Dhana Widyatmika (DW)
Dhana Widyatmika (DW)
RMOL. Apakah kasus korupsi pajak ini “dibonsaiâ€, sehingga Dhana Widyatmika (DW) yang semula diduga punya duit Rp 60 miliar di rekeningnya, hanya didakwa korupsi sekitar Rp 2 miliar dalam sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, kemarin?
Pegawai negeri golongan 3 C pada Ditjen Pajak itu, disidang mulai pukul 12 siang, dengan agenÂda pembacaan dakwaan. SiÂdang ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Herdy Agustin. SedangÂkan jaksa penuntut umum (JPU) dikoordinir Wismantanu, dengan anggota M Yusuf Tangai, Fitri ZulÂfahmi, Kuntadi, Rudi HarÂtono, Syarief Sulaiman Nahdi, Noeradi, Gusti M. Sophan Syarif, Arif Yani dan Yoklina. DW yang meÂngenakan kemeja batik, diÂdampingi kuasa hukumnya, antara lain Lutfi Hakim.
DW didakwa menerima gratifiÂkasi dari wajib pajak pada 10 OkÂtoÂber 2007 sebesar Rp 750.000.Â000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). “Uang yang diterima terÂdÂakwa bertentangan dengan tuÂgasnya sebagai PNS Ditjen Pajak. DaÂlam waktu 30 hari, bahkan samÂpai perkaranya dilimpahkan ke penyidik, terdakwa tidak meÂlaÂporkan uang yang diterimanya ke KPK,†kata JPU Wismantanu.
Padahal, berdasarkan Pasal 12 C Ayat 1 dan 2 Undang Undang NoÂmor 31 tahun 1999 junto UnÂdang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan TinÂdak Pidana Korupsi, PNS wajib melaporkan gratifikasi ke KPK.
Dakwaan pertama menyangkut PT Mutiara Virgo (MV) milik Johnny Basuki pada 2003 dan 2004, yang semestinya membaÂyar pajak lebih dari Rp 30 miliar. BerÂdasarkan kajian Herly IsdiÂharÂsono, dibentuklah Tim Pemeriksa GaÂbungan untuk mengurusi paÂjak itu. Tim itu terdiri dari, SuÂperÂvisor Anggun Prayitno, Ketua Tim Sarah Lallo, anggota tim Herly IsdiÂharsono dan Farid Agus Mubarok.
Meskipun Herly, Johnny dan konsultan pajak Hendro Tirtajaya tahu kewajiban pajak PT MV seharusnya lebih besar dari Rp 30 miliar, namun mereka sepakat unÂtuk menguranginya. KeseÂpaÂkatÂannya adalah Johnny bersedia membayar Rp 30 miliar yang meliÂputi, uang untuk membayar keÂwajiban pajak yang telah dikuÂrangi dan fee bagi petugas atas jasa mengurangi kewajiban itu.
Hasil penghitungan pajak PT MV kemudian dituangkan ke dalam Laporan Hasil PemerikÂsaÂan, sehingga Johnny membayar sebesar Rp 10.882.000.000 (seÂpuluh miliar delapan ratus delaÂpan puluh dua juta rupiah).
Sehingga, seluruh uang yang diberikan Johnny untuk penguÂrusÂan pengurangan pajak adalah sebesar Rp 20.882.000.000 yang diÂkeluarkan dari BCA cabang RanÂtai Mulya Kencana, diseÂrahÂkan kepada Hendro. Selanjutnya, oleh Hendro dicairkan dan dititipÂkan ke rekening seorang pegawai Puri Spa atas nama Liana ApriÂyani di Bank BCA Cabang Rantai Mulya Kencana. Sedangkan sisaÂnya, Rp 9.118.000.000 (sembilan miliar seratus delapan belas juta ruÂpiah) diserahkan Hendro keÂpada Herly secara tunai.
Seluruh uang pemberian JohnÂny kepada para petugas pajak yang mengurangi kewajiban pemÂbayaran pajak itu, lebih daÂhulu dikumpulkan di rekening peÂnamÂpungan, antara lain Rekening BCA Cabang Rantai Mulya KenÂcana atas nama Liana Apriyani NoÂmor Rekening 7090137764, dan rekening Bank Panin Cabang Pasar Puri Indah Jakarta Barat atas nama Veemy Solichin NoÂmor Rekening 1452030079. SelanÂjutnya, atas perintah Herly, uang itu dibagikan ke beberapa rekening, antara lain ke rekening DW sebesar Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah).
Pada dakwaan kedua, DW melaÂkukan atau turut serta memÂperkaya diri sendiri, orang lain atau merugikan keuangan negara, saat dia menjabat sebagai KoorÂdiÂnator Pelaksana PPh Badan II Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Jakarta Pancoran. Saat itu, DW menÂjadi Koordinator untuk melaÂkukan pemeriksaan khusus terÂhaÂdap PT Kornet Trans Utama (KTU). Komposisi tim ini, yakni SuÂpervisor Firman, Ketua Tim DhaÂna Widyatmika dan anggota tim Salman Maghfiroh. Atas kerja tim ini, DW didakwa meruÂgiÂkan keuangan negara Rp 967.Â116.443 ditambah bunga Rp 241.Â677.040. Sehingga, merugiÂkan negara sebesar Rp 1.208.078.304,83.
Ketiga, DW didakwa melakuÂkan penempatan, transfer, pengÂalihan, pembelanjaan, pemÂbaÂyaran, meÂnukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain yang dilakukan atas kekayaan yang tidak dapat diÂpertangÂgungÂjawabkan asal-usulnya.
Seusai sidang, DW tidak mau berkomentar. Dia meminta warÂtaÂwan bertanya kepada peÂngaÂcaranya, Lutfi Hakim. Menurut Lutfi, dakwaan jaksa sangat mencurigakan dan tidak sesuai fakta. “Ada apa sebetulnya? SeÂbeÂlumnya gembar-gembor soal uang Rp 60 miliar, nyatanya tak ada dalam dakwaan. Hanya 1 sampai 2 miliar. JPU tidak perÂcaya diri membawa kasus ini ke pengadilan,†belanya.
Lutfi menilai, JPU pun tak konÂsisten mengenai pencucian uang yang juga didakÂwakan. “PenÂcuÂcian uangnya tak jelas, karena JPU tak menyebutkan berapa jumÂÂlahnya dan apa predikat crimeÂÂnya.â€
REKA ULANG
Aliran Duit Rp 97 Miliarnya Mana...
Pada Selasa malam, 27 Maret lalu, Kepala Pusat Penerangan HuÂkum Kejaksaan Agung Adi ToeÂgarisman menyampaikan, peÂnyidik Kejagung menemukan alirÂan dana Rp 97 miliar di salah satu rekening Dhana Widyatmika (DW).
Menurut Adi, penyidik telah memeriksa DW untuk mengÂklaÂrifikasi keterangan saksi-saksi, mengklarifikasi tentang uang tersangka di reksadana dan dalam beÂberapa rekening di beberapa bank. “Dari hasil klarifikasi seÂmenÂtara, di salah satu rekening miÂlik tersangka ditemukan aliran dana sebesar Rp 97 miliar. Ini baru di satu rekening, dan masih berupa aliran dana yang masuk, belum aliran dana yang keluar,†katanya.
Menurut Adi, DW memiliki seÂjumÂlah rekening yang masih perlu ditelusuri. Lantaran itu, kataÂnya, tidak tertutup kemungÂkinÂan jumlah aliran dana dalam reÂkening-rekening tersebut meÂlebihi Rp 97 miliar. “Ada kira-kira 11 atau 12 rekening milik DW yang tersebar di tujuh bank,†ujarnya.
Tapi, dalam sidang perdana DW di Pengadilan Tipikor JaÂkarta, kemarin, aliran uang Rp 97 miliar itu tidak ada dalam surat dakwaan. Sebelum bicara mengeÂnai alirÂan dana Rp 97 miliar itu, KaÂpuspenkum telah menyamÂpaikan, harta kekayaan DW yang disita, jumlah sementaranya seÂkitar Rp 18 miliar.
Yakni, uang dalam penyedia jasa keuangan sebesar Rp 11 miÂliar, uang tunai dalam bentuk Dolar AS sebesar 270 juta, dalam bentuk Dinar Irak sekitar 7 juta, dalam bentuk mata uang Riyad Saudi Arabia sebesar 1,3 juta. KeÂmudian, emas seberat 1,1 kiloÂgram. “Kalau dinilai dengan uang, sekitar 465 juta rupiah,†ujarnya.
Barang sitaan lainnya, berupa kendaraan bermotor, termasuk mobil sedan Daimler Chrysler dan truk yang hasil sementara perhitungannya Rp 1,6 miliar. Selanjutnya, kata Adi, investasi berupa tanah yang belum semuanya dihitung. Taksiran sementara, nilainya sekitar Rp 4,5 miliar. Kemudian, jam Rolex yang diperkirakan harganya Rp 103 juta.
Adi menambahkan, angka itu masih bisa bertambah lantaran tim penyidik masih menelusuri harÂta kekayaan DW. “Misalnya, ada sembilan bidang tanah yang serÂtifikatnya sudah disita, tapi seÂcara fisik belum. Sembilan biÂdang tanah ini belum dihitung daÂlam uang,†katanya. Lokasi taÂnah-tanah itu, menurutnya, berÂada di beberapa tempat sekitar JaÂkarta. “Luasnya juga belum direkap,†katanya saat itu.
Mirip Penanganan Kasus Bahasyim Dan Gayus
Yenti Garnasih, Pengamat Hukum
Dosen yang kerap menjadi saksi ahli kasus tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih menilai, dakwaan terhadap Dhana Widyatmika (DW) tidak makÂsimal. “Tentu kita meÂnyeÂsalkan. Ada apa sebenarnya,†heran Yenti, kemarin.
Dia menilai, dakwaan koÂrupÂsi terhadap pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan itu pun tidak besar, sehingga kiÂnerja kejaksaan dalam meÂnaÂngani kasus ini patut diperÂtaÂnyakan. “Aneh, kok hanya 1 atau 2 miliar rupiah, tidak seÂperti aliran dana pada temuan awal kejaksaan,†tegasnya.
Lantaran dakwaan terhadap DW lemah, Yenti menilai, seÂpertinya model penanganan kaÂsus korupsi pegawai Ditjen PaÂjak Gayus Tambunan dan BaÂhasyim Assifie terulang. “HaÂrusnya diuraikan semua aliran dana, telusuri siapa saja yang terlibat korupsi dan pencucian uangnya. Apakah kejaksaan tidak bisa mengungkap atau tidak profesional? Atau tidak mau mengungkap?†tanyanya.
Menurut Yenti, kejaksaan semestinya juga membeberkan tinÂdak pidana pencucian uang dalam kasus ini secara rinci. Melalui rincian itu, lanjutnya, kejakÂsaan akan banyak menÂjaring pihak-pihak yang diduga terlibat perkara korupsi ini seÂbagai tersangka. “Tapi, keÂnapa pencucian uangnya tidak menÂdalam. Rasanya, pengusutan kasus ini aneh.â€
Lantaran tidak mendalami kasus tersebut dari sisi penÂcuÂcian uangnya juga, sejauh ini kejaksaan masih berkutat pada enam tersangka, yakni Dhana Widyatmika, Firman, Herly IsÂdiharsono (pegawai Ditjen Pajak), Salman Maghfiroh (bekas pegawai Ditjen Pajak) Johnny Basuki (wajib pajak) dan Hendro Tirtawijaya (konÂsulÂtan pajak). Dari enam terÂsangka itu, baru DW yang kini menjadi terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TipiÂkor) Jakarta.
Apakah Kasus DW Mau Diisolasi
Eva Kusuma Sundari, Anggota DPR
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menyamÂpaikan, dakwaan yang tidak konÂfrehensif dan tidak maÂkÂsimal akan menimbulkan keÂcurigaan masyarakat.
“Wah, tampaknya kasus ini mau diisolasi ya? Jika pasal penÂcucian uang tidak dipakai seÂcara maksimal, agak sulit meÂlakukan penyitaan harta untuk negara,†ujar anggota DPR dari Fraksi PDIP ini, kemarin.
Kendati begitu, Eva tetap berÂharap jaksa penuntut umum (JPU) dan majelis hakim memÂbongkar semua yang terlibat daÂlam kasus korupsi dan pencucian uang ini di perÂsiÂdangan. “Saya masih berpikir poÂsitif, bahwa alat bukti atau fakta hukum yang ada, hanya mencukupi untuk dibuat dakÂwaan sebagaimana yang tercanÂtum dalam surat dakwaan itu,†katanya.
Walau begitu, Eva berharap agar majelis hakim dalam peÂneÂtapan putusan nanti, lebih tajam ketimbang penuntut umum. “Jangan lupa, kualitas putusan sepenuhnya di tangan majelis haÂkim. Mereka bisa putuskan sesuai bukti yang muncul di perÂsidangan, karena bobotnya lebih tinggi dari BAP,†katanya.
Eva menambahkan, majelis hakim bisa mengembangkan perÂtanyaan dan mengambil putusÂan sesuai temuan selama proses perÂsidangan. “Otoritas penuh di tangan majelis hakim,†ujarnya.
Tapi, pengusutan kasus koÂrupÂsi dengan tersangka DhaÂna dkk, juga menjadi salah satu ajang untuk menilai, mampukah KejakÂsaan Agung menangani perÂkara korupsi pajak secara utuh sampai tuntas. Kejaksaan, lanÂjutnya, tidak cukup hanya menÂjerat para pelaku di tingkat bawah.
“Jangan hanya membidik peÂlaku di tingkat operator. PeÂngusutan kasus ini menjadi ujian bagi Kejagung, apakah meÂreka mampu mengusut seÂcara struktural sampai pada taÂtaran elit? Sebab, jika berkaitan dengan elit, kejaksaan menjadi sangat lambat,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35
UPDATE
Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03
Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58