Rustam Syarifuddin Pakaya
Rustam Syarifuddin Pakaya
Berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), RusÂtam secara sendiri-sendiri mauÂpun bersama-sama Direktur UtaÂma PT Graha Ismaya Masrizal Achmad Syarief, sekitar Maret 2007 sampai Desember 2008 di Kantor Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan, JaÂlan Rasuna Said, Kuningan JaÂkarta Selatan, melakukan peÂngatuÂran proses pengadaan alat keseÂhatan 1 untuk kebutuhan Pusat Penanggulangan Krisis dari dana Daftar Isian Pelaksanaan AnggaÂran (DIPA) Revisi APBN 2007.
Cara pengaturan itu, yakni meÂngarahkan penyusunan speÂsiÂfiÂkasi teknis untuk pengadaan alkes 1 pada merek tertentu, meÂnyeÂtuÂjui pengadaan tanpa peÂnguÂmuÂman di media cetak nasional, meÂngesahkan harga perkiraan sendiri (HPS) yang disusun tidak berdasarkan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak mengendalikan pelaksanaan kontrak sebagaimana mestinya.
“Yakni, menandatangani BeÂrita Acara Penerimaan Barang yang menyatakan telah diterima secara lengkap, padahal keÂnyaÂtaÂaÂnnya belum lengkap,†kata JPU Agus SaÂlim di Pengadilan TiÂpikor Jakarta.
Pengaturan itu, menurut JPU Komisi Pemberantasan Korupsi, bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Akibat pengaturan itu, Rustam didakwa melakukan perbuatan memperkaya diri senÂdiri, orang lain atau suatu korÂpoÂrasi. Sehingga, merugikan keuaÂngan negara sekitar Rp 22 miliar.
Pada September 2007, Rustam melakukan pertemuan dengan Masrizal di ruang kerjanya, KanÂtor Pusat Penanggulangan Krisis Depkes. Dalam pertemuan itu, Masrizal mempromosikan proÂduk yang dimiliki PT Graha IsÂmaya. Masrizal mengatakan,
“Saya punya banyak barang. KaÂlau ada pengadaan alat keseÂhatan, mohon dipertimbangkan.†Masrizal pun menyorongkan profil perusahaan dan brosur alat kesehatan kepada Rustam. “Nanti kita pelajari dulu,†jawab Rustam dalam dakwaan.
Pertemuan Rustam dengan Masrizal merupakan kelanjutan dari kedatangan staf marketing PT Graha Ismaya Nugroho Budi RaÂharjo sekitar April 2007 yang memÂberikan company profile, katalog alat kesehatan, setingan alat untuk kamar operasi dan inÂtensive care unit (ICU), daftar harÂga alat keseÂhatan, serta lamÂpiran spesiÂfiÂkaÂsinya kepada RusÂtam yang diÂtiÂtipÂkan melalui seÂkÂretaris Rustam.
Menindaklanjuti pertemuan deÂngan Masrizal, Rustam meÂmangÂgil Ketua Tim Teknis Yus Rizal ke ruang kerjanya. Rustam kemudian memerintahkan Yus Rizal untuk menyusun spesifikasi alat kesehatan sambil memÂbeÂriÂkan dokumen yang diterimanya dari Dirut PT Graha Ismaya.
“Tolong dipelajari dan diikuti, jangan sampai keluar dari doÂkuÂmen ini untuk menyusun spesiÂfikasi pengadaan alat kesehatan. Agar diatur, jangan sampai meÂngunci spesifikasinya,†kata RusÂtam kepada Yus dalam dakwaan.
Atas arahan Rustam, selanÂjutÂnya Yus Rizal menyusun spesiÂfiÂkasi teknis dan jumlah unit keÂbuÂtuhan alat kesehatan yang akan diadakan tanpa menggunakan sumber data lainnya, dan hanya berÂdasarkan spesifikasi alkes seÂbagaimana dokumen yang diÂbeÂriÂkan terdakwa.
Selanjutnya, Rustam meÂnanÂdaÂtangani spesifikasi teknis alkes itu pada 27 September 2007. Spesifikasi itu telah mengarah pada merk atau produk yang diÂdiÂstribusikan PT Graha Ismaya. Padahal seharusnya, spesifikasi teknis tidak boleh menunjuk meÂrek atau produk tertentu. Soalnya, itu bertentangan dengan Kepres Nomor 80 tahun 2003 tentang PeÂdoman Pelaksanaan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah.
Itulah antara lain dakwaan JPU KPK kepada Rustam dalam siÂdang di Pengadilan Tipikor JakarÂta pada Kamis, 9 Agustus.
REKA ULANG
Siti Kesenggol Bekas Anak Buahnya
Bekas Kepala Pusat PenangÂguÂlangan Krisis Departemen KeseÂhatan Rustam Syarifuddin PakaÂya, menjalani sidang perdana di PeÂngadilan Tindak Pidana KoÂrupÂsi Jakarta pada Kamis, 9 Agustus.
Rustam didakwa memperkaya diri sendiri, suatu perusahaan dan orang lain, sehingga menimÂbulkan kerugian negara sekitar Rp 22 miÂliar dalam pengadaan alat keseÂhatan untuk Pusat PeÂnangÂguÂlaÂngan Krisis pada tahun anggaran 2007. Persisnya, nilai keruÂgian negara itu Rp 22,051 miliar.
Menurut jaksa KPK, Rustam meÂlanggar Pasal 2 Ayat 1 dan PaÂsal 3 Undang Undang PemÂbeÂranÂtasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman maksimalÂnya 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Dalam dakwaan, jaksa penunÂtut umum (JPU) Agus Salim dkk menyebut Rustam memperkaya diri sendiri sebesar Rp 2,47 miÂliar, bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari Rp 1,275 miliar. Selanjutnya, ELS Mangundap Rp 850 juta, Amir Syamsuddin Ishak Rp 100 juta, Mediana Hutomo dan Gunadi Soekemi Rp 100 juta, Tan Suhartono Rp 150 juta, TengÂku Luckman Sinar Rp 25 juta, PT InÂdofarma Global MeÂdika Rp 1,763 miliar dan PT GraÂha Ismaya Rp 15,226 miliar.
Saat dikonfirmasi, bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengaku tidak pernah menerima uang terkait kasus itu. “JPU mendakwa Rustam dengan menyebut memberi uang ke saya sejumlah itu. Saya tidak mengerti itu. Saya tidak pernah terima uang,†ujarnya ketika dihubungi Rakyat Merdeka.
Selanjutnya, Siti meminta agar dakwaan yang dialamatkan keÂpada Rustam tidak dikait-kaitkan keÂpada dirinya. “Saya memÂbanÂtah dakwaan bahwa saya meÂneÂriÂma uang itu. Tanya saja sama RusÂtam. Saya tidak tahu meÂnahu soal aliran dana itu. Tunggu jawaban dari Rustam saja,†ujar anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini.
Secara terpisah, kuasa hukum Siti, Yusril Ihza Mahendra meÂngatakan, jika JPU telah menyeÂbut seseorang menerima uang daÂlam dakwaan, tentu harus dibukÂtikan. “Buktikan saja, benar atau tidak. Kalau tidak bisa dibukÂtikan, mereka bisa dituntut balik,†ujarnya ketika dikontak Rakyat Merdeka.
Yusril berharap jaksa penuntut umum tidak salah dalam memÂbuat dakwaan. “Jadi, buktikan sajalah,†katanya.
Sebelumnya, Siti sudah berÂkali-kali diperiksa penyidik KPK sebagai saksi kasus alkes yang berbeda-beda, dengan tersangka yang berbeda-beda pula. Tapi, para tersangka itu adalah bekas anak buahnya.
Bahkan, Siti mengaku sudah enam kali dimintai keterangan. “Pemeriksaan hari ini sebagai sakÂsi untuk Ibu Ratna Umar terÂkait APBNP 2007. Sebelumnya, saya menjadi saksi bagi beliau dari kasus APBN 2006. Memang saya menterinya waktu itu, dan harus ada yang diterangkan,†ujar Siti setibanya di Gedung KPK pada pagi hari, 7 Februari lalu.
Ratna Dewi Umar adalah bekas Direktur Bina Pelayanan Medik yang menjadi tersangka kasus pengadaan alat kesehatan tahun 2006 dan 2007.
Siti mengaku rela memberikan penjelasan berkali-kali kepada peÂnyidik, mengenai perkara-perÂkara korupsi yang telah menyeret sejumlah bekas anak buahnya menjadi tersangka itu. Bekas anak buah Siti itu berasal dari eseÂlon dua dan eselon tiga KeÂmenÂkes.
“Saya datang ke sini berkali-kali, kasusnya berbeda-beda. Kira-kira tujuh kasus. Satu-satu saya harus memberikan konÂfirÂmaÂsi dan klarifikasi,†ujarnya.
Mesti Jelas Saksi Atau Tersangka
Yenti Garnasih, Pengamat Hukum
Doktor bidang pencucian uang Yenti Garnasih menyamÂpaikan, seseorang yang disebut dalam dakwaan turut menerima uang, harus dijelaskan seperti apa proses dan perannya. SeÂbab, seseorang yang disebut meÂnerima uang namun tanpa staÂtus yang pasti, akan meÂnimbulkan polemik.
“Kalau di dalam dakwaan diÂsebutkan, ya harus dilihat dulu perannya dalam peristiwa huÂkum itu. Apakah hanya sebatas saksi atau justru termasuk seÂbaÂgai salah satu orang yang bisa dikatagorikan sebagai peserta pelaku,†ujar Yenti.
Bagi Yenti, agak aneh bila diÂsebut dalam dakwaan menerima uang, tetapi statusnya belum jelas, tersangka atau bukan.
“Agak aneh, apalagi kasus ini sudah bergulir ke persidangan. Berarti kan sudah diperiksa seÂbagai saksi, berarti bagi peÂnyiÂdik dianggap tidak terlibat, atau hanya saksi,†ujarnya.
Dia meminta agar status orang-orang yang disebut meÂnerima uang dalam dakwaan, diperjelas terlebih dahulu. “SeÂharusnya semua yang terima uang kalau itu dalam rangka suapnya, ya berarti turut serta koÂrupsi. Kalau terima uangnya seÂtelah terjadi korupsi, berarti tinÂdak pidana pencucian uang,†jeÂlas dosen Universitas Trisakti ini.
Agar terhindar dari keranÂcuan, kata Yenti, jaksa penuntut umum mesti membuat terang perkara dengan menjelaskan keterÂlibatan dan status hÂuÂkumÂnya. “Kalau disebut menerima uang tentu kemungkinan besar bukan saksi,†ujarnya.
Bekas Kepala Pusat PeÂnangÂgulangan Krisis Departemen Kesehatan Rustam Syarifuddin Pakaya, menjalani sidang perÂdana di Pengadilan Tindak PiÂdana Korupsi Jakarta pada KaÂmis, 9 Agustus.
Rustam didakwa memÂperÂkaya diri sendiri, suatu peruÂsaÂhaan dan orang lain, sehingga menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 22 miliar dalam peÂngadaan alat kesehatan untuk Pusat Penanggulangan Krisis pada tahun anggaran 2007. Persisnya, nilai kerugian negara itu Rp 22,051 miliar.
Kasus Alkes Jangan Dibuat Menggantung
Deding Ishak, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Deding Ishak mengingatkan, pembuktian perkara dugaan korupsi pengadaan alat-alat kesehatan (alkes) harus benar-benar obyektif.
Menurutnya, jika jaksa peÂnuntut umum (JPU) dalam dakÂwaan berani menyebutkan, seÂjumlah pihak telah menerima aliÂran uang korupsi, maka hal itu harus dibuktikan di hadapan majelis hakim.
“Tentu mereka harus memÂbuktikannya. Mereka membuat dakwaan karena telah memiliki bukti-bukti tentunya, ya silakan dibuktikan saja,†ujar anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar ini.
Lebih lanjut, dia mengatakan, kasus ini jangan sampai dibuat menggantung. Semua pihak yang kalau memang terbukti terlibat, harus diproses segera.
“Tunjukkan progresnya, jaÂngan publik dibuat bingung. SeÂbab, publik akan menilai sejauh mana keseriusan aparat peneÂgak hukum mengusut kasus koÂrÂÂupsi sampai tuntas dan memÂÂberantas korupsi,†ujarnya.
Karena perkara ini sudah maÂsuk pengadilan, lanjut dia, tidak ada alasan lagi bagi jaksa dan hakim untuk tidak mengusut dengan seksama. “Intinya, seÂmua itu sudah di pengadilan. Tinggal bagaimana jaksa memÂbuktikannya, keterangan saksi-saksi dan bagaimana hakim meÂmutusnya,†kata Deding.
Pada akhirnya, kata Deding, keputusan di pengadilan akan menjadi pembuktian sekaligus menjadi acuan untuk proses huÂkum selanjutnya, jika memang ada pihak lain yang diduga terÂlibat. “Sekarang, kita lihat saja proses di pengadilan dan puÂtuÂsan majelis hakim kasus ini,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35
UPDATE
Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03
Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58