Berita

ilustrasi, SMA 70

On The Spot

SMA 70 Tetap Buka Kelas Internasional

Biayanya Rp 17 Juta Setahun
SABTU, 12 JANUARI 2013 | 09:09 WIB

.Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menjadi payung hukum Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Keberadaan sekolah dengan label itu dianggap melanggar konstitusi.

Kini setelah label RSBI dihapus, status semua sekolah baik yang pernah menyandang label itu maupun belum sama. Adakah perubahan di sekolah-sekolah yang pernah menyandang label RSBI? Yuk kita intip.

Kelas yang tak terlalu luas itu dilengkapi pendingin udara. Satu LCD berukuran kecil dipasang di bagian depan. Di dalam ruangan itu puluhan siswa tengah asyik membaca buku di mejanya ma­sing-masing.

Seorang guru terlihat me­nga­mati satu per satu siswa sambil sesekali menjelaskan pelajaran yang belum dipahami para murid. “Itu program kelas international,” kata Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMA 70 Ja­karta, Safari.

SMA 70 merupakan salah satu sekolah yang memegang status Rintisan Sekolah Bertaraf In­ter­nasional (RSBI) sejak tahun 2006. Dengan jumlah siswa se­ba­nyak 1.000 orang, sekolah elite di Ja­karta itu mempunyai 36 kelas, mu­lai dari tingkat X, XI dan XII.

Safari mengatakan, program kelas international sudah dibuka sebelum ada RSBI. “Walaupun RSBI telah dihapus. Program ini (internasional) masih tetap diper­tahankan,” katanya.

Ini, kata Safari, untuk mem­fa­silitasi beberapa siswa yang ingin melanjutkan pendidikannya di luar negeri. “Dari pada mereka belajar bahasa di luar negeri se­belum melanjutkan kuliah (di luar negeri). Mendingan sejak di SMA mereka sudah difasilitasi.” katanya.

Ia menjelaskan, di SMA 70 Ja­karta ada tiga kelas internasional mulai tingkat X, XI dan XII. Ma­sing-masing kelas dibatasi hanya sebanyak 24 siswa. Kuri­kulum­nya mengacu sistem belajar di Cambridge Inggris.

Untuk masuk ke kelas ini, kata Safari harus mengikuti se­rang­kaian tes termasuk kecakapan ba­hasa, pengetahuan dan ten­tunya memiliki kemampuan finansial orangtua murid. “Seluruh mata pe­lajaran menggunakan pengan­tar bahasa Inggris,” katanya. Biaya program pendidikan ini Rp 17 juta per tahun.

Safari tidak me­m­per­ma­sa­lah­kannya penghapusan label RSBI. Kata dia, sejak dulu sekolah ini selalu menjaga mutu pendi­di­kan­nya. “Ada atau tidak adanya pro­gram itu, kami selalu memikirkan kualitas pendidikan,” katanya.

Sebenarnya, ungkap dia, tidak terlalu banyak beda di sekolah ini sebelum dan sesudah ada pro­gram RSBI. “Kalau pelajaran ba­hasa Inggris tentu semuanya pa­kai pengantar bahasa Inggris. Tapi kalau pelajaran Fisika tentu pe­ngantarnya menggunakan ba­hasa Indonesia agar lebih mudah di­me­ngerti siswa. Jadi fleksibel ter­gantung kebutuhan saja,” katanya.

Walaupun begitu, ada juga keunggulannya dari RSBI. Yakni sarana dan prasarana sekolah jadi lebih lengkap. Proses belajar me­ngajar di kelas menggunakan LCD. Fasilitas laboratorium juga jadi lengkap.

Selain itu, seluruh guru sekolah minimal harus lulusan strata satu. “Di sekolah ini semua guru sudah lulus sarjana. Bahkan 30 persen diantaranya lulusan strata dua dan tiga,” kata Safari.

Saat ditanya berapa biaya pen­didikan yang dikenakan kepada siswa setiap bulannya, Safari me­ngatakan, pungutan itu hanya bersifat donasi. Besarnya ter­gan­tung kemampuan siswa. “Kalau siswa hanya sanggup bayar Rp 50 ribu ya nggak apa-apa. Lebih juga di­persilakan,” katanya.

Kebanggaan Yang Berujung Gugatan

Milang Tauhida awalnya bang­ga anak keduanya bisa ma­suk SMP negeri di bilangan Ci­kini, Jakarta Pusat. Selain favorit, sekolah yang lulusannya banyak menjadi petinggi negeri ini juga berstatus Rintisan Sekolah Ber­taraf Internasional (RSBI).

“Masuk sekolah itu nilai rapor minimal harus 7. Kurang dari itu jangan harap bisa masuk,” tutur Milang. Namun kebanggaan itu tak berlangsung lama. Ketika awal masuk, dirinya diminta membayar uang pangkal sebesar Rp 9 juta. Lantaran dianggap ma­hal untuk sekolah negeri, Milang bersama orangtua murid yang tergabung da­lam komite sekolah berne­go­sia­si dengan pihak sekolah.

Akhirnya disepakati uang pang­kal dipangkas jadi Rp 7 juta. “Kami sepakat membayar uang se­­banyak itu demi men­dapatkan kua­­litas pen­didikan yang lebih baik,” kata Mi­lang men­je­laskan ala­sannya me­nerima ke­sepakatan itu.

Usai membayar uang pangkal, ibu dua anak bisa bernapas lega. Se­babnya, anaknya bisa ber­se­ko­lah di sekolah favorit itu. Namun baru sebulan, dia dikejutkan de­ngan iuran yang harus dibayar pendidikan anaknya. Jumlah Rp 600 ribu per bulan.

Lagi-lagi dinilai kemahalan, komite sekolah kembali berem­bug dengan pihak sekolah. Ha­sil­nya, iuran diturunkan jadi Rp 375 ribu per bulan. “Bagi saya iuran se­besar itu cukup memb­er­at­kan­nya  karena saya hanya ibu rumah tangga. Sementara suami kar­ya­wan swasta yang penghasilannya tidak menentu,” kata Milang.

Untuk membiayai pendidikan anaknya, Milang pun mengambil uang tabungan. “Ini langkah ter­akhir demi masa depan,” ujarnya.

Di luar iuran per bulan, orang tua siswa juga dibebankan bebe­rapa biaya. Misalnya untuk foto­kopi bahan-bahan pelajaran.

Lantaran biaya-biaya itu diang­gap memberatkan, Milang mem­beranikan diri mengajukan protes ke pihak sekolah. Ia juga me­minta pihak sekolah transparan mengenai pengelolaan keuangan.

Sayangnya, protes itu seolah di­anggap angin lalu. Bahkan, Mi­lang merasa diintimidasi. “Rapor anak saya sempat ditahan pihak sekolah karena saya terus me­la­kukan protes,” ucapnya.

Ditunggu-tunggu, tak juga men­da­pat tanggapan dari pihak sekolah, Milang lalu bergabung de­ngan Andi Akbar Fitriyadi, Na­dia Masykuria, Juwono, Lo­dewijk F Paat, Bambang Wisu­do dan Febri Antoni Arif untuk meng­gu­gat status RSBI ke Mah­­kamah Konstitusi (MK). Status itu di­ang­gap sebagai pe­nyebab mahalnya biaya pen­di­dikan di sekolah ne­geri yang me­­nyandangnya.

Sasaran gugatan adalah Pasal 50 ayat 3 UU Sistem Pendidikan Na­sional. Pasal itu menyebut pe­merintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan seku­rang-kurangnya satu pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satu pendidikan yang bertaraf inter­nasional. Inilah payung hukum RSBI. Ada lebih dari 1.300 seko­lah yang diberikan status itu.

Senin lalu, MK membacakan putusan gugatan Milang Cs. Pu­tu­san Mahkamah yang dipimpin Mahfud MD itu menyatakan Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas ber­tentangan dengan konstitusi. Pasal itu dibatalkan.

Dengan dihapuskannya pa­yung hukum itu, maka tak boleh lagi ada sekolah berstatus RSBI. “Alhamdulilah setelah berjuang selama berbulan-bulan, per­jua­ngan kami berhasil dengan di­ha­puskannya RSBI,” kata Milang penuh rasa syukur.

Dengan keluarnya putusan MK ini, dia berharap tidak ada lagi diskriminasi di dunia pendidikan. “Orang kaya dan miskin berhak mendapat pendidikan yang layak dan berkualitas,” katanya.

Selama ini, iuran pendidikan yang di sekolah negeri yang ber­status RSBI lebih mahal dari se­kolah non-RSBI. Menurut Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listyarti, biaya pendidikan di sekolah RSBI membebani orang­ tua murid.

Ia lalu mencontohkan biaya pen­didikan di SMA favorit di bi­langan Koja, Jakarta Utara yang berstatus RSBI. Menurut dia, biaya pendidikan di sini paling mu­rah dibandingkan sekolah negeri lain. Biaya masuk Rp 7,5 juta. Sedangkan iuran per bulan Rp 600 ribu.

Retno membandingkan dengan biaya yang dikenakan di sekolah berstatus sama yang ada di Ja­karta Timur dan Jakarta Selatan. Dua SMA negeri yang dise­but­kannya menarik uang pangkal se­besar Rp 12,5 juta dan Rp 15 juta.

Sekolah favorit di Jakarta Sela­tan itu menarik iuran Rp 1 juta per bulan. Sedangkan yang di Ja­kar­ta Timur Rp 500 ribu per bulan.

“Bila dihitung-hitung sebulan Rp 500 ribu dikali 12 bulan ber­arti Rp 6 juta. Tambah Rp 15 juta uang masuk jadinya Rp 21 juta. Itu untuk tahun pertama,” katanya.

Bila iuran di tahun kedua dan ketiga tidak naik, orang tua perlu mengeluarkan Rp 12 juta lagi. Biaya pendidikan selama tiga ta­hun Rp 33 juta.

“Saya Dapat Teror Dari Mana-mana”

Guru Penggugat RSBI

Bukan hanya orangtua yang keberatan dengan RSBI, kala­ngan guru juga mem­per­soal­kannya. Label itu diang­gap men­jadi penyebab mahal­nya biaya pendidikan di se­kolah negeri.

 Adalah Retno Listyarti, guru di SMA Negeri 13 Jakarta Utara yang mempersoalkan RSBI. Pe­rempuan yang juga sekjen F­e­de­rasi Serikat Guru Indonesia ini bersedia menjadi saksi da­lam gugatan uji materi UU Si­s­tem Pendidikan Nasional.

Sebagai guru pelajaran Ba­ha­sa Inggris di sekolah negeri yang menyandang status RSBI, memberikan kesaksian yang menguatkan gugatan terhadap RSBI tentu bukan tanpa risiko.

“Saat menjadi saksi itu pe­nuh ketegangan karena banyak teror dari mana-mana. Tapi kami me­lihat ini sangat tidak adil buat pendidikan dan anak bangsa,” katanya.

Namun kini, ia senang karena MK mengabukan per­mo­ho­nan­nya yang berimplikasi pe­ng­ha­pusan kelas-kelas internasional yang dinilai diskriminatif.

Menurut Retno, pemerintah tidak pernah melakukan riset un­tuk menemukan hasil positif dari RSBI. “Tidak pernah ada riset soal itu. SMA 13 Jakarta mi­salnya. Saya alumni sini. Sekolah ini sudah unggulan dari dulu jauh sebelum diberi label RSBI di tahun 2005. Sekarang apa kontribusi RSBI untuk sekolah yang sudah unggul? Pemerintah tak pernah lakukan riset soal itu,” tanya Retno berapi-api.

Tanpa riset, pemerintah tidak bisa melihat relevansi antara sekolah yang RSBI dan yang tidak. “Paling hanya terlihat se­cara fisik sekolah seperti ada LCD,  ada CCTV, ada pelajaran IT (teknologi informasi/TI). Itu saja,” katanya.

Retno menilai anggaran khu­sus program RSBI yang men­ca­pai Rp 11 triliun juga memun­culkan semacam kasta di dunia pendidikan.

“Sekolah non RSBI juga tak dapat bantuan rutin dari APBD. Sementara RSBI dapat angga­ran Rp 11 triliun. Ini kan me­nunjukkan ketidakadilan, dis­kriminasi, ini pengkastaan be­tul. Sekolah RSBI ini punya kelas berstandar internasional yang harganya mahal dan se­gala macamnya. Sementara se­kolah gurem tak punya apa apa. Ini jelas pengkastaan,” katanya.

Retno menyarankan untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia lebih baik dengan mem­berikan pelatihan kepada para guru. Ia mencontohkan Cina dan Singapura, yang me­miliki program pelatihan rutin kepada guru.

Kata dia, bila memakai stan­dar Singapura, guru harus dila­tih seratus jam setiap tahun. Cina melatih gurunya 240 jam per lima tahun.

“Kami menemukan data, di 29 daerah 52 persen gurunya tak pernah terima pelatihan, bah­kan hingga pensiun. Guru kota juga terima pelatihan itu hanya sekali dalam jangka wak­tu lima tahun. Itu pun kurang le­bih hanya 3x8 jam. jauh sekali apabila dibandingkan dengan Shanghai (Cina) dan Singa­pura,” jelasnya.

Retno meminta ini bisa men­jadi masukan bagi pemerintah. Kualitas pendidikan tidak ditentukan sepenuhnya oleh kurikulum atau bahkan RSBI. Tapi juga ditentukan kualitas gurunya.

“Kami sebagai guru tahu per­sis. Dana RSBI belasan tri­l­iu­nan bisa digunakan untuk me­latih guru-guru. Yakinlah akan ada perubahan kualitas,” katanya.

Retno menjelaskan pembena­han kualitas dan kuantitas guru di Indonesia merupakan pe­ker­jaan penting untuk pe­merintah Indonesia. Guru yang ber­kua­litas akan menghasilkan pen­di­dikan yang berkualitas juga.

“Membenahi guru itu PR. Karena kalau gurunya jelek ya kua­litas pendidikan dan peng­a­jarannya juga jelek. Hanya guru kreatif yang bisa bikin murid­nya kreatif. Hanya guru pintar yang bisa buat muridnya pintar, hanya guru kritis yang bisa buat muridnya kritis,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

WNI Kepoin Kampus Pemberi Gelar Raffi Ahmad di Thailand, Hasilnya Mengagetkan

Minggu, 29 September 2024 | 23:46

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

UPDATE

Kasus Korupsi PT Timah, Sandra Dewi Siap jadi Saksi Buat Suaminya di Depan Hakim

Rabu, 09 Oktober 2024 | 22:05

Banjir Rendam 37 Gampong dan Ratusan Hektare Sawah di Aceh Utara

Rabu, 09 Oktober 2024 | 22:00

Perkuat SDM, PDIP-STIPAN kembali Teken MoU Kerja Sama Bidang Pendidikan

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:46

Soal Kementerian Haji, Gus Jazil: PKB Banyak Speknya!

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:34

Pemerintah Harus Bangun Dialog Tripartit Bahas Kenaikan UMP 2025

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:24

PWI Sumut Apresiasi Polisi Tangkap Pembakar Rumah Wartawan di Labuhanbatu

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:15

Kubu Masinton Pasaribu Berharap PTTUN Medan Tolak Gugatan KEDAN

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:59

PKB Dapat Dua Kursi Menteri, Gus Jazil: Itu Haknya Pak Prabowo

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:54

MUI Minta Tokoh Masyarakat dan Ulama Turun Tangan Berantas Judol

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:43

Bertemu Presiden AIIB, Airlangga Minta Perluasan Dukungan Proyek Infrastruktur di Indonesia

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:22

Selengkapnya