Berita

Meirika Franola

On The Spot

Tinggal Setahun Di Cipete Sebelum Digerebek Polisi

Menyusuri Jejak Sang “Jenderal” Ola
SENIN, 19 NOVEMBER 2012 | 09:50 WIB

Angka 74 warna hitam tertulis jelas di pagar rumah setinggi 1,5 meter yang dicat putih. Nomor ini menjadi petunjuk alamat rumah yang terletak di Jalan Pangeran Antasari, Cipete, Jakarta Selatan itu.

Dari pinggir jalan raya, untuk sampai ke dalam rumah ini harus melalui gang seukuran dua meter. Jarak antara rumah dengan mulut gang sekitar 100 meter setelah melalui jalan aspal yang sedikit menanjak.

Masih ada jarak sekitar 10 me­ter lagi dari jalan gang bila ingin mencapai rumah ini. Namun ka­rena letak rumah yang meng­ha­dap ke arah jalan gang dan juga ada nomor di pagarnya, rumah ini mudah dikenali.

Apalagi hanya rumah ini yang bangunannya mirip dengan tem­pat tinggal, bila dibanding de­ngan bangunan lainnya di sini. Di sepanjang jalan dari mulut gang, hampir semua bangunan di sini adalah rumah petak.

Saat Rakyat Merdeka datang ke sini Jumat lalu (15/11), rumah ini tampak tertutup. Lingkungan se­kitar yang umumnya tempat kon­trakan dan kos-kosan juga cen­derung sepi.

Sepeda motor jenis matic di ba­lik pintu pagar besi yang ting­gi­nya sama dengan dinding pagar di sebelahnya. Tak jauh dari m­o­tor, terlihat mobil kijang warna me­rah terpakir pada bangunan me­nyerupai car port yang berada persis di sebelah rumah. Ba­ngu­nan parkir itu masih menyatu de­ngan dinding rumah.  

Seorang wanita muda keluar dari pintu rumah yang sebelum­nya tertutup sambil meng­gen­dong balita terlihat. Wanita itu ke­mudian berjalan ke arah kiri me­nuju pintu pagar besi yang me­mi­liki tinggi sama dengan din­ding tembok di sebelahnya.

Didorongnya pintu pagar itu ke arah samping hingga mem­be­ri­kan celah selebar setengah meter un­tuk­nya lewat. Sambil berlari-lari ke­cil, wanita berkulit sawo ma­tang ini menuju warung yang jarak­nya hanya 5 meter di depan rumah.

Tidak sampai lima menit wa­nita itu berbelanja di warung ter­sebut. Sambil menenteng ka­n­tong kresek warna hitam berisi be­lanjaan, wanita itu pun masuk ke dalam rumah. Pintu pagar dan pin­tu rumah di bagian depan, kembali ditutupnya.

Ini rumah siapa? Saat ingin di­konfirmasi, wanita muda tadi eng­gan berkomentar. Ia mengaku rumah ini milik orang tuanya yang tinggal bersamanya di da­lam. Ia tidak tahu sejarah dari rumah ini.

Beberapa tetangga rumah yang di­temui Rakyat Merdeka juga ti­dak mau berkomentar mengenai si­apa pemilik rumah tersebut dan siapa yang tinggal pernah tinggal di situ.

Seorang tukang ojek yang mangkal tidak jauh dari mulut gang mengungkapkan rumah itu dulu pernah ditempati bandar narkoba.

“Kejadiannya sudah lama be­nar, Mas. Itu rumah kontrakan yang ditinggali warga asing dari Afrika. Sekitar setahun mereka tinggal di situ, ada peng­ge­re­be­kan yang dilakukan polis­i,” jelas peng­huni Lembaga Pemas­ya­ra­katan Wanita Tangerang itu tak akan berujung di depan regu tem­bak. Vonis mati untuknya yang di­ketuk hakim pada Agustus 2000 dicabut. Diganti dengan hukuman penjara seumur hidup. Pemberian grasi ini pun memicu polemik setelah Ola diketahui masih bergelut dalam peredaran narkoba dari dalam penjara.

Penangkapan dan penyergapan Ola dan suaminya 12 tahun silam itu bak kisah di film Hollywood. Pada 12 Januari 2000, tim yang dipimpin Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya Alex Bambang Riatmodjo bergegas ke Bandara Soekarno-Hatta, Kota Tangerang, Banten. Polisi ber­pacu dengan waktu. Telat sedikit saja, dua orang yang jadi buruan mereka sudah terbang ke luar negeri. Sambil berlari-lari, polisi berpakaian preman merangsek ke Terminal Keberangkatan Luar Negeri. Di area ini polisi me­nangkap Rani Andriani yang te­ngah check in.

Target berikutnya Deni Setia Maharwa. Dia ternyata sudah masuk ke kabin pesawat Cathay Pacific. Pesawat itu akan terbang ke London, Inggris. Polisi pun naik ke pesawat yang hendak take off itu. Deni akhirnya ditemukan di antara deretan penumpang.

Deni lalu dibawa turun pesawat berikut barang bawaannya. Ia menyembunyikan 1,6 kilogram heroin dan 15 kilogram kokain dalam paket pakaian anak-anak. Harga barang haram itu mencapai Rp 13 miliar.

Rani dan Deni adalah sepupu Ola. Mereka direkrut Ola untuk jadi kurir narkoba lintas negara. Ola sendiri yang mengantar ke­duanya ke Bandara Soekarno-Hatta. Mendapat informasi ini, po­lisi lalu memburu perempuan asal Cianjur itu. Ola ditangkap saat sedang makan di Mc­Do­nald’s, masih di kawasan ban­dara. Ketiganya ditangkap tanpa perlawanan.

Esoknya Alex Bambang Riat­modjo kembali memimpin ope­rasi penangkapan. Puluhan polisi berpakaian preman mendekati rumah yang beralamat di Jalan Pangeran Antasari 74, Cipete, Ja­karta Selatan. Targetnya Mouza, sua­mi Ola yang berada di rumah itu.

Pengacara Henry Yoso­di­ning­rat ikut dalam operasi ini atas izin Kapolda Metro Jaya. Ketua Umum Gerakan Anti Narkotika (Granat) itu menceritakan kem­bali peristiwa 12 tahun silam ini. “Kejadiannya sekitar pukul 8 ma­lam. Penggerebekan itu me­ru­pakan hasil pengembangan kasus setelah satu hari sebelumnya Pol­da Metro menangkap Meirika Franola. Di rumah tersebut te­r­da­pat suaminya bernama Mouza dan narkoba disembunyikan,” kata Henry kepada Rakyat Merdeka.

“Saat itu, Ola yang sudah men­jadi tahanan pihak kepolisian juga ikut dibawa ke lokasi. Tapi dia berada di dalam mobil, tidak ikut bersama kami,” tutur Henry.

Kali ini polisi mendapat perla­wanan. Aksi pengepungan polisi dibalas tembakan dari dalam ru­mah. Baku tembak pun terjadi. “Karena melawan, akhirnya petu­gas pun menembakkan pistolnya. Kelimanya tewas, termasuk sua­mi Ola sendiri yang tewas dit­em­bak mati, persis dihadapan saya,” jelas Henry.

Pertemuan Tidak Sengaja Di Kampung Bali

Siapa sebenarnya Meirika Flanola alias Ola, narapidana yang sempat divonis hukuman mati Pengadilan Negeri Tange­rang tapi kemudian mendapat grasi hukuman seumur hidup?

Wanita berkulit putih kelahi­ran 23 November 1970 ini ini bukanlah warga asli Jakarta. Dia berasal dari Cianjur, Jawa Barat yang merantau ke ibu kota un­tuk bekerja. Pertama kali dia be­kerja sebagai disc jockey di se­buah tempat hiburan malam.

Pada tahun 1997, Ibu dari Eka Prawira ini bertemu dengan Ta­ju­­din alias Tony alias Mouza Su­lai­man Domala, warga nega­ra Pan­tai Gading, Afrika.  Me­re­ka ber­temu di apartemen Ola di bila­ngan Kampung Bali, Ja­karta Pusat.

Saat itu, Mouza mau mencari temannya yang berpacaran de­ngan tetangga Ola. Tapi yang di­cari tiada. Ola pun menawari Mouza menunggu di kamarnya. Sejak pertemuan itu, hubungan Ola dan Mouza kian lengket.

Sebulan kemudian, mereka berpacaran dan tinggal bersama di sebuah rumah kontrakan di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Beberapa bulan pacaran, Ola hamil. Pasangan itu pun ak­hirnya menikah di rumah orang tua Ola di Cianjur.

Kepada Ola, Mouza mengaku sebagai pedagang pakaian jadi. Ia membeli pakaian di pasar Tanah Abang untuk dijual lagi ke Afrika. Ternyata ini hanya ke­­dok belaka. Ia ternyata sin­di­kat narkoba internasional.

Ola akhirnya terlibat bisnis narkoba bersama suaminya. Awalnya hanya kurir. Belak­a­ngan juga mengatur lalu lintas heroin dan kokain. Dengan meng­gunakan nama samaran, Ola sempat ke Eropa dan Ame­rika Selatan untuk mencari jalur aman pengiriman narkoba.

Sebagai pengatur lalu lintas, Ola tak perlu lagi melanglang buana. Tugas itu diserahkan ke ku­rir. Ia dapat 200 dolar AS se­kali mengirim kurir ke luar ne­geri. Uang ini dari potongan upah kurir yang mencapai 3 ribu dolar AS sekali jalan. Ola ke­mu­dian merekrut dua sepupunya, Rani Andriani dan Deni Setia Maharwan untuk jadi kurir.

Polisi menangkap ketiganya 12 Januari 2000 di Bandara Soekar­no-Hatta, Tangerang Ban­ten. Dari mulut Ola, polisi mendapatkan keterangan posisi suaminya.

Terjadi baku tembak antara polisi dan suami Ola beserta teman-temannya. Mouza, suami Ola bersama empat temannya tewas dalam baku tembak di rumah kontrakannya di Jalan Pangeran Antasari Nomor 74, Cipete, Jakarta Selatan.

Sementara Ola yang ditang­kap hidup, divonis hukuman mati oleh pengadilan. Beberapa kali mengajukan grasi, tapi ditolak. Keputusan menge­jut­kan dibuat Presiden SBY. Ia me­ngeluarkan Keppres Nomor 35 Tahun 2011 yang memberikan pe­ngampunan kepada Ola. Pe­rempuan berusia 42 tahun itu lo­los dari hukuman mati. Hu­ku­man Ola diganti jadi penjara se­umur hidup.  [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

WNI Kepoin Kampus Pemberi Gelar Raffi Ahmad di Thailand, Hasilnya Mengagetkan

Minggu, 29 September 2024 | 23:46

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

UPDATE

Kasus Korupsi PT Timah, Sandra Dewi Siap jadi Saksi Buat Suaminya di Depan Hakim

Rabu, 09 Oktober 2024 | 22:05

Banjir Rendam 37 Gampong dan Ratusan Hektare Sawah di Aceh Utara

Rabu, 09 Oktober 2024 | 22:00

Perkuat SDM, PDIP-STIPAN kembali Teken MoU Kerja Sama Bidang Pendidikan

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:46

Soal Kementerian Haji, Gus Jazil: PKB Banyak Speknya!

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:34

Pemerintah Harus Bangun Dialog Tripartit Bahas Kenaikan UMP 2025

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:24

PWI Sumut Apresiasi Polisi Tangkap Pembakar Rumah Wartawan di Labuhanbatu

Rabu, 09 Oktober 2024 | 21:15

Kubu Masinton Pasaribu Berharap PTTUN Medan Tolak Gugatan KEDAN

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:59

PKB Dapat Dua Kursi Menteri, Gus Jazil: Itu Haknya Pak Prabowo

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:54

MUI Minta Tokoh Masyarakat dan Ulama Turun Tangan Berantas Judol

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:43

Bertemu Presiden AIIB, Airlangga Minta Perluasan Dukungan Proyek Infrastruktur di Indonesia

Rabu, 09 Oktober 2024 | 20:22

Selengkapnya