Hotasi Nababan
Hotasi Nababan
RMOL. Hampir satu tahun, kasus sewa pesawat fiktif yang menyeret bekas Direktur Utama PT Merpati Hotasi Nababan sebagai tersangka, ngendon di Kejaksaan Agung.
Rencananya, Hotasi akan disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang berada di bawah naungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis, 5 Juli nanti. Bekas General Manajer Procurement PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Tony Sudjiarto juga dijadÂwalkan menjalani sidang pertama pada hari yang sama.
“Iya betul, berkas kedua terÂsangka itu sudah masuk. Kami seÂdang melakukan persiapan perÂsidangan,†ujar Kepala Humas PeÂngadilan Negeri Jakarta Pusat Sujatmiko ketika dikonfirmasi Rakyat Merdeka.
Sujatmiko menjelaskan, jadwal siÂdang perdana dua tersangka itu suÂdah ditetapkan pihaknya. “JadÂÂÂwÂal sidangnya, Kamis, 5 Juli, deÂngan Ketua Majelis Hakim PangÂerÂan Napitupulu,†ujarnya, kemarin.
Menurut Kepala Pusat PeneraÂngan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, berkas terÂsangÂka Hotasi Nababan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta pada Jumat (22/6). Sedangkan berÂkas tersangka Tony Sudjiarto dilimpahkan pada Kamis (21/6).
“Penuntut umum untuk terÂdakwa Hotasi, yaitu Heru WiÂdarÂmoko, Frangky Sun dkk. SeÂdangÂkan penuntut umum untuk terdÂakÂwa Tony adalah Rama Jasa MaÂnurung, Ismaya Hera W dkk,†katanya.
Pihak kejaksaan, lanjut bekas KeÂpala Kejaksaan Tinggi KeÂpuÂlauan Riau ini, menunggu penetaÂpan jadwal sidang yang biasanya diterima tujuh hari setelah pelimÂpahan berkas dilakukan.
Sementara itu, berkas mantan DiÂrektur Keuangan PT Merpati NuÂsantara Airlines Guntur AraÂdea belum selesai. Tersangka yang satu ini masih dalam proses peÂnyiÂdikan. “Masih diproses,†katanya.
Kasus sewa pesawat ini terjadi paÂda tahun 2006. Saat itu, DiÂreksi PT MNA menyewa dua peÂsawat Boeing 737 dari ThirdÂstone AirÂcaft Leassing Group Inc (TALG) di Amerika Serikat, seharga 500 ribu dolar AS untuk setiap pesawat.
Tapi, setelah dilakukan pemÂbayaran sebesar satu juta dolar AS ke rekening lawyer yang diÂtunjuk TALG, yakni Hume & AsÂsociates melalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesawat tersebut belum pernah diterima PT Merpati Nusantara Airlines. Seharusnya, sesuai perjanjian, pesawat tiba pada 5 Januari 2007 dan pada 20 Maret 2007.
Lantaran itu, lanjut Andhi, KeÂjaksaan Agung mencium indikasi korupsi sebesar satu juta doÂlar Amerika Serikat atau sekitar Rp 9 miliar dalam kasus tersebut.
TALG diduga melanggar konÂtrak karena tidak menyediakan dua pesawat jenis Boeing 737 seri 400 dan 500 yang dijanjikan seÂbelumnya. Padahal, Merpati telah mentransfer duit jaminan 1 juta dolar AS. Namun, duit yang diseÂtor ke rekening lawyer yang diÂtunÂjuk TALG, yakni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri, tak bisa ditarik kembali.
Kebijakan mengirim uang ke reÂkening lawyer itulah yang memÂbuat Merpati sulit menarik kembali duit jaminan tersebut. SeÂharusnya, duit jaminan disimÂpan pada lembaga penjamin resÂmi. Makanya, Kejaksaan Agung menyangka ada keinginan seÂjumlah pihak untuk meÂnyeÂleÂwengÂkan dana tersebut.
Kejaksaan Agung kemudian meÂnetapkan bekas General MaÂnaÂger Air Craft Procurement PT MNA Tony Sudjiarto, bekas DiÂrektur Utama PT MNA Hotasi NaÂbaban dan bekas Direktur KeÂuangan PT MNA Guntur Aradea sebagai tersangka perkara koÂrupÂsi yang merugikan negara sekitar Rp 9 miliar ini.
Tapi, Hotasi meminta KejakÂsaÂan Agung tidak mengeÂsamÂpingÂÂkan putusan Pengadilan DisÂtrik Washington DC, AmeÂrika Serikat mengenai pesawat yang tak kunÂjung datang meski sudah dibayar. Menurutnya, PeÂngadilan Distrik Washington meÂnerima gugatan Merpati dan meÂwajibkan TALG mengemÂbaÂliÂkan uang milik MerÂpati.
“Upaya kami menggugat TALG menunjukkan tidak ada kongkalikong. Ini murni perÂsoalan wanprestasi. Bagi MerÂpati ini merupakan risiko bisnis,†katanya.
REKA ULANG
Cuma Kena Status Tahanan Kota
Sejak ditetapkan sebagai terÂsangka kasus sewa pesawat fikÂtif, bekas Direktur Utama PT MerÂÂpaÂti Nusantara Airlines (MNA) HoÂtasi Nababan, bekas GeÂneral MaÂnajer Procurement PT MNA Tony Sudjiarto dan beÂkas DirekÂtur KeÂuangan PT MNA Guntur AraÂdea tidak ditahan KeÂjaksaan Agung.
Bahkan, hingga berkasnya diÂlimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, tersangka Hotasi dan tersangka Tony tidak dimasukkan ke dalam rumah tahanan. “Mereka dikeÂnaÂkan tahanan kota. Itu tidak maÂsalah,†kata Kepala Pusat PeneÂraÂngan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, kemarin.
Penanganan kasus ini di KejakÂsaan Agung kerap dipertanyakan kalangan LSM dan DPR, sebab para tersangkanya tidak ditahan. BahÂkan, dari ketiga tersangka, haÂnya Guntur Aradea yang dikenaÂkan status cegah ke luar negeri.
Hotasi dan Guntur ditetapkan sebagai tersangka pada Agustus 2011 silam. Sementara Tony diteÂtapkan sebagai tersangka pada 22 Desember 2011, berdasarkan suÂrat perintah penyidikan (Sprintdik) Print 196/F.2/Fd.1/12/2011.
Sedangkan bekas Direktur UtaÂma PT MNA Cucuk SuryoÂsupÂrojo dan bekas Dirut PT MNA SarÂdjono Jhoni hanya dimintai keterangan sebagai saksi kasus korupsi yang merugikan negara sekitar Rp 9 miliar ini. Cucuk diÂperiksa sebagai saksi pada 16 Agustus 2011, Sardjono diperiksa sebagai saksi pada 25 Mei lalu.
Menurut Sardjono Jhoni, yang paÂtut dipahami dalam kasus ini adaÂlah, proses pengajuan penyeÂwaÂan pesawat didasari kebutuhan MerÂpati yang saat itu tidak punya uang. “Kami butuh pesawat, tapi tidak punya uang, makanya diÂpuÂtuskan untuk menyewa. Merpati selalu merujuk pada kebijakan korporasi, bukan kebijakan perÂorangan. Karena itu, kami meÂngikuti saja proses hukum yang berjalan,†ucapnya.
Kuasa hukum Hotasi, LawÂrence TB Siburian mengatakan bahÂwa penetapan kliennya sebaÂgai tersangka tidak tepat. SoalÂnya, menurut dia, kasus sewa peÂsaÂwat ini murni perkara perdata, bukan pidana. Lawrence menilai, Kejaksaan Agung terlalu memakÂsakan diri menetapkan kasus ini ke ranah pidana.
Apalagi, lanjut Lawrence, tindak pidana korupsi harus meÂmiliki tiga unsur. Yakni melawan hukum, ada kerugian negara yang menguntungkan diri sendiri, orang lain atau koorporasi. “KeÂtiga hal tersebut harus terpenuhi, tidak bisa jika hanya ada satu unÂsur,†katanya.
Lamanya Penyidikan Kasus Merpati Tidak Boleh Sia-sia
Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR
Proses penyidikan kasus duÂgaan sewa pesawat fiktif yang berjalan hampir satu tahun, meÂnurut anggota Komisi III DPR Yahdil Abdi Harahap, semesÂtinya menjadi modal yang kuat bagi kejaksaan untuk mengÂhaÂdapi proses pembuktian di peÂngaÂdilan. Dengan kata lain, lamaÂnya proses penyidikan perkara korupsi ini tidak boleh sia-sia.
Yahdil juga mewanti-wanti jaksa penuntut umum (JPU) agar serius menjalani proses pembuktian dan kreatif meÂngemÂbangkan kasus ini dalam persidangan di Pengadilan TinÂdak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. “Hakim pun bisa secara aktif melihat fakta-fakta kejaÂdian tersebut, dan menemukan hal-hal baru,†katanya, kemarin.
Menurut Yahdil, semua proÂses sejak awal kasus ini terjadi, termasuk siapa saja pihak lain yang terlibat, semestinya dapat dibuktikan dalam persidangan. “Apakah ada pejabat negara dan pengusaha lain yang terlibat, misalnya. Nah, itu dalam konÂteks persidangan harus dikemÂbangkan JPU dan majelis haÂkim,†tegasnya.
Karena itulah, lanjut Yahdil, daÂlam persidangan sangat dibuÂtuhÂkan keaktifan JPU dan maÂjelis hakim mengembangkan kaÂsus. “Sebab, bahan-bahan baru itu nantinya menjadi bahan berikutnya bagi jaksa untuk meÂlaÂkukan penyidikan selanÂjutnya,†ujar anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
Kemudian, para penyidik mesÂti betul-betul firm dalam melakukan penyidikan selanjutÂnya itu. Sehingga, kelak betul-betul dapat dibuktikan dalam persidangan. “Jangan sampai dalam persidangan tidak cukup bukti. Sangat perlu kejelian unÂtuk menangani kasus korupsi,†ujarnya.
Cepat Tuntaskan Dan Segera Ganti Kerugian Negara
Poltak Agustinus Sinaga, Ketua PBHI Jakarta
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) JaÂkarta Poltak Agustinus Sinaga mempertanyakan, kenapa maÂsih ada satu berkas tersangka kaÂsus sewa pesawat ini yang beÂlum dilimpahkan ke pengaÂdiÂlan. Sedangkan dua tersangka lainnya sudah memiliki jadwal persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
“Kenapa berkas satu terÂsangÂka seperti sengaja dibuat lama? Kalau tidak mau dicurigai maÂsyaÂrakat, kejaksaan harus segeÂra melengkapinya dan meÂmaÂsukkannya ke pengadilan. KaÂlau dalam waktu dekat belum disidangkan, masyarakat akan bertanya-tanya, apakah ada perÂmainan,†ingat Poltak, kemarin.
Menurut Poltak, bila model pengusutan terlalu lama atau lelet, tentu publik akan meÂnyamÂpaikan kritikan dan meÂminta pertanggungjawaban peÂnegak hukum atas kinerjanya.
“Toh juga kerjaannya kejakÂsaan menyidangkan tersangka. Kalau tidak segera disidangkan, bisa dinilai tidak serius kerÂjaÂnya. Mereka bisa diminta perÂtangÂgungjawaban, karena meÂreka digaji untuk itu,†katanya.
Dia menegaskan, jika negara sampai dirugikan sekitar Rp 9 miliar, tapi pelaku belum disiÂdangÂkan setelah kasus ini diÂtangani hampir setahun, hal itu mengindikasikan bahwa penÂeÂgaÂkan hukum dan pemberanÂtaÂsan korupsi belum serius.
“Dengan kerugian negara seÂbeÂsar itu, sudah selayaknya apaÂrat penegak hukum segera meÂnyelesaikan kasus ini. KemuÂdian, uangnya dikembalikan keÂpada negara,†tandasnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35
UPDATE
Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03
Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58