Keduanya menghampiri meja kayu yang terletak persis mengÂhadap pintu masuk. Meja tersebut diÂjaga seorang perempuan berÂkeÂrudung. Ia bertugas sebagai peÂnerima tamu, sekaligus tempat pendaftaran.
Sekitar 10 menit dihabiskan paÂsangan muda-mudi itu beÂrÂbinÂcang di meja pendaftaran. SeÂlanÂjutnya, keduanya diantar ke arah lorong yang berhadapan persis dengan meja pendaftaran.
Urus apa? “Kami mau tanya soal persyaratan pendaftaran perÂniÂkahan. Insya Allah, kami mau meÂÂniÂkah akhir Januari 2013,†teÂrang waÂnita berkerudung yang engÂgan disebutkan namanya itu saat henÂdak meninggalkan kantor KUA.
Perempuan yang tinggal di daeÂrah Srengseng Sawah, JagaÂkarsa, Jakarta Selatan ini meÂngaku sempat bingung baÂnyakÂnya persyaratan yang harus diÂpeÂnuhi. Pacarnya bukan warga JaÂgaÂkarsa. Untuk bisa melangÂsungÂkan pernikahan di wilayah KUA Jagakarsa, diharuskan mÂeÂlamÂpirÂkan sejumlah dokumen.
“Istilahnya, pacar saya ini akan numpang nikah di tempat saya. Syaratnya, selain data pribadi, haÂrus melampirkan juga pengantar nikah dari kelurahan tempat tingÂgalnya,†ujarnya.
Bagaimana dengan biaya? Berdasarkan hasil pembicaraan dengan petugas, uang yang harus harus dikeluarkan sekitar Rp 1 juta. Itu terdiri dari biaya penÂdaftaran, keperluan penghulu dan lain-lain.
“Kalau nikah di kantor (KUA), katanya tidak segitu. Cukup uang pendaftaran dan lain-lain. Tapi karena nikahnya di rumah saya, itu disebut nikah di luar. Makanya ada biaya yang harus dibayar unÂtuk penghulunya,†jelas wanita berÂkerudung dan berkacamata ini.
Perempuan yang bekerja seÂbaÂgai sales promotion girl (SPG) di salah satu mal di Depok ini meÂrasa biaya untuk menikah itu cuÂkup memberatkan. Sebab, selain keperluan di KUA, pihaknya juga mengeluarkan biaya untuk akad nikah maupun resepsi.
“Tapi ini acara penting. Kami juga meminta penghulunya daÂtang ke rumah. Akad nikah dan reÂsepsi dijadwalkan hari MingÂgu,†tegasnya.
Dia sudah bicara dengan seÂjumÂlah temannya. Dan biaya meÂnikah memang di kisaran itu. “Saya sendiri tidak tahu berapa seÂbenarnya biaya di KUA untuk menikah tersebut,†katanya samÂbil bergegas meninggalkan KUA bersama pasangannya.
Rakyat Merdeka lantas masuk ke dalam kantor. Pamflet bersisi proÂsedur mengurus pernikahan diletakkan persis di sebelah pintu masuk kantor KUA. Di pamflet tersebut dijelaskan berbagai tahaÂpan dan persyaratan yang harus dipenuhi calon pengantin.
Pengumuman yang sama juga diÂÂtempel di dinding ruangan tamu dalam model dan ukuran yang berÂbeda. Selain pamflet, di dinÂding yang bercat putih itu juga diÂcanÂtumkan struktur orÂganisasi KUA, dan tabel jumlah pernikahan.
Wanita berusia sekitar 40 taÂhunan yang menjaga pendaftaran mengatakan, pasangan yang hendak menikah harus mendaftar dulu. Bila persyaratan sudah terÂpenuhi, calon pengantin tinggal membayar administrasi di tata usaha. Ruangannya persis di beÂlakang meja yang ditungguinya.
Mengenai biaya, dia memÂperÂsilakan menemui Kepala KUA. Ruangan Kepala KUA dekat deÂngan ruang tamu itu. Lukman HaÂkim, kepala KUA Jagakarsa tiba di kantor setelah hampir dua jam berada di luar.
Lukman mengatakan, pasaÂngan yang hendak menikah tidak dipungut biaya jutaan rupiah. BerÂdasarkan Peraturan PeÂmeÂrinÂtah Nomor 51 Tahun 2000 tenÂtang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang BerÂlaku Pada Kementerian Agama, biaya pencatatan nikah dan rujuk di KUA hanya sebesar Rp 30 ribu. Bila pernikahan dilakukan di luar KUA dan di hari libur, berÂarti penghulu harus masuk kerja.
“Penghulu yang datang itu merelakan waktu liburnya,†jelasnya.
“Dan untuk pergi ke tempat caÂlon pengantin, tentu perlu biaya. Misal untuk transportasi dari rumahnya ke tempat nikah. Itu tidak diganti negara, tapi uang pribadi penghulu,†tambahnya.
Mengenai “ongkos†penghulu ini, Lukman menyerahkannya keÂpada calon pengantin dan keÂluarÂganya. Ia tidak mematok bayaran.
“Prinsipnya kita hanya memÂbantu saja. Kita tidak menetapkan harus bayar sekian-sekian pada calon pengantin. Yang penting sukÂses acara,†kata dia.
Lukman keberatan jika “ongÂkos†penghulu ini disebut sebagai puÂngutan liar atau pungli. “PeÂngantin itu maunya penghulu daÂtang ke rumah tepat waktu, pakai pakaian bagus misal dasi dan jas biar lebih berwibawa,†terangnya.
Bahkan, penghulu, yang tugas sebenarnya hanya mencatat proÂses pernikahan, kerap dimintai tolong membantu acara di rumah pengantin. Ada yang minta jadi wali hakim, lalu diminta memÂberikan tausiyah dan ceramah samÂpai memimpin doa.
“Nah, sekarang kalau panggil usÂtad pimpin doa saja dikasih amÂplop, masak panggil pengÂhulu tiÂdak sih?†katanya sambil tertawa. Tentu itu maksudnya berÂcanda.
Sehari Nikahkan 4 Pasangan Motor Penuh Nasi Kotak
Menjadi seorang penghulu yang telah menikahkan banyak orang, tentu memberikan banyak pengalaman. Ada suka, tapi tak sedikit tidak enaknya.
Kepala KUA Jagakarsa, LukÂman Hakim menceritakan pengaÂlaÂmannya selama 12 tahun menÂjadi penghulu. Saking banyaknya, ia tidak hapal sudah berapa baÂnyak pasangan yang dinikahkannya.
“Ada orang kecil sampai pejaÂbat. Ada masyarakat umum, ada juga dari kalangan selebritis. BaÂnyaklah pokoknya,†tutur LukÂman sambil tersenyum.
Meskipun orang yang akan dinikahkan berasal dari kalangan berbeda, pelayanan yang diberiÂkan Lukman tetap sama. Bahkan soal berpakaian pun, kata dia, tetap tidak ada perbedaan saat dia akan menikahkan orang miskin atau pun kaya.
“Sebagai penghulu, tentu kita harus jaga penampilan. Biar lebih berwibawa, penghulu biasanya memilih untuk pakai jas plus dasi,†terangnya.
Bahkan sepatu dan kopiah hitam pun, Lukman juga harus pilih-pilih, tidak murah tapi tetap terjangkau. “Nggak nyambung lah, kalau pakai jas tapi kopiah dan sepatu kita suÂdah butut,†beber pria yang ramÂbutÂnya mulai beruban ini.
Lantas apa cerita enaknya? Kata dia, hal positif yang diperoÂlehÂnya jadi penghulu adalah perÂsepsi masyarakat terhadap proÂfesinya. Semua masyarakat selalu menaruh hormat pada penghulu, saat nikah atau pun tidak.
“Kita ini kan yang menjadikan bujangan itu jadi bapak, perawan jadi ibu-ibu. Makanya, mereka yang butuhkan jasa kita, pasti akan menyambut dengan baik. Di masyarakat tempat tingÂgal juga begitu sama,†terangnya.
Selain disambut baik, pengÂhulu juga selalu mendapatkan oleh-oleh ketika hendak pulang. ApÂaÂlagi, kalau nikahnya di ruÂmah. Setidak, kalau dalam sehari ada 3-4 orang yang dinikahkan, ia bisa pulang dengan bawa 3-4 nasi kotak.
“Dulu karena ada 4 orang yang dinikahkan pada hari yang sama. Motor saya sampai tidak muat baÂwa nasi kotak dan buah-buahan,†tuturnya.
Irjen Kemenag: Pungli Nikah Rp 1,2 Triliun
Inspektur Jenderal (Irjen) KeÂmenterian Agama M Jasin meÂÂnyebut praktik pungli di KanÂtor Urusan Agama (KUA) bisa menÂcapai Rp 1,2 triliun per tahun.
Angka itu didapat dengan asumsi jumlah pernikahan yang dicatatkan per tahun sebanyak 2,5 juta dan biaya yang dipatok KUA Rp 500 ribu per perniÂkaÂhan. “Kalau dikalikan Rp 500 ribu, hasilnya ya mencapai Rp 1,2 triliun. Ini jumlah yang saÂÂngat besar,†kata Jasin.
Jasin menuturkan, praktek pungli yang terjadi di lingÂkuÂngan KUA bukan hal baru. Ini sudah terjadi bertahun-tahun. Karena itu, menurut dia, sulit diberantas.
Bahkan, beber dia, tidak seÂdÂikit KUA yang justru meÂnarÂgetÂkan para penghulunya untuk meÂnarik pungli dari calon peÂngantin maupun keluarganya. “Jadi sudah dijatah, kamu seÂkian, kamu segini. Jumlahnya tidak main-main, sampai ratuÂsan ribu, bahkan sampai juÂtaÂan,†ujarnya.
Jasin mengatakan pungli ini terjadi karena belum ada aturan yang jelas yang soal penghulu yang mencatat pernikahan di luar KUA. Lalu juga faktor buÂdaya. “Sudah menjadi hal biasa kalau memberikan ongkos bagi penghulu, meski jumlahnya tidak lazim,†kata Jasin.
Faktor lainnya, kata Jasin, meÂnyangkut kondisi geografis Indonesia yang sangat beragam. Kondisi inilah yang membuat beban penghulu berbeda-beda tergantung daerah tugasnya.
“Misal, karena letaknya jauh ada penghulu yang terpaksa menggunakan perahu untuk menyeberang dari satu daerah ke daerah lain. Ada juga yang sampai harus naik turun guÂnung,†terangnya.
“Dan tidak ada ongkos bagi penghulu itu, karena tidak diÂbiayai negara. Makanya mereka akhirnya minta ongkos pada si pengantin,†ujarnya.
Jasin bertekad menghapus “ongkos†penghulu ini. Ia pun menyusun formulanya untuk diserahkan ke Menteri Agama. Nanti Menteri Agama yang meÂneruskan ke presiden agar diÂbuaÂtkan peraturan pemerintah (PP).
Ia menyarankan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB) dari KUA sebagian diaÂloÂkaÂsiÂkan untuk biaya penghulu. “DeÂngan begitu diharapkan bisa menghindari terjadinya suap dan gratifikasi seperti praktik pungli yang ada sekarang ini,†kata Jasin.
“Mau Nggak Pengantin Nikahnya Di KUA Sajaâ€
KUA Setuju ‘Ongkos’ Penghulu Diatur
Kepala KUA Pasar Minggu, JaÂkarta Selatan Zainul Mutofa seÂtuju jika “ongkos†penghulu ini diatur lebih jelas. Selama ini beÂlum ada aturan mengenai pengÂhulu yang melakukan penÂcatatan pernikahan di luar KUA, dan bukan pada hari kerja.
“Yang disebut pungli itu kan terjadinya di luar KUA. KÂaÂtaÂnya ada biaya yang ditanggung pengantin untuk dinikahkan di luar kantor KUA, misal di ruÂmahnya atau gedung,†katanya saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, kemarin.
“Sekarang bagaimana mau diawasi bila itu terjadi di luar kantor dan juga pada hari libur. Aturan soal penghulu meniÂkahÂkan di luar kantor pada hari liÂbur pun tidak jelas,†katanya.
Sementara sebagian besar paÂsangan pengantin ingin meÂniÂkah di luar kantor KUA dan pada hari libur (Sabtu-Minggu). Padahal, itu juga merupakan hari libur bagi penghulu.
“Penghulu itu rumahnya berÂbeÂda-beda. Ada yang beraÂda di doÂmisili kantor, tapi baÂnyak yang dari jauh. Lantas kaÂlau diÂkasih transport diangÂgap pungli. Ini jadi serba salah juga,†ujarnya.
Menurut Zainul, penghulu berbeda dengan PNS yang diÂnas di kantor Pemda. Penghulu hanya dapat gaji pokok berÂdaÂsarÂkan golongan. Tidak ada tunÂjangan lain-lain.
“Sekarang siapa yang mau kalau kerja di luar jam kantor tiÂdak ada bayaran? Terus temÂpatÂnya jauh yang perlu meÂngeÂluarÂkan biaya?†ujarnya.
Kepala KUA Jagakarsa LukÂman Hakim juga sepakat bila ada aturan tegas tentang jadwal pernikahan dan biaya operaÂsional penghulu. Menurut dia, selÂama ini pemerintah mengaÂbaikan nasib penghulu yang harus bekerja di luar kantor dan jam kerja.
“Kalau jelas aturannya dan ada biaya operasionalnya, saya sangat siap. Bahkan kalau nanti diatur agar menikah itu gratis, saya juga sangat mendukung. Yang penting keluarkan saja aturannya,†ujarnya.
Lukman mengusulkan bila “ongkos†penghulu ingin ditiaÂdaÂkan maka semua pencatatan dilakukan pada waktu kerja KUA. Pencatatan juga hanya dilakukan di KUA.
“Waktunya dibatasi. LoÂkaÂsinya juga dibaÂtasi. Itu salah satu usulan saja, menjawab keÂluhan masyarakat,†usulnya.
Dengan begitu, sambungnya, “ongkos†penghulu yang kerap dikeluhkan masyarakat bisa diÂhilangkan. “Sekarang saya yaÂkin petuÂgas nikah setuju. Tapi maÂÂsyaÂrakat siap tidak? Semua keÂgÂiaÂtan pernikahan dilakukan di KanÂtor KUA saja,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03
Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21
Senin, 30 September 2024 | 05:26
Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45
Minggu, 29 September 2024 | 23:46
Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46
Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01
UPDATE
Rabu, 09 Oktober 2024 | 22:05
Rabu, 09 Oktober 2024 | 22:00
Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:46
Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:34
Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:24
Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:15
Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:59
Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:54
Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:43
Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:22