Berita

ilustrasi

PKS Ngotot Tolak Pemerintah Perpanjang Hak Sewa Tanah untuk Asing

JUMAT, 22 MARET 2013 | 07:51 WIB | LAPORAN: RUSLAN TAMBAK

Kabar bahwa Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) tetap berencana merevisi  PP 41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia masih menyisakan perdebatan.

Salah satu pasal yang santer akan diubah dalam revisi PP ini adalah klausul pemberian hak pakai atas tanah kepada orang asing dari 25 tahun menjadi 70 tahun.
 
“Walaupun yang akan diubah mungkin adalah masa sewa dari 25 tahun menjadi 70 tahun, tetap saja menimbulkan kekhawatiran. Karena bisa jadi suatu ketika akan merembet ke kepemilikan,” kata Kapoksi V dari Fraksi PKS Sigit Sosiantomo (Jumat, 22/3).


Bahkan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi V DPR dengan Menpera sebelumnya, Legislator dari Dapil Surabaya-Sidoarjo ini dengan tegas meminta agar perdebatan terkait hal ini dibuka dalam floor dan rapat-rapat di DPR.
 
Perlu diingat, pada tanggal 25 Maret 2008, MK telah membatalkan pasal 22 dalam UU No 25/2004 tentang penanaman modal. Dimana pasal 22 ini adalah pasal yang memberikan hak untuk memperoleh penguasaan tanah melalui perpanjangan penguasaan tanah (HGU selama 95 tahun, HGB selama 80 tahun, dan HPL selama 70 tahun) kepada pengusaha/penanam modal (baik lokal maupun asing).

Kepemilikan properti bagi warga asing akan menimbulkan dampak negatif termasuk akan semakin sulitnya masyarakat kelas bawah untuk mendapatkan rumah. Perilaku warga berpenghasilan tinggi umumnya memandang properti bukan sebagai tempat tinggal, namun sebagai investasi. Setelah properti dibeli, maka setahun atau dua tahun kemudian dijual lagi dengan harga yang bisa jadi sudah dua kali lipat.
 
Berlipatnya harga jelas akan berimbas kepada kian berkurangnya kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk membeli properti. Kebijakan ini akan kontra produktif dengan  UU PKP dan Rusun yang sudah mengamanahkan pemerintah untuk memberikan kemudahan pada MBR untuk mendapatkan rumah karena itu adalah hak setiap warga Negara.
 
Selain itu juga dikhawatirkan konversi dari lahan pertanian menjadi lahan properti akan semakin banyak, juga kerusakan lingkungan yang potensial ditimbulkan. Nilai dari semua dampak ini jauh lebih besar dibanding potensi pajak yang akan dihasilkan akibat pemilikan properti warga asing. Di sisi lain, Sigit juga meragukan pendapat yang mengatakan bahwa ditambahnya jangka waktu sewa properti akan mendongkrak investasi dari asing.
 
Dampak lainnya adalah jika suatu saat terjadi krisis keuangan dan si investor asing kabur dari negara ini, maka hal ini akan menjadi beban bagi pemerintah. Kita masih ingat pada apa yang dikenal dengan krisis Subprime Mortgage di Amerika Serikat.

Penyebab utama dari krisis ini adalah suatu desain produk perbankan di AS yang dikenal dengan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Subprime. KPR yang sangat booming mulai tahun 2001-2005 ini tumbuh sangat cepat. Mencapai angka US$605 miliar pada tahun 2006 atau meningkat lima kali lipat dari tahun 2001.
 
Sigit justru menyarankan agar Kemenpera lebih baik fokus pada tugas pokoknya yaitu pemberian solusi pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat daripada memperlonggar ketentuan pemilikan properti bagi warga asing, mengingat saat ini backlog atau kekurangan pasokan perumahan masih sangat tinggi.

Bahkan, program rumah susun (rusun) dan fasilitas likuiditas pembangunan perumahan (FLPP) yang menjadi unggulan Kemenpera belum signifikan mengurangi backlog perumahan.
 
RUU Tapera yang sekarang sedang di bahas di DPR juga belum menyentuh hal krusial seperti bagaimana akses bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sektor non formal bisa mendapatkan rumah sederhana yang sehat dan laik huni. Saat ini, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), backlog perumahan di Indonesia di tahun 2010 sudah mencapai 13,6 juta. Angka ini bahkan diproyeksikan dapat membengkak hingga 15 juta pada 2014 mendatang. [zul]

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

Kapolda Metro Buka UKW: Lawan Hoaks, Jaga Jakarta

Selasa, 16 Desember 2025 | 22:11

Aktivis 98 Gandeng PB IDI Salurkan Donasi untuk Korban Banjir Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:53

BPK Bongkar Pemborosan Rp12,59 Triliun di Pupuk Indonesia, Penegak Hukum Diminta Usut

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:51

Legislator PDIP: Cerita Revolusi Tidak Hanya Tentang Peluru dan Mesiu

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:40

Mobil Mitra SPPG Kini Hanya Boleh Sampai Luar Pagar Sekolah

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:22

Jangan Jadikan Bencana Alam Ajang Rivalitas dan Bullying Politik

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:19

Prabowo Janji Tuntaskan Trans Papua hingga Hadirkan 2.500 SPPG

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Trio RRT Harus Berani Masuk Penjara sebagai Risiko Perjuangan

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Yaqut Cholil Qoumas Bungkam Usai 8,5 Jam Dicecar KPK

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:47

Prabowo Prediksi Indonesia Duduki Ekonomi ke-4 Dunia dalam 15 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:45

Selengkapnya