Eko ‘Patrio’ Hendro Purnomo
Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera diundang pimpinan Komisi X DPR mengenai penyebutan 15 inisial nama anggota DPR yang menyetujui proyek Hambalang.
Apalagi Komisi X DPR menilai, dokumen penyebutan inisial nama 15 anggota DPR itu tidak ditandatangani pimpinan BPK, sehingga wajar bila dokumen itu dicap palsu.
Eko ‘Patrio’ Hendro Purnomo, salah satu yang disebut-sebut dari 15 inisial nama anggota DPR itu mengatakan, pihaknya berencana mengajukan undangan kepada pimpinan BPK guna menjelaskan masalah ini.
“Pimpinan BPK segera diundang soal audit itu. Insya Allah minggu ini akan kami layangkan undangannya,’’ kata Eko ‘Patrio’ Hendro Purnomo kepada
Rakyat Merdeka di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (27/8).
Seperti diketahui, dalam audit BPK soal Hambalang yang telah diserahkan ke DPR dan KPK, disebut 15 inisial nama anggota Komisi X DPR yang menyetujui proyek Hambalang.
Dalam dokumen audit itu disebutkan bahwa selama dua tahun, 2010 dan 2011 anggaran ratusan miliar milik negara mengucur tanpa adanya pengawasan.
Inisial yang disebutkan BPK itu yaitu: MNS, RCA, HA, AHN, APPS, WK, KM, MI, JA, UA, MI, EHP, MY, MHD, HLS.
Eko selanjutnya mengatakan, pihaknya tidak pernah menandatangani persetujuan proyek Hambalang. “Mengenai 15 nama yang beredar di media massa itu merupakan dokumen palsu,†ujarnya.
Berikut kutipan selengkapnya;
Apa alasannya sehingga Anda bisa bilang dokumen itu palsu?Karena dokumen yang beredar di teman-teman wartawan itu ilegal.
Itu kan hasil audit BPK?Berdasarkan temuan kami, ternyata dokumen audit BPK tentang Hambalang itu ada dua. Pertama, hasil audit yang diserahkan BPK kepada Ketua DPR dan Komisi X DPR.
Pada hasil audit yang kami terima dan ditandatangani oleh pimpinan BPK ini, tidak ada 15 nama anggota dewan yang menyetujui proyek Hambalang.
Kedua, dokumen yang beredar di media massa. Pada dokumen audit yang beredar di media itu ada inisial 15 nama itu. Padahal, di dokumen ini tidak ditandatangani oleh pimpinan BPK. Makanya kami anggap dokumen ini ilegal, palsu.
Masak dokumen menjadi dua sih?Betul itu. Dengan beredarnya dokumen palsu itu, telah merugikan yang inisialnya disebut di situ. Masyarakat bisa berpikir negatif. Padahal kami tidak tahu apa-apa.
Kedua Audit BPK itu kan bersifat rahasia. Seharusnya tidak boleh beredar semudah itu. Ini kan artinya ada masalah di intern BPK.
Selain mempertanyakan ke BPK, apa lagi yang Anda lakukan?Karena dokumen ilegal yang rekan media miliki itu sudah beredar 2-3 hari sebelum Ketua BPK Hadi Purnomo menyerahkan hasil audit kepada Ketua DPR, ini kan artinya telah terjadi kebocoran.
Makanya kami juga melaporkan adanya perbedaan ini kepada KPK untuk disikapi.
Hanya protes?Ya, kami bisanya cuma protes atau melakukan konferensi pers. BPK seharus legowo menerima bahwa telah terjadi kebocoran, sehingga mau mengevaluasi kinerjanya sendiri. Kan kami yang meminta audit terkait Hambalang. Eh, tahunya malah kami yang diaudit. Kan ini artinya ada sesuatu.
Apa Anda sudah dipanggil Badan Kehormatan (BK) DPR terkait masalah itu?Belum. Justru kami meminta BK DPR untuk menyikapi temuan ini. Kami meminta bantuan BK untuk memulihkan nama baik kami. Karena perbedaan dokumen ini kan sudah merugikan.
Kalau panggilan KPK bagaimana?Belum ada panggilan. Tapi dulu pas dipanggil KPK saat kasus Hambalang mencuat, saya sudah jelasin semua alasannya mengapa saya menolak proyek Hambalang.
Bahkan saya yang mengusulkan dibentuknya Pansus (Panitia Khusus) Hambalang. Tapi kalau KPK mau memanggil, saya sangat siap untuk menjelaskan.
Mengapa Anda menolak?Saya menilai tidak perlu. Sebab, waktu itu di Gede Bage sedang dibangun GOR besar. Kemudian kita punya Wisma Atlet Ragunan dan Senayan. Menurut saya, untuk apa membangun Hambalang, memboroskan anggaran saja. [Harian Rakyat Merdeka]