Berita

ilustrasi, pernikahan

On The Spot

Datang Ke Tempat Calon Pengantin Itu Perlu Biaya

Ngobrol Kesibukan Penghulu & Kegiatan Di KUA
JUMAT, 28 DESEMBER 2012 | 09:23 WIB

Pasangan muda-mudi memarkirkan kendaraannya persis di depan pintu masuk Kantor Urusan Agama Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, kemarin. Tanpa membuang waktu, keduanya pun masuk ke dalam kantor yang beralamat di Jalan Sirsak, Nomor 97 Jagakarsa.

Keduanya menghampiri meja kayu yang terletak persis meng­hadap pintu masuk. Meja tersebut di­jaga seorang perempuan ber­ke­rudung. Ia bertugas sebagai pe­nerima tamu, sekaligus tempat pendaftaran.

Sekitar 10 menit dihabiskan pa­sangan muda-mudi itu be­r­bin­cang di meja pendaftaran. Se­lan­jutnya, keduanya diantar ke arah lorong yang berhadapan persis dengan meja pendaftaran.

Urus apa? “Kami mau tanya soal persyaratan pendaftaran per­ni­kahan.  Insya Allah, kami mau me­­ni­kah akhir Januari 2013,” te­rang wa­nita berkerudung yang eng­gan disebutkan namanya itu saat hen­dak meninggalkan kantor KUA.

Perempuan yang tinggal di dae­rah Srengseng Sawah, Jaga­karsa, Jakarta Selatan ini me­ngaku sempat bingung ba­nyak­nya persyaratan yang harus di­pe­nuhi. Pacarnya bukan warga Ja­ga­karsa. Untuk bisa melang­sung­kan pernikahan di wilayah KUA Jagakarsa, diharuskan m­e­lam­pir­kan sejumlah dokumen.

“Istilahnya, pacar saya ini akan numpang nikah di tempat saya. Syaratnya, selain data pribadi, ha­rus melampirkan juga pengantar nikah dari kelurahan tempat ting­galnya,” ujarnya.

Bagaimana dengan biaya? Berdasarkan hasil pembicaraan dengan petugas, uang yang harus harus dikeluarkan sekitar Rp 1 juta. Itu terdiri dari biaya pen­daftaran, keperluan penghulu dan lain-lain.

“Kalau nikah di kantor (KUA), katanya tidak segitu. Cukup uang pendaftaran dan lain-lain. Tapi karena nikahnya di rumah saya, itu disebut nikah di luar. Makanya ada biaya yang harus dibayar un­tuk penghulunya,” jelas wanita ber­kerudung dan berkacamata ini.

Perempuan yang bekerja se­ba­gai sales promotion girl (SPG) di salah satu mal di Depok ini me­rasa biaya untuk menikah itu cu­kup memberatkan. Sebab, selain keperluan di KUA, pihaknya juga mengeluarkan biaya untuk akad nikah maupun resepsi.

“Tapi ini acara penting. Kami juga meminta penghulunya da­tang ke rumah. Akad nikah dan re­sepsi dijadwalkan hari Ming­gu,” tegasnya.

Dia sudah bicara dengan se­jum­lah temannya. Dan biaya me­nikah memang di kisaran itu. “Saya sendiri tidak tahu berapa se­benarnya biaya di KUA untuk menikah tersebut,” katanya sam­bil bergegas meninggalkan KUA bersama pasangannya.

Rakyat Merdeka lantas masuk ke dalam kantor. Pamflet bersisi pro­sedur mengurus pernikahan diletakkan persis di sebelah pintu masuk kantor KUA. Di pamflet tersebut dijelaskan berbagai taha­pan dan persyaratan yang harus dipenuhi calon pengantin.

Pengumuman yang sama juga di­­tempel di dinding ruangan tamu dalam model dan ukuran yang ber­beda. Selain pamflet, di din­ding yang bercat putih itu juga di­can­tumkan struktur or­ganisasi KUA, dan tabel jumlah pernikahan.

Wanita berusia sekitar 40 ta­hunan yang menjaga pendaftaran mengatakan, pasangan yang hendak menikah harus mendaftar dulu. Bila persyaratan sudah ter­penuhi, calon pengantin tinggal membayar administrasi di tata usaha. Ruangannya persis di be­lakang meja yang ditungguinya.

Mengenai biaya, dia mem­per­silakan menemui Kepala KUA. Ruangan Kepala KUA dekat de­ngan ruang tamu itu. Lukman Ha­kim, kepala KUA Jagakarsa tiba di kantor setelah hampir dua jam berada di luar.

Lukman mengatakan, pasa­ngan yang hendak menikah tidak dipungut biaya jutaan rupiah. Ber­dasarkan Peraturan Pe­me­rin­tah Nomor 51 Tahun 2000 ten­tang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Ber­laku Pada Kementerian Agama, biaya pencatatan nikah dan rujuk di KUA hanya sebesar Rp 30 ribu. Bila pernikahan dilakukan di luar KUA dan di hari libur, ber­arti penghulu harus masuk kerja.

“Penghulu yang datang itu merelakan waktu liburnya,” jelasnya.

“Dan untuk pergi ke tempat ca­lon pengantin, tentu perlu biaya. Misal untuk transportasi dari rumahnya ke tempat nikah. Itu tidak diganti negara, tapi uang pribadi penghulu,” tambahnya.

Mengenai “ongkos” penghulu ini, Lukman menyerahkannya ke­pada calon pengantin dan ke­luar­ganya. Ia tidak mematok bayaran.

“Prinsipnya kita hanya mem­bantu saja. Kita tidak menetapkan harus bayar sekian-sekian pada calon pengantin. Yang penting suk­ses acara,” kata dia.

Lukman keberatan jika “ong­kos” penghulu ini disebut sebagai pu­ngutan liar atau pungli. “Pe­ngantin itu maunya penghulu da­tang ke rumah tepat waktu, pakai pakaian bagus misal dasi dan jas biar lebih berwibawa,” terangnya.

Bahkan, penghulu, yang tugas sebenarnya hanya mencatat pro­ses pernikahan, kerap dimintai tolong membantu acara di rumah pengantin. Ada yang minta jadi wali hakim, lalu diminta mem­berikan tausiyah dan ceramah sam­pai memimpin doa.

“Nah, sekarang kalau panggil us­tad pimpin doa saja dikasih am­plop, masak panggil peng­hulu ti­dak sih?” katanya sambil tertawa. Tentu itu maksudnya ber­canda.

Sehari Nikahkan 4 Pasangan Motor Penuh Nasi Kotak

Menjadi seorang penghulu yang telah menikahkan banyak orang, tentu memberikan banyak pengalaman. Ada suka, tapi tak sedikit tidak enaknya.

Kepala KUA Jagakarsa, Luk­man Hakim menceritakan penga­la­mannya selama 12 tahun men­jadi penghulu. Saking banyaknya, ia tidak hapal sudah berapa ba­nyak pasangan yang dinikahkannya.

“Ada orang kecil sampai  peja­bat. Ada masyarakat umum, ada juga dari kalangan selebritis. Ba­nyaklah pokoknya,” tutur Luk­man sambil tersenyum.

Meskipun orang yang akan dinikahkan berasal dari kalangan berbeda, pelayanan yang diberi­kan Lukman tetap sama. Bahkan soal berpakaian pun, kata dia, tetap tidak ada perbedaan saat dia akan menikahkan orang miskin atau pun kaya.

“Sebagai penghulu, tentu kita harus jaga penampilan. Biar lebih berwibawa, penghulu biasanya memilih untuk pakai jas plus dasi,” terangnya.

Bahkan sepatu dan kopiah hitam pun, Lukman juga harus pilih-pilih, tidak murah tapi tetap terjangkau. “Nggak nyambung lah, kalau pakai jas tapi kopiah dan sepatu kita su­dah butut,” beber pria yang ram­but­nya mulai beruban ini.

Lantas apa cerita enaknya? Kata dia, hal positif yang dipero­leh­nya jadi penghulu adalah per­sepsi masyarakat terhadap pro­fesinya. Semua masyarakat selalu menaruh hormat pada penghulu, saat nikah atau pun tidak.

“Kita ini kan yang menjadikan bujangan itu jadi bapak, perawan jadi ibu-ibu. Makanya, mereka yang butuhkan jasa kita, pasti akan menyambut dengan baik. Di masyarakat tempat ting­gal juga begitu sama,” terangnya.

Selain disambut baik, peng­hulu juga selalu mendapatkan oleh-oleh ketika hendak pulang. Ap­a­lagi, kalau nikahnya di ru­mah. Setidak, kalau dalam sehari ada 3-4 orang yang dinikahkan, ia bisa pulang dengan bawa 3-4 nasi kotak.

“Dulu karena ada 4 orang yang dinikahkan pada hari yang sama. Motor saya sampai tidak muat ba­wa nasi kotak dan buah-buahan,” tuturnya.

Irjen Kemenag: Pungli Nikah Rp 1,2 Triliun

Inspektur Jenderal (Irjen) Ke­menterian Agama M Jasin me­­nyebut praktik pungli di Kan­tor Urusan Agama (KUA) bisa men­capai Rp 1,2 triliun per tahun.

Angka itu didapat dengan asumsi jumlah pernikahan yang dicatatkan per tahun sebanyak 2,5 juta dan biaya yang dipatok KUA Rp 500 ribu per perni­ka­han. “Kalau dikalikan Rp 500 ribu, hasilnya ya mencapai Rp 1,2 triliun. Ini jumlah yang sa­­ngat besar,” kata Jasin.

Jasin menuturkan, praktek pungli yang terjadi di ling­ku­ngan KUA bukan hal baru. Ini sudah terjadi bertahun-tahun. Karena itu, menurut dia, sulit diberantas.

Bahkan, beber dia, tidak se­d­ikit KUA yang justru me­nar­get­kan para penghulunya untuk me­narik pungli dari calon pe­ngantin maupun keluarganya. “Jadi sudah dijatah, kamu se­kian, kamu segini. Jumlahnya tidak main-main, sampai ratu­san ribu, bahkan sampai ju­ta­an,” ujarnya.

Jasin mengatakan pungli ini terjadi karena belum ada aturan yang jelas yang soal penghulu yang mencatat pernikahan di luar KUA. Lalu juga faktor bu­daya. “Sudah menjadi hal biasa kalau memberikan ongkos bagi penghulu, meski jumlahnya tidak lazim,” kata Jasin.

Faktor lainnya, kata Jasin, me­nyangkut kondisi geografis Indonesia yang sangat beragam. Kondisi inilah yang membuat beban penghulu berbeda-beda tergantung daerah tugasnya.

“Misal, karena letaknya jauh ada penghulu yang terpaksa menggunakan perahu untuk menyeberang dari satu daerah ke daerah lain. Ada juga yang sampai harus naik turun gu­nung,” terangnya.

“Dan tidak ada ongkos bagi penghulu itu, karena tidak di­biayai negara. Makanya mereka akhirnya minta ongkos pada si pengantin,” ujarnya.

Jasin bertekad menghapus “ongkos” penghulu ini. Ia pun menyusun formulanya untuk diserahkan ke Menteri Agama. Nanti Menteri Agama yang me­neruskan ke presiden agar di­bua­tkan peraturan pemerintah (PP).

Ia menyarankan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB) dari KUA sebagian dia­lo­ka­si­kan untuk biaya penghulu. “De­ngan begitu diharapkan bisa menghindari terjadinya suap dan gratifikasi seperti praktik pungli yang ada sekarang ini,” kata Jasin.

“Mau Nggak Pengantin Nikahnya Di KUA Saja”

KUA Setuju ‘Ongkos’ Penghulu Diatur

Kepala KUA Pasar Minggu, Ja­karta Selatan Zainul Mutofa se­tuju jika “ongkos” penghulu ini diatur lebih jelas. Selama ini be­lum ada aturan mengenai peng­hulu yang melakukan pen­catatan pernikahan di luar KUA, dan bukan pada hari kerja.

“Yang disebut pungli itu kan terjadinya di luar KUA. K­a­ta­nya ada biaya yang ditanggung pengantin untuk dinikahkan di luar kantor KUA, misal di ru­mahnya atau gedung,” katanya saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, kemarin.

“Sekarang bagaimana mau diawasi bila itu terjadi di luar kantor dan juga pada hari libur. Aturan soal penghulu meni­kah­kan di luar kantor pada hari li­bur pun tidak jelas,” katanya.

Sementara sebagian besar pa­sangan pengantin ingin me­ni­kah di luar kantor KUA dan pada hari libur (Sabtu-Minggu). Padahal, itu juga merupakan hari libur bagi penghulu.

“Penghulu itu rumahnya ber­be­da-beda. Ada yang bera­da di do­misili kantor, tapi ba­nyak yang dari jauh. Lantas ka­lau di­kasih transport diang­gap pungli. Ini jadi serba salah juga,” ujarnya.

Menurut Zainul, penghulu berbeda dengan PNS yang di­nas di kantor Pemda. Penghulu hanya dapat gaji pokok ber­da­sar­kan golongan. Tidak ada tun­jangan lain-lain.

“Sekarang siapa yang mau kalau kerja di luar jam kantor ti­dak ada bayaran? Terus tem­pat­nya jauh yang perlu me­nge­luar­kan biaya?” ujarnya.

Kepala KUA Jagakarsa Luk­man Hakim juga sepakat bila ada aturan tegas tentang jadwal pernikahan dan biaya opera­sional penghulu. Menurut dia, sel­ama ini pemerintah menga­baikan nasib penghulu yang harus bekerja di luar kantor dan jam kerja.

“Kalau jelas aturannya dan ada biaya operasionalnya, saya sangat siap. Bahkan kalau nanti diatur agar menikah itu gratis, saya juga sangat mendukung. Yang penting keluarkan saja aturannya,” ujarnya.

Lukman mengusulkan bila “ongkos” penghulu ingin ditia­da­kan maka semua pencatatan dilakukan pada waktu kerja KUA. Pencatatan juga hanya dilakukan di KUA.

“Waktunya dibatasi. Lo­ka­sinya juga diba­tasi. Itu salah satu usulan saja, menjawab ke­luhan masyarakat,” usulnya.

Dengan begitu, sambungnya, “ongkos” penghulu yang kerap dikeluhkan masyarakat bisa di­hilangkan. “Sekarang saya ya­kin petu­gas nikah setuju. Tapi ma­­sya­rakat siap tidak? Semua ke­g­ia­tan pernikahan dilakukan di Kan­tor KUA saja,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

WNI Kepoin Kampus Pemberi Gelar Raffi Ahmad di Thailand, Hasilnya Mengagetkan

Minggu, 29 September 2024 | 23:46

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

UPDATE

Kasus Korupsi PT Timah, Sandra Dewi Siap jadi Saksi Buat Suaminya di Depan Hakim

Rabu, 09 Oktober 2024 | 22:05

Banjir Rendam 37 Gampong dan Ratusan Hektare Sawah di Aceh Utara

Rabu, 09 Oktober 2024 | 22:00

Perkuat SDM, PDIP-STIPAN kembali Teken MoU Kerja Sama Bidang Pendidikan

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:46

Soal Kementerian Haji, Gus Jazil: PKB Banyak Speknya!

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:34

Pemerintah Harus Bangun Dialog Tripartit Bahas Kenaikan UMP 2025

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:24

PWI Sumut Apresiasi Polisi Tangkap Pembakar Rumah Wartawan di Labuhanbatu

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:15

Kubu Masinton Pasaribu Berharap PTTUN Medan Tolak Gugatan KEDAN

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:59

PKB Dapat Dua Kursi Menteri, Gus Jazil: Itu Haknya Pak Prabowo

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:54

MUI Minta Tokoh Masyarakat dan Ulama Turun Tangan Berantas Judol

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:43

Bertemu Presiden AIIB, Airlangga Minta Perluasan Dukungan Proyek Infrastruktur di Indonesia

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:22

Selengkapnya