Berita

ilustrasi, pemukiman Transmigran

On The Spot

Mau Beli Kebutuhan Pokok Mesti Jalan 10 Kilometer

Ngintip Kehidupan Transmigran Di Donggala, Sulteng
MINGGU, 30 DESEMBER 2012 | 08:55 WIB

.Rumah mungil itu berdiri di tengah-tengah perbukitan di Desa Tinauka, Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Dindingnya dari tripleks. Atapnya dari seng. Pagar pembatas dengan rumah sebelah pun dibuat ala kadarnya, dengan ranting-ranting kayu yang dirajut.

Di sini, rumah dengan bentuk se­perti itu bukan hanya satu. Se­ti­daknya ada 200 rumah dengan bentuk sama. “Inilah rumah kami warga transmigran,” kata Ateng. Ateng adalah salah satu trans­mig­ran di Tinauka.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) mulai kawasan transmigrasi di Tinauka sejak 2009 lalu. Ka­wa­san transmigrasi seluas 1.279 hek­tar itu telah dihuni 200 kepala Keluarga (KK) dengan jumlah total 800 jiwa ini.

 Desa Tinauka terletak 180 kilo­meter dari ibu kota Sulawesi Te­ngah, Palu. Perjalanan ke ka­wa­san transmigran ini bisa di­tempuh selama tiga jam lewat ja­lan darat. Dari Palu melewati dua kabupaten yaitu Mamuju Utara dan Donggala. Jalan penghu­bung ke dua kabupaten itu lebar dan mulus.

Namun 30 kilometer menuju ka­wasan transmigrasi kondisinya berubah 180 derajat. Jalan me­nyempit tinggal empat meter. Ja­lan­nya yang membelah perke­bunan sawit itu berkerikil dan berdebu. Tidak ada penerangan di malam hari.

Rakyat Merdeka melalui jalur pada siang hari. Cuaca sedang terik-teriknya. Kalau pandangan be­bas hambatan, mobil bisa di­pacu sampai kecepatan 70 ki­lo­meter per jam. Kondisi bakal ber­beda bila hujan. Jalan jadi ber­lum­pur dan sulit dilewati kenda­raan. Jalan menuju Desa Tinauka, yang terletak di lembah ini, penuh tanjakan dan turunan.

Semua penghuni Desa Tinauka adalah transmigran dari berbagai daerah di Indonesia. Transmigran menempati  rumah berukuran 7x6 meter yang letaknnya saling ber­de­katan. Di desa ini tersedia SD, masjid dan puskesmas, yang baru diresmikan. Desa ini sudah di­lengkapi listrik yang berasal dari genset. Beberapa warga sudah menggunakan panel surya se­ba­gai sumber listrik.

Berbeda dengan listrik, warga desa ini sulit memperoleh air ber­sih. Sumber air utama untuk war­ga desa berasal dari air hujan. Saat hujan, warga menampung air di tangki-tangki berukuran besar. Di musim kemarau, warga mengambil air dari sungai, tak jauh dari desa.

Ateng mengaku tinggal di ka­wasan transmigrasi ini sejak Agustus 2010. “Saya sudah dua tahun tinggal disini bersama anak dan istrinya,” kata pria bertubuh pendek ini.

 Transmigran asal Ponorogo, Jawa Timur ini tergiur bertrans­mig­rasi setelah melihat rekan satu kampungnya yang berhasil se­te­lah transmigran ke Lampung.

“Kawan saya sudah punya mo­bil dan rumah mewah selama men­jadi transmigran berbekal me­­nanam sawit,” katanya.

Terdorong keinginan untuk me­ngubah nasib, ia men­daf­tar­kan diri untuk ikut program trans­migrasi Januari 2010 di Di­nas Tenaga Kerja dan Trans­mig­rasi Situbondo, domisili istrinya. Awalnya ia mengincar wilayah transmigrasi di Sumatera. Na­mun karena sudah penuh, ia dita­w­arkan ke Tinauka.

“Karena adanya di Sulawesi ya, saya harus terima dan men­daftar bersama istri dan satu anak­nya,” katanya

Setelah lima bulan menunggu, pria berkulit gelap ini akhirnya di­berangkatkan Disnakertrans Si­tubondo ke Tinauka, Dong­ga­la, Sulteng. Saat berangkat dia di­bekali uang sebesar Rp 750 ribu.

Sesampainya di tempat trans­migrasi, ia juga diberi rumah semi permanen berukuran 6x7 meter. Ia juga mendapat lahan se­luas dua hektar. “Tanah itu sudah saya tanami sawit. Tapi tiga tahun lagi baru bisa dipanen,” kata Ateng.

Tahun pertama dia merasakan susahnya tinggal di kawasan transmigrasi ini. Keluarganya su­sah memperoleh bahan kebu­tu­han pokok seperti beras, minyak goreng, minyak tanah hingga pa­kaian. Di tahun pertama, dia ma­sih memperoleh uang Rp 500 ribu dari Kementerian Tenaga Ker­ja dan Transmigrasi.

Memasuki tahun kedua, ke­luarganya sudah tidak mendapat “uang saku” dari Kem­en­a­k­er­trans. Bantuan bahan kebutuhan pokok pun sudah dihentikan.

“Untuk menyambung hidup saya bekerja serabutan sebagai bu­ruh tanah sawit. Saya digaji Rp 50 ribu sehari. Tapi itu belum tentu setiap hari,” kata Ateng.

Bila tidak ada order, ia me­milih merawat kebun sawitnya yang berjarak 4 kilometer dari ru­mah­nya. “Kalau jalan kaki satu jam baru sampai,” katanya.

Biasanya ia berangkat ke ke­bun pukul 8 pagi dan pulang pu­kul 4 sore. “Kalau musim hujan saya memilih tinggal di rumah karena kondisi jalan yang gem­bur dan sulit dilalui,” katanya.

Setelah dua tahun tinggal di ka­wasan transmigrasi, ia mulai me­ngalami beberapa kesulitan. Ti­dak adanya transportasi buat war­ga transmigran, pasar dan fasilitas kesehatan.

“Saya kalau ke mana-mana harus jalan kaki berpuluh-puluh ki­lometer.“Soalnya saya tidak punya motor. Bila terpaksa se­kali, saya pinjam motor tetangga. Seperti untuk mengantar istri bila sedang sakit,” katanya.

Untuk membeli kebutuhan pokok ia harus pergi ke desa te­tangga sejauh 10 kilometer. Begi­tu juga bila ingin berobat. Ateng punya pengalaman saat me­ngan­tar istrinya yang sakit keras pergi ke puskesmas di desa tetangga.  

S­ampai di situ, dokter di pus­kesmas bisa mendeteksi penyakit istrinya. “Karena terpaksa, ak­hir­nya istri saya bawa pulang ke Jawa. Alhamdulillah saat ini su­dah berangsur-angsur pulih dan sampai sekarang masih tinggal di sana,” katanya.

Ia berharap Kemenakertrans bisa melengkapi lagi fasilitas un­tuk para transmigran. Seperti transportasi dan kesehatan untuk warga transmigran.

Dirjen Pembinaan Pengem­ba­ngan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi Kementerian Tena­ga Kerja dan Transmigrasi (Dir­jen P2MKT), Roosari Tyas War­dani mengatakan telah mem­per­siapkan segala kebutuhan para transmigran di Tinauka, Dong­ga­la, Sulawesi. Belum lama pih­ak­nya membangun di kawasan transmigrasi itu.

Di puskesmas, lanjutnya, juga disiapkan dokter yang standby melayani warga transmigran. Pus­kesmas itu juga dilengkapi dengan obat-obatan. “Jadi warga tidak perlu jauh-jauh bila ingin berobat dan tinggal datang ke puskesmas ini,” katanya.

Mengenai keluhan minimnya transportasi ke kawasan trans­mig­ran, kata Roosari, Keme­n­te­rian akan menjalin kerja sama de­ngan Dinas Pekerjaan Umum dan Pemerintah Kabupaten Donggala.

Menurut dia, yang paling pen­ting adalah partisipasi warga transmigran untuk bergotong ro­yong  membangun transporasi se­cara mandiri.

Roosari lalu membandingkan dengan kawasan transmigrasi di di Sulawesi, Maluku dan Maluku Utara. Di situ, kawasan trans­mig­rasi terletak di perbukitan. Sebab, pemerintah daerah jarang m­e­n­da­pat lahan untuk dijadikan ka­wa­san transmigrasi di tanah datar.

Berbeda dengan di Tinauka yang berada di lembah. Walaupun di kelilingi perbukitan, kawasan ini aman dari bencana. K­emen­te­rian sudah menggunakan kon­sep konservasi lahan dengan model cover crop, yang berfungsi untuk mencegah lahan longsor. Caranya dengan menanam bibit unggulan Mocuna SP.

“Setelah ditanam, setengah ta­hun kemudian bisa dilihat ha­sil­nya tanah semakin kuat dan tidak mudah longsor,” katanya.

Kemenakertrans Coba Pertanian Organik Di Kawasan Transmigrasi

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mencanangkan pembangunan kawasan transmigrasi yang men­dukung pengembangan pertanian organik dan ramah lingkungan.

Pilot project-nya di kawasan trans­migrasi Tinauka di Kabu­paten Donggala Provinsi. Su­la­wesi Tengah. Lahan-lahan di kawasan ini ditata dengan prin­sip lingkungan yang bersih, sehat dan alami.

“Kita sedang berusaha me­ne­rapkan konsep-konsep pertanian organik di kawasan-kawasan transmigrasi. Kita tawarkan pengambangan sistem bu­di­da­ya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa meng­gunakan bahan kimia sintetis,” kata Ketua Umum Partai Ke­bang­kitan Bangsa (PKB) ini

Pria yang akrab dipanggil cak Imin ini mengatakan ka­wa­san-kawasan transmigrasi di­arahkan menjadi lokasi-lokasi khusus seba­gai zona budidaya ta­naman organik, yang bebas dari bahan kimia,

“Nantinya kita meng­in­ten­sifkan budidaya pertanian or­ga­nik dan ramah lingkungan yang dilengkapi dengan pendirian in­dustri pembuatan pupuk organik. Kita sangat concern dengan ke­seimbangan antara ekosistem alam dan kehidupan m­a­syara­kat,” kata Muhaimin.

Muhaimin optimis hasil per­tanian organik dapat menin­g­kat­kan kesejahteraan para tra­n­s­mig­ran dan masyarakat sekitar. Sis­tem pertanian organik dirancang menghasilkan produk-produk pertanian, baik berupa pangan, hortikultura, perikanan, maupun peternakan

Pengembangan pertanian or­ga­nik diyakini dapat menye­la­matkan sumber-sumber daya alam, dan mencegah terjadinya pe­l­anggaran dan pengrusakan alam seperti ilegal logging, ilegal fishing dan sebagainya.

“Kita harapkan BUMN dan BUMS sebagai pemilik dana pro­gram CSR dapat memberikan kontribusinya bagi upaya pena­taan lingkungan transmigrasi yang lebih asri dan lestari, kata Muhaimin.

Program kawasan transmigrasi organik ini dilakukan dengan in­tensifikasi lahan dan pe­ngem­ba­ngan ternak, penyediaan pupuk se­cara mandiri (kompos atau or­ganik), pengembangan usaha mandiri dan  penguatan lembaga keuangan atau koperasi.

“Pemerintah berharap  dapat terlahir lebih banyak lagi wira­usa­hawan baru dari kawasan trans­mig­rasi. Kehadiran wira­usa­ha­wan dapat meningkatkan per­eko­nomian, menciptakan lapa­ngan kerja baru dan mempercepat pem­bangunan di kawasan trans­migrasi,” katanya.

“Sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan bahari yang tersedia dikawasan trans­migrasi harus dimanfaatkan oleh wirausahawan muda  dan gen­e­rasi muda yang pola pikirnya krea­tif untuk membuka lapangan kerja baru,” jelasnya.

Selama ini, Kemenakertrans telah menggelar pelatihan yang kewirausahaan disesuaikan dengan potensi sumber daya alam (SDA) yang tersedia di sekitar daerah transmigrasi.

Selain sebagai potensi ekono­mi, lanjut Muhaimin, kebera­da­an sek­tor perbankan pun di­ha­rap­kan da­pat membantu wi­ra­usa­ha di wila­yah transmigrasi dan dapat mem­berikan nilai tam­bah dan ke­mu­dian  berdampak mengalir­nya arus investasi ke dae­rah dan m­en­g­ge­rakkan eko­no­mi wilayah.

“Lumayan Sehari Bisa Dapat Rp 10 Ribu”

Sawit Belum Panen, Buka Warung

Agustina menjaga warung kelontongnya sambil mengasuh bayi. Sesekali dia melayani pem­beli yang datang. Perem­puan asal Bone, Sulawesi Sela­tan ini membuka toko di ka­wa­san transmigrasi Tinauka.

“Saya ingin bantu suami saja dengan membuka toko kecil-kecilan,” kata ibu lima anak ini.

Wanita berumur 35 tahun ini telah tinggal di kawasan trans­migrasi Tinauka sejak De­sem­ber 2011. “Saya kesini karena ikut suami menjadi trans­mig­ran,” katanya.

Saat ini, ia belum mengalami kesulitan untuk memenuhi ke­bu­tuhan hidup sehari-hari. Se­bab seluruh kebutuhan pokok se­­perti beras, minyak tanah, ikan asin masih disuplai Ke­manakertrans.

“Tiap bulan saya dapat beras 40 kilogram, minyak tanah dan minyak goreng sebanyak enam liter dan pakaian. Kalau uang saya tidak dapat dan harus men­cari sendiri,” katanya.

Selain itu, suaminya juga mendapat jatah lahan seluas 2 hektar yang saat ini telah ditanami kelapa sawit. “Namun dua tahun lagi baru bisa dipa­nen,” katanya.

Demi ingin mendapatkan uang tambahan, suaminya be­kerja serabutan sebagai juru tanam kelapa sawit yang digaji Rp 50 ribu setiap hari. Namun pekerjaan tersebut tidak setiap hari. “Suami lebih banyak ngang­gurnya. Kalau ngganggur biasa­nya, merawat tanaman sawit yang ada di ladang,” ujarnya.

Karena pekerjaan suaminya tidak menentu, ia berinisiatif membuka awrung kelontong untuk menambah penghasilan ke­luarga. “Lumayan tiap hari bisa dapat Rp 10 ribu,” katanya.

Wanita berkulit sawo ma­tang ini sedikit khawatir karena mu­lai januari 2013 ke­luar­ga­nya su­dah tidak mendapat jatah­ ke­bu­tu­han pokok dari Ke­me­nakertrans.

“Semoga suami saya dapat pekerjaan terus agar per­eko­no­mian keluarganya tidak ter­gang­gu. Soalnya kalau hanya menggantungkan dari jual ma­kanan kecil tidak mencukupi,” harap Agustina.

Cukup banyak kendala yang dihadapinya sebagai trans­mig­ran. Yang paling utama adalah transportasi. “Sangat sulit ke­luar dari desa ini karena tidak ada transportasi yang memadai. Dengan itu saya terpaksa men­cicil sepeda motor selama tiga tahun. Alhamdulillah sekarang bisa bepergian ke desa tetangga untuk belanja makanan,” kata Agustina sambil tersenyum.

Ia juga mengeluhkan penera­ngan di rumahnya yang minim. Sebab, genset yang jadi sumber listrik di desa itu tak kuat me­nerangi rumah semua warga. “Saya terpaksa membeli lampu pelita (lampu api) bila malam telah tiba,” katanya.

Ia berharap Kemenakertrans lebih memperhatikan lagi fa­silitas untuk transmigran. “Bila semua fasilitas lengkap, bisa di­pastikan warga transmigran be­tah,” katanya.

Jadup Mau Habis, Pindah Ke Lokasi Transmigrasi Lain

Temuan Disnakertrans Sulteng

Kepala Bidang Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan Trans­migrasi Sulawesi Tengah, Basir Tanase mengatakan, provinsi ini menjadi saat tempat favorit penempatan transmigran.  Se­bab, lahannya masih banyak. Ma­syarakatnya pun men­du­kung program ini.

“Karena itu, Sulteng masih men­jadi daerah yang cukup be­sar menempatkan trans­mig­ran setiap tahun dengan du­ku­ngan anggaran APBN Ke­men­te­rian Tenaga Kerja dan Trans­migrasi (Keme­na­ker­trans),” katanya.

Ia mengatakan,”pada 2012 Kemenakertrans menargetkan penempatan 920 kepala ke­luarga (KK) di sembilan lokasi di Sulteng. Ini yang terbesar di antara belasan provinsi lain pe­nerima transmigran.

Jumlah ini naik cukup tinggi dibanding penempatan trans­mig­ran 2011 yang berjumlah 760 KK dengan realisasi 685 KK.  “Hingga pertengahan De­sember 2012, realisasi pen­em­patan sudah mencapai 855 KK pada delapan lokasi,” katanya.

Bassir menjelaskan, saat ini masih banyak transmigrasi yang tidak bertanggung jawa dan hanya ingin mengambil ja­tah hidup (jadup) saja. Di tahun per­tama seluruh kebutuhan po­kok transmigrasi dijamin pemerintah.

Pada pertengahan 2012 dia menemukan ada dua KK trans­migran ulak-alik. Kedua KK itu dikenali sebagai transmigran UPT Lembatongoa program 2011 lalu. Tapi kemudian ke­m­bali mendaftar untuk men­em­pati lahan di Tinauka, Do­ng­gala. Biasanya, transmigran itu men­daftar lagi bukan meng­gu­nakan identitas daerah asalnya.

“Ternyata mereka trans­mig­ran yang tiba-tiba me­nin­g­gal­kan lokasi tanpa pamit pada saat jadup sudah mau habis. Ini bia­sa­nya orang-orang pintar tapi da­sarnya malas,” katanya.

Menurut Bassir, transmigran itu bergantung pada jaminan hidup yang diberikan peme­rin­tah. Tidak mau berusaha. Juga tak mau bersabar dengan apa yang diusahakannya.

Selain mendapat jaminan hi­dup selama setahun, trans­mig­ran juga diberi lahan dua hektar, rumah beserta isinya, dan ja­minan lainnya.

Bassir mengkhawatirkan transmigran seperti itu bakal jadi provokator. Ia bakal me­ngajak transmigran lainnya untuk protes dengan dalih tidak puas dengan lahan yang dise­dia­kan di lokasi transmigrasi. Untuk itu, Bassir akan mem­per­ketat pengawasan terhadap para transmigran model ini. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

WNI Kepoin Kampus Pemberi Gelar Raffi Ahmad di Thailand, Hasilnya Mengagetkan

Minggu, 29 September 2024 | 23:46

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

UPDATE

Kasus Korupsi PT Timah, Sandra Dewi Siap jadi Saksi Buat Suaminya di Depan Hakim

Rabu, 09 Oktober 2024 | 22:05

Banjir Rendam 37 Gampong dan Ratusan Hektare Sawah di Aceh Utara

Rabu, 09 Oktober 2024 | 22:00

Perkuat SDM, PDIP-STIPAN kembali Teken MoU Kerja Sama Bidang Pendidikan

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:46

Soal Kementerian Haji, Gus Jazil: PKB Banyak Speknya!

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:34

Pemerintah Harus Bangun Dialog Tripartit Bahas Kenaikan UMP 2025

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:24

PWI Sumut Apresiasi Polisi Tangkap Pembakar Rumah Wartawan di Labuhanbatu

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:15

Kubu Masinton Pasaribu Berharap PTTUN Medan Tolak Gugatan KEDAN

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:59

PKB Dapat Dua Kursi Menteri, Gus Jazil: Itu Haknya Pak Prabowo

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:54

MUI Minta Tokoh Masyarakat dan Ulama Turun Tangan Berantas Judol

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:43

Bertemu Presiden AIIB, Airlangga Minta Perluasan Dukungan Proyek Infrastruktur di Indonesia

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:22

Selengkapnya