksa benar. "Hakim akan yakin dengan dakwaan jaksa jika terdakwa tidak mampu membuktikan," katanya.

Jangan Sampai Ada Kesan JPU Tidak Berani
Desmond J Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Desmond J Mahesa mengatakan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK harus bisa menghadirkan saksi-saksi yang mangkir dalam sidang kasus suap perkara kuota daging sapi dan pencucian uang terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq.

Menurut dia, hal tersebut untuk menghindari penilaian publik bahwa jaksa tidak mampu menghadirkan saksi kunci. “Jangan sampai ada kesan di publik jaksa penuntut umum tidak berani menghadirkan saksi,” ujarnya, kemarin.

Kata Desmond, hal yang menjadi pertimbangan jaksa penuntut umum dalam menghadirkan saksi adalah untuk memperkuat isi dakwaan dan mengungkap fakta-fakta yang sudah ada di dalam berita acara pemeriksaan. Jika seorang saksi sudah diperiksa dalam penyidikan, maka wajib hukumnya untuk dihadirkan ke persidangan. “Untuk menguji berita acara dengan pengakuan saksi di bawah sumpah,” ujarnya.

Dia berharap KPK terus mengembangkan kasus suap pengurusan kuota sapi ini. Meski sudah ditetapkan lima tersangka dalam kasus ini, dia mengaku heran belum ada satu pun tersangka dari pihak Kementerian Pertanian. Padahal, menurut dia, Kementan adalah salah satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menambah atau mengurangi izin kuota impor daging sapi. “Hal seperti ini juga pasti menimbulkan pertanyaan publik,” tandasnya.

Menurut Desmond, kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Dalam sebuah kasus suap, selalu ada pemberi suap dan penerima suap. Jika pemberi suap adalah pihak swasta, Desmond mengaku heran penerima suap dari pihak eksekutif belum ada. “Kita berharap ada kemajuan dalam kasus ini,” ucap politisi Partai Gerindra ini. [Harian Rakyat Merdeka]

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Pidato Prabowo buat Roy Suryo: Jangan Lihat ke Belakang

Senin, 08 Desember 2025 | 12:15

UPDATE

BNN-BNPP Awasi Ketat Jalur Tikus Narkoba di Perbatasan

Jumat, 19 Desember 2025 | 00:09

Perkuat Keharmonisan di Jakarta Lewat Pesona Bhinneka Tunggal Ika

Jumat, 19 Desember 2025 | 00:01

Ahmad Doli Kurnia Ditunjuk Jadi Plt Ketua Golkar Sumut

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:47

Ibas: Anak Muda Jangan Gengsi Jadi Petani

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:26

Apel Besar Nelayan Cetak Rekor MURI

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:19

KPK Akui OTT di Kalsel, Enam Orang Dicokok

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:12

Pemerintah Didorong Akhiri Politik Upah Murah

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:00

OTT Jaksa oleh KPK, Kejagung: Masih Koordinasi

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:53

Tak Puas Gelar Perkara Khusus, Polisi Tantang Roy Suryo Cs Tempuh Praperadilan

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:24

Menkeu Purbaya Bantah Bantuan Bencana Luar Negeri Dikenakan Pajak

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:24

Selengkapnya