Berita

ILUSTRASI, Calon hakim agung

On The Spot

Ditanya Vonis Ringan Angie, Jawabannya Nggak Etis

Fit And Proper Test Calon Hakim Agung
SELASA, 15 JANUARI 2013 | 09:30 WIB

Calon hakim agung menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR. Sebelumnya para calon telah mengikuti tes membuat makalah pekan lalu. Bagaimana jalannya fit and proper test itu? Yuk kita intip.

Jam dinding di ruang Komisi III DPR telah menunjukkan pukul 1 siang. Ruangan yang berada di lantai dua gedung Nusantara II ini telah dipenuhi beberapa anggota Ko­misi yang membidangi ma­salah hukum itu. Di atas masing-ma­sing meja anggota Dewan ter­sedia satu gelas berisi air putih dan sepiring makanan kecil.

Tak lama kemudian, Al­Mu­zam­mil Yusuf mengetuk palu tiga kali. “Skorsing istirahat kita buka. Sekarang kita lanjutkan kem­bali fit and proper test peserta kedua. Pak Muhammad Damin Su­nusi agar masuk ruangan,” pinta Wakil Ketua Komisi III yang bertindak sebagai pimpinan sidang.

Setelah Daming Sanusi duduk di kursi yang menghadap meja pimpinan sidang, Al-Muzammil lantas meminta Kepala Penga­dilan Tinggi (KPT) Kalimantan Se­latan itu menyampaikan visi dan misinya. “Saya beri waktu 10 menit untuk menyampaikan visi dan misi,” kata politisi PKS itu.

Dalam penyampaian visi dan misinya, Daming lebih mene­kan­kan mengenai sikap seorang ha­kim agung yang independen dan tidak berpihak kepada sia­pa­pun, kecuali hanya kepada kea­dilan dan kebenaran.

Usai Daming penyampaian visi dan misi, Al-Muzammil Yusuf memberi kesempatan kepada ang­gota Komisi III untuk meng­ajukan pertanyaan. “Pertanyaan diajukan setiap fraksi,” katanya.

Pertanyaan pertama diajukan Andi Azhar Cakra Wijaya dari Fraksi PAN. Ia menanyakan si­kap Darmin mengenai vonis mati. “Apa pendapat anda tentang hu­kuman mati terhadap tiga pelaku kejahatan, pemerkosaan korupsi dan narkoba,” tanya Andi.

 â€œSaya setuju hukuman mati tetap diberlakukan terhadap pe­laku tindak pidana korupsi, nark­oba karena telah menyengsarakan masyarakat,” jawabnya.

Namun untuk kasus pemer­ko­saan, menurut Daming, perlu di­per­timbangkan matang-matang sebelum menjatuhkan vonis mati untuk pelakunya.  “Soalnya bisa jadi dalam perbuatan itu keduanya saling menikmati,” ujarnya beralasan.

Fraksi PKS mendapat giliran selanjutnya untuk bertanya. Adalah Adang Daradjatun, bekas wakil kepala Polri yang kini menjadi politisi PKS yang menyampaikan pertanyaan. Ia bertanya mengenai peninjauan kembali (PK) atas PK.

Menjawab pertanyaan itu, Da­ming setuju dengan PK diatas PK. Ia beralasan dengan PK di atas PK bertujuan untuk meng­ko­reksi putusan yang dianggap salah. “Putusan (PK di atas PK) itu untuk memberikan kejelasan hu­kum terhadap pengadilan di ting­kat bawah untuk melakukan ek­sekusi,” katanya.

Namun ia mensyaratkan, PK di atas PK hanya bisa bila ada pu­tusan yang berbeda di dalam per­kara yang sama di tingkat PK. “Kalau nggak ada perbedaan pu­tusan, tidak perlu ada PK di atas PK,”  katanya.

Berikutnya Fraksi PDIP yang bertanya. Anggota Komisi dari PDIP Imam Suroso menanyakan ba­gaimana cara mengembalikan citra MA di mata masyarakat yang saat ini kurang baik.

Daming menjawab, salah satu caranya dengan memperbaiki pro­ses rekrutmen hakim. “Bila pe­ngawasan dalam proses rek­rutmen dilakukan secara ketat, maka bisa diminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan terjadi,” katanya.

Selain itu, perlu adanya trans­paransi mengenai putusan yang di­buat hakim agung. “Bila pu­tusan tidak diawasi, maka sangat ber­bahaya,” katanya.

Bila terpilih, dia berjanji tidak akan bermain-main dengan mafia perkara.  Ia pun berjanji akan me­ngambil akan menjatuhkan pu­tusan berdasarkan hati dan nurani.

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo me­nanyakan apa parameter se­orang hakim dalam mengambil ke­putusan. Sebab seringkali pu­tusan yang dijatuhkan lebih ren­dah dari tuntutan jaksa.

“Apa yang akan Anda lakukan bila perkara bekas politisi Partai Demokrat Angelina Sondakh masuk ke Pengadilan Tinggi?” tanya Bamsoet kembali.

Daming mengatakan, putusan yang dibuat hakim harus ber­prin­sip kepada keadilan dan bisa me­nim­bulkan efek jera. “Bila tidak ada efek jera dikhawatirkan pe­laku akan mengulangi per­buat­an­nya,” katanya.

Mengenai perkara Angelina Sondakh, Daming tidak mau menjawab. Alasannya tidak etis. Namun bila perkaranya masuk ke mejanya, ia akan menelaah lebih lanjut dan tidak ragu menja­tuh­kan vonis sesuai dengan ke­sa­lahan yang dilakukan terdakwa.

Untuk diketahui, Angelina Son­dakh, anggota DPR dari Par­tai Demokrat hanya divonis 4,5 tahun penjara di Pengadilan Tipikor. Vonis ini jauh dari per­mintaan jaksa yang meminta bekas Putri Indonesia itu dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.

Pertanyaan lebih kritis diaju­kan Syarifuddin Suding dari Frak­si Partai Hanura. Ia mem­per­tanyakan apa alasan Daming un­tuk jadi hakim agung. “Apa mo­tivasi dasar Anda menjadi hakim agung. Apalagi Anda sudah dua kali mengikuti fit and proper test di sini (Komisi III),” katanya dengan nada tinggi.

Pertanyaan itu muncul, lan­tar­an Sudding menilai saat Daming memperkenalkan diri hanya me­ngutarakan motivasinya sebagai hakim agung hanya untuk mem­perbaiki sistem di Mahkamah Agung.

Alasan ini dinilai Suding sa­ngat formalitas. Ia pun merasa mengetahui lebih jelas apa dasar keinginan calon untuk menjadi hakim agung.

Suding mengatakan DPR tidak ingin kembali dipersalahkan ma­syarakat atas skandal yang men­jerat hakim agung. Ia lalu men­contohkan skandal pemalsuan vonis yang dilakukan Hakim Agung Achmad Yamanie.

“Kami tidak ingin terjadi lagi, karena kami yang disalahkan oleh masyarakat, kami ingin pilih orang yang berintegritas. Mora­litas dikedepankan. Dengan be­gitu akan menghasilkan pe­negakan hukum yang baik,” kata Suding.

Suding menambahkan, jika hanya memiliki motivasi untuk memperbaiki sistem, tidak perlu jadi hakim agung. “Itu memang sudah kewajiban, apa sesung­guh­nya yang memotivasi Bapak untuk masuk ke lingkungan MA? Di sana banyak praktik mafia peradilan begitu dahsyat. Bapak bisa terbawa-bawa,” tanya Su­ding kembali.

Pertanyaan yang dilontarkan dengan nada tinggi itu, membuat Daming gugup. Kegugupan itu terlihat ketika dia menanggapi per­tanyaan Sudding.

“Baik terima kasih Bapak Syarifuddin Su­ding dari Fraksi PKS,” kata Daming.

Mendengar itu, Suding pun memotong. “Hanura Pak. Ha­nu­ra,” kata Sudding meng­ingat­kan.

“Oh maaf. Dari Hanura. Maaf” kata Daming.

Setelah seluruh fraksi meng­ajukan pertanyaan, Al Muzammil lantas menutup fit and proper tes yang berlangsung selama 1,5 jam itu. “Sebelum Pak Daming me­ning­galkan ruangan. Tolong be­rita acara ditandatangani terlebih dahulu,” pinta Al-Muzammil. Se­telah meneken berita acara Da­ming meninggalkan ruangan sam­bil menenteng tas hitam.

Anggota Komisi III Indra me­ngatakan, ada enam calon yang mengikuti fit and proper test Se­nin kemarin. Mereka yakni Des­nayeti, Muhammad Daming Su­nusi, Burhan Dahlan, Heru Iriane, Made Rawa Aryawan, dan Oloan Burhanudin.

 Uji kelayakan dan kepatutan ini akan berlangsung sampai Ka­mis mendatang.  “Selasa em­pat calon dan Rabu dua calon, se­kaligus sorenya dijadwalkan lang­sung memilih empat calon hakim terpilih dari 12 calon yang di-fit and proper test,” jelas politisi PKS ini.

Komisi Yudisial (KY) menyo­dor­kan 24 calon hakim agung un­tuk mengikuti seleksi di DPR. Se­banyak 12 calon baru akan me­ngikuti tes pembuatan makalah pada Kamis mendatang. Setelah itu para calon akan menjalani fit and proper test.

Menurut Indra, para anggota Komisi III telah turun ke lapang­an untuk mengumpulkan ber­ba­gai informasi mengenai calon yang mengikuti seleksi di DPR. Ang­gota Dewan bertanya me­ngenai sejumlah orang di bekas tempat kerja calon, para tetangga maupun orang-orang yang me­ngetahui tindak-tanduk calon.

Ini untuk mendapatkan gam­bar­an yang lebih lengkap me­nge­nai sosok dan perilaku calon.  “Ka­mi turun langsung ke Aceh jika hakimnya berasal dari Aceh, dan seterusnya. Tidak menunggu di sini, nunggu dia bicara manis-ma­nis,” katanya.

Keseleo Lidah, Gayus Tambunan Malah Disebut Gayus Lumbuun

Ada sejumlah kejadian unik yang tertangkap Rakyat Merdeka saat mengamati fit and proper test calon hakim agung di Komisi III DPR. Ada yang salah menyebut nama fraksi maupun nama orang. Mungkin calon gugup atau me­mang hanya keseleo lidah.

Misalnya saat Komisi III me­nguji calon Burhan Dahlan. Ang­gota Komisi III dari PPP Ahmad Kurdi Moekri sempat bertanya mengenai makelar kasus yang di­sinyalir ada di sejumlah penga­dil­an.

“Bagaimana pandangan Anda terkait mafia hukum atau bahasa kerennya markus (makelar ka­sus)?” tanya Mukri.

Burhan yang berlatar belakang per­adilan militer ini lalu men­contohkan vonis rendah terhadap pelaku mafia pajak. Menurut dia, vonis itu membuat masyarakat kecewa.

“Kita tidak boleh bantah itu tidak ada (markus). Ada juga ha­kim yang diproses, seperti kasus­nya Gayus Lumbuun. Itu mulai proses pemeriksaan berkas surat dak­waan mulai diselewengkan,” pa­parnya.

Jawaban Burhan sontak mem­buat kaget para anggota Komisi III yang hadir di fit and proper test. Sementara dua Wakil Ketua Ko­misi III Al Muzammil Yusuf dan Aziz Syamsuddin malah tawa.

“Gayus Lumbuun atau Gayus Tambunan Pak? Gayus Lumbuun mantan Komisi III itu,” sahut sa­lah seorang anggota Komisi III sembari tertawa.

Gayus Lumbuun adalah bekas anggota Komisi III DPR yang kini jadi hakim agung. Sedang­kan Gayus Tambunan adalah pe­gawai pajak golongan III yang me­miliki kekayaan sampai pu­luhan miliar. Kekayaan itu dinilai tak wajar. Gayus diduga mafia pajak. “Oh maaf, Gayus Tam­bun­an mak­sudnya,” ralat Burhan.

Pertanyaan lainnya juga di­ajukan Andi Azhar dari Fraksi PAN. Ia menanyakan tentang re­visi Undang-Undang Peradilan Militer. “Pelanggaran militer pa­ling banyak apa? Bila anggota TNI melakukan tindak pidana apakah harus diselesaikan me­lalui tindak pidana umum atau militer?” tanya Andi.

Burhan menjawab, TNI aktif harus senantiasa patuh bila di­hadapkan ke pengadilan. Bila pe­langgaran terkait disiplin or­ganisasi maka disidangkan di pengadilan militer. Namun bila merugikan masyarakat harus ditindak di pengadilan umum.

Anggota Komisi III dari PKS Soemandjaya mengatakan militer patuh terhadap komando pim­pinan. Menurut dia, ini membuat prinsip equality before the law (kesamaan kedudukan di mata hukum) sulit diterapkan hakim yang berlatar belakang militer.

“Apakah calon hakim dapat mengesampingkan komando atas perkara yang melibatkan seorang tentara, dan apakah anggota TNI da­pat dipidana di peradilan umum atau tidak,” tanya Soe­mandjaya.

Menurut Burhan, komando merupakan inti dari kehidupan militer. Meskipun begitu, pe­nerapan komando tidak ber­laku da­lam menangani perkara di peradilan militer. Nilai komando yang bisa diterapkan di peradilan miiter adalah nilai komando yang positif. Misalnya, terkait disiplin waktu persidangan. Sidang bisa ditunda asalkan sebelumnya ada pemberitahuan terlebih dahulu ke pihak peradilan agar masyarakat yang ingin mengikuti per­si­dangan tidak menunggu lama.

Ketua Peradilan Militer Utama itu mengklaim tak akan men­jalankan perintah atasan yang di­anggap mencampuri urusan per­kara di peradilan militer. Perkara bukan urusan dirinya kepada manusia atau korps, melainkan tanggung jawab kepada Tuhan. “Kalau besok saya meninggal, sia­pa yang bela saya,” katanya.

Dua Kali Vonis Mati Terdakwa Kasus Narkoba

Desnayeti adalah calon yang pertama diuji di Komisi III DPR kemarin. Hakim tinggi di Peng­adilan Tinggi Sumatera Barat itu banyak dimintai pan­dang­annya mengenai hukuman mati. “Bagaimana penilaian An­da atas hukuman mati,” ta­nya Andi Az­har, anggota Ko­misi III dari PAN.

Desnayeti setuju diber­la­ku­kan hukuman mati di Indonesia. “Di dalam agama Islam ini di­benarkan, kecuali kalau korban sudah memaafkan pelaku. Ka­lau untuk soal narkoba ini beda kasusnya,” katanya.

Ia berpendapat hukuman mati harus tetap dipertahankan sis­tem peradilan di Indonesia. Ini untuk mewujudkan rasa ke­adilan masyarakat sekaligus menegakkan hukum. “Saya se­tuju hukuman mati tetap diber­la­kukan dan dipertahankan da­lam proses penegakan hukum di negeri ini,” katanya.

Desnayeti melanjutkan, hu­kuman mati terhadap pelaku ke­jahatan berat bisa menimbulkan efek jera. Namun, menurut dia, hu­kuman mati hanya dija­tuh­kan kepada kasus terbatas saja. Misalnya pelakunya adalah mafia narkoba, terorisme, dan korupsi.

Selama menjadi hakim, Desnayeti mengungkapkan sudah dua kali menjatuhkan hukuman mati kepada para terdakwa. Namun, hukuman itu diubah di tingkat peradilan yang lebih tinggi.

Ia pun menyebutkan pernah beberapa kali mela­kukan dis­sen­ting opinion (pendapat ber­beda) dalam memutus perkara.

Menurut dia, dalam memutus perkara, hakim harus ber­d­a­sar­kan fakta-fakta di persidangan, alat bukti, saksi, dan fakta-fakta lain. “Untuk menentukan hu­kuman mati atau tidak harus ada keyakinan penuh atas dasar hati nurani,” katanya.

Anggota Komisi III DPR, In­dra, menanyakan soal pu­tusan pengadilan yang beberapa kali ti­dak mendapat respons yang baik dari masyarakat Sumatera Barat.

Menjawab pertanyaan itu, Desnayeti mengatakan, “Pa­dang itu memang agak rumit. Per­soal­an-persoalan yang ada di Su­ma­tera Barat memang agak rum­it, baik penerapannya, mau­pun ke­sehariannya. Oleh karena itu saya berharap memang un­tuk hakim-hakim yang ada di Su­matera Barat difokuskan ke sana.”

Indra lalu melanjutkan per­ta­nyaannya. Kali ini dia me­nyo­roti mengenai menanyakan banyaknya hakim yang men­jatukan vonis minimal.

Desnayeti mengatakan, atur­an hukuman minimal menjadi pengekang hakim dalam mem­berikan keadilan bagi ma­sya­rakat. “Pertama sekali baca un­dang-undang saya merasa ke­bebasan hakim sudah dikekang. Hakim itu tidak begitu saja mengambil keputusan karena itu kasus per kasus. Tidak se­dikit perkara yang saya pegang harus diputus minimal. Misal­nya pada kasus narkoba,” jawabnya,

Namun buru-buru Desna me­lanjutnya bahwa dirinya juga pernah menjatuhkan hukuman maksimal kepada terdakwa kasus narkoba. “Sebagai hakim saya sudah dua kali men­ja­tuh­kan hukuman mati walaupun akhirnya diubah,” katanya.

Desnayeti mengatakan salah satu yang akan diperbuat jika terpilih jadi hakim agung adalah berupaya mengingatkan hakim-ha­kim lainnya, terutama di pe­nga­dilan lebih rendah agar ber­sungguh-sungguh menjadi hakim yang memberikan rasa keadilan.

“Itu pernah saya rasakan (ada) sentuhan-sentuhan hakim senior. Ini yang akan saya se­imbangkan bahwa jabatan hakim adalah jabatan yang ha­rus  dipertang­gung­jawab­kan,” katanya.

“Jangan Melawan Matahari, Nanti Matamu Perih...”

Pernah Dihukum MA

Desnayeti, salah satu calon hakim agung ternyata  pernah men­dapat hukuman disiplin dari Mahkamah Agung (MA) pada 2008. Saat itu dia menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi (PT) Kalimantan Barat yang menangani perkara tindak pi­dana perikanan.

Kini Desnayeti bertugas se­ba­gai hakim tinggi di Penga­dil­an Tinggi Sumatera Barat. Hu­kuman disiplin terhadap Des­nayeti itu terungkap dalam uji kelayakan dan kepatutan yang digelar Komisi III kemarin

Desnayeti bersikukuh dirinya tak bersalah. Ia merasa sudah membuat putusan yang benar sesuai peraturan yang berlaku.

“Pemeriksa menilai jamin­an­nya terlalu kecil sebesar Rp 150 juta tak sesuai dengan harga kapal, maka saya dikenai sanksi disiplin sedang oleh Bawas (Badan Pengawasan) MA,” katanya.

Desnayeti bersama anggota ma­jelis hakim Pengadilan Ting­gi Kalbar mengabulkan per­mo­honan pinjam pakai kapal yang ter­sangkut perkara. Per­mo­hon­an itu diajukan pemilik ka­pal yang tidak terlibat kasus itu.

Nilai jaminan yang dipu­tus­kan Desnayeti dianggap rendah dibandingkan harga kapalnya yang mencapai Rp 1 miliar. Ka­rena memutuskan itu, dia dike­na­kan sanksi disiplin berupa berupa penurunan pangkat dan pe­nundaan kenaikan remu­nerasi selama setahun.

Desnayeti beralasan, sesuai pe­meriksaan di pengadilan ne­geri, harga kapal itu diper­ki­rakan tidak lebih dari 157 juta. Yang membuatnya heran dalam lapor­annya Bawas MA me­nye­but kapal Nusantara VIII. Pa­dahal, kapal yang menjadi ba­rang bukti di persidangan adalah kapal Nusantara IV.

Meski merasa tidak bersalah, Des­nayeti mengatakan, mene­rima saja sanksi tersebut. Sebab dia tidak ingin melawan pim­pin­an di Mahkamah Agung. “Ibu saya bilang, ‘jangan mela­wan matahari, karena matamu nanti akan perih’. Maksudnya, kalau dimarahin atasan, diam saja. Jadi, saya memilih diam saja, karena tidak ada gunanya juga seandainya saya mela­wan,” ujarnya.  [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

WNI Kepoin Kampus Pemberi Gelar Raffi Ahmad di Thailand, Hasilnya Mengagetkan

Minggu, 29 September 2024 | 23:46

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

UPDATE

Kasus Korupsi PT Timah, Sandra Dewi Siap jadi Saksi Buat Suaminya di Depan Hakim

Rabu, 09 Oktober 2024 | 22:05

Banjir Rendam 37 Gampong dan Ratusan Hektare Sawah di Aceh Utara

Rabu, 09 Oktober 2024 | 22:00

Perkuat SDM, PDIP-STIPAN kembali Teken MoU Kerja Sama Bidang Pendidikan

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:46

Soal Kementerian Haji, Gus Jazil: PKB Banyak Speknya!

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:34

Pemerintah Harus Bangun Dialog Tripartit Bahas Kenaikan UMP 2025

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:24

PWI Sumut Apresiasi Polisi Tangkap Pembakar Rumah Wartawan di Labuhanbatu

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:15

Kubu Masinton Pasaribu Berharap PTTUN Medan Tolak Gugatan KEDAN

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:59

PKB Dapat Dua Kursi Menteri, Gus Jazil: Itu Haknya Pak Prabowo

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:54

MUI Minta Tokoh Masyarakat dan Ulama Turun Tangan Berantas Judol

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:43

Bertemu Presiden AIIB, Airlangga Minta Perluasan Dukungan Proyek Infrastruktur di Indonesia

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:22

Selengkapnya