DPR menilai pemerintah tidak serius terkait proses negosiasi PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) karena hingga kini belum bisa mengambil alih dari Jepang.
Kemarin, Komisi VI DPR menggelar Rapat Kerja Laporan Perkembangan Pengambilihan Inalum bersama pemerintah. RaÂpat tersebut dihadiri Dirjen Kerja Sama Industri Internasional KeÂmÂenterian Perindustrian (KeÂmenÂperin) Agus Tjahjana, Dirjen KeÂkayaan Negara Kementerian KeÂuangan (Kemenkeu) HaÂdiÂyanÂto dan Deputi Menteri BUMN BiÂdang Industri Strategis dan MaÂnuÂfaktur Dwijayanti Cahyaningsih.
Anggota Komisi VI DPR Lili AsÂÂdjuÂdiredja mengatakan, peÂmeÂrintah sudah delapan kali rapat dan berunding dengan Nippon Asahan Aluminium (NAA), tapi sampai seÂkarang belum juga ada di tangan.
“Jangan hanya bicara saja. ApaÂlagi batas terakhir pengamÂbilÂalihan Inalum tinggal 14 hari lagi,†warning Lili.
Politisi Partai Golkar itu meÂminta pemerintah menekan NAA agar cepat melepaskan Inalum ke tangan Indonesia. “Ini untuk ReÂpublik Indonesia, jangan haÂnya untuk oknum saja,†sindirnya.
Anggota Komisi VI DPR NasÂril Bahar mengingatkan peÂmeÂrinÂtah agar tak terjebak dalam ArÂbitÂrase. Lebih baik pengÂamÂbilÂalihan InaÂlum dilakukan secara mufakat.
Dia menilai, alasan pemerintah membawa masalah perbedaan nilai aset Inalum sangat lemah. “Kita pasti kalah dan itu dimanÂfaÂatkan oleh NAA untuk bisa maÂsuk lagi ke Inalum,†ingatya.
Apalagi kalau sengketa ini diÂbawa ke Arbitrase, menurut NasÂril, itu memÂperlihatkan tim peÂrunÂdiÂngan PeÂmerintah IndoneÂsia leÂmah. Jika peÂmerintah yaÂkin, seÂharusnya bisa langÂsung bayar saja.
“Kalau ke ArÂbitÂrase akan meÂmakan waktu panÂjang,†ucap angÂgota Fraksi PAN itu.
Mestinya, kata Nasril, sebagai neÂgara yang bersahabat dengan JeÂpang, Indonesia bisa berbicara dan menyelesaikan masalah itu tanpa perlu Arbitrase. Apalagi, Jepang sudah mengambil keunÂtungan lama.
Anggota Fraksi Partai Gerindra Edy Prabowo mempertanyakan perbedaan nilai aset Inalum anÂtara Jepang dan Indonesia.
“Kenapa ini muncul di akhir waktu mau negosiasi. Seharusnya jika ada selisih nilai aset bisa diÂkeÂtahui dari awal. Apalagi setiap tahun ada laporannya,†kata Edy dengan nada tinggi.
Edy menduga, ada yang disemÂbunyikan dari Inalum. Apalagi selesihnya hampir Rp 30 triliun. “Itu angka yang besar. Apa saja kerja pemerintah sehingga terjadi ada perbedaan aset yang besar ini,†sentil Edy.
Sedangkan anggota Fraksi Partai DeÂmoÂkrat Ferari Romawi memperÂtaÂnyakan sumÂber pendaÂnaan pemÂbelian InaÂlum. “DanaÂnya dari maÂna, apa dari APBN (Anggaran PenÂdaÂpatan dan BeÂlanÂja Negara) lagi,†tanyanya.
NAA Incar Posisi DirkeuAgus Tjahjana menjelaskan, saat ini masih ada perbedaan pandangÂan antara pemerintah dan NAA. Ketiga perbedaan itu adaÂlah pengÂakuan atas revaluasi, beda tafÂsir formulasi harga penÂjualan dan beda persepsi resÂcheduling loan.
“Itu berdampak pada nilai komÂpensasi dan akan dicarikan penyelesaiannya melalui ArÂbitÂrase Internasional,†kata Agus.
Agus juga menegaskan, peÂmeÂrintah tidak akan menyetujui perÂmintaan NAA yang meminta saÂham 30 persen Inalum karena itu sangat merugikan pemerintah. Apalagi, NAA meminta posisi Direktur Keuangan (Dirkeu).
Menurutnya, meskipun NAA meÂmiliki saham minoritas, naÂmun dengan posisi Direktur KeÂuangan akan mempengaruhi keÂputusan perusahaan. “Misalnya meneÂrapÂkan harga jual yang meÂruÂgikan perusahaan,†ujarnya.
Dia sesumbar, setelah diambil alih per 1 November 2013, InaÂlum akan dikelola oleh putra putri Indonesia. Selain itu, rencana peÂngembangan bauksit dan klasÂter industri hilir alumunium akan muÂdah dilaksanakan.
Agus menambahkan, Inalum diusulkan menjadi BUMN deÂngan kepemilikan 100 persen di tangan pemerintah. Nama peÂruÂsahaan tetap menjadi PT Inalum (Persero) karena memÂperÂtimÂbangkan reputasi kontrak di duÂnia internasional.
Dirjen Kekayaan Negara KeÂmenÂterian Keuangan Hadiyanto mengatakan, anggaran untuk peÂngambilalihan Inalum menÂcapai Rp 7 triliun. Tapi angka itu bukan final.
“Dengan lemahnya nilai tukar tentu akan berdampak pada pembeliaan,†akunya.
Untuk saat ini, Rp 2 triliun ada di Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Sisanya masuk dalam angÂgaran investasi.
Deputi Menteri BUMN Bidang Industri Strategis dan Manufaktur Dwijanti Cahyaningsih meÂnamÂbahkan, pihaknya akan tetap memÂpertahankan Inalum bisa berÂoperasi seperti biasa. [Harian Rakyat Merdeka]