ilustrasi/ist
ilustrasi/ist
RMOL.Babak baru perkara korupsi sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 senilai satu juta dolar Amerika Serikat oleh PT Merpati Nusantara Airlines, tidak lama lagi akan dipertunjukkan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Bekas Direktur Utama PT MerÂpati Nusantara Airlines (MNA) Hotasi Nababan dan bekas GeÂneral Manager Air Craft ProcuÂreÂment PT MNA Tony Sudjiarto akan didakwa dalam waktu yang tidak lama lagi. Soalnya, penyiÂdik Pidana Khusus Kejaksaan Agung telah melimpahkan berkas kedua tersangka itu ke Bagian Penuntutan.
“Tanggal 24 Mei, penyidik meÂnyerahkan berkas dan barang bukÂti ke penuntut, atas nama HoÂtasi Nababan dan Tony SudÂjiÂarÂto,†ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman di Gedung KeÂjakÂsaÂan Agung, Jalan Sultan HasaÂnuddin, Jakarta Selatan pada JuÂmat (25/5).
Berkas kedua tersangka itu kini sedang dipelajari jaksa peneliti. “Nanti pelimpahan tahap duanya ke Kejaksaan Negeri Jakarta PuÂsat. Mudah-mudahan selanjutnya segera bisa dilimpahkan ke PeÂngadilan Tipikor,†ujar Adi.
Kendati sudah mendekati masa persidangan, Hotasi dan Tony tak kunjung ditahan. Kedua terÂsangÂka itu baru sekadar dicegah ke luar negeri dan ditetapkan seÂbaÂgai tahanan kota.
“Penyidik dan peÂnuntut belum merasa perlu meÂlakukan penaÂhaÂnan fisik di rumah tahanan, kaÂreÂna tidak khawatir tersangka akan meÂlarikan diri. Apalagi, kedua terÂsangka sudah diÂkenakan status cegah,†alasannya.
Sedangkan terhadap satu terÂsangka lainnya, yakni bekas DiÂrektur Keuangan PT Merpati NuÂsantara Airlines Guntur Aradea, penyidik masih melakukan peÂnyidikan. Sehingga, berkas GunÂtur belum dilimpahkan ke Bagian PeÂnuntutan. “Mudah-mudahan bisa segera menyusul kedua terÂsangÂka yang sudah lebih dahulu dilimÂpahkan ke penuntutan,†kata Adi.
Para tersangka terancam hukuÂman maksimal selama 20 tahun, seperti diatur dalam Undang UnÂdang Tindak Pidana Korupsi (TiÂpikor) Nomor 31 tahun 1999 yang diubah menjadi Undang UnÂdang Nomor 21 Tahun 2000.
Penanganan perkara korupsi ini, sempat dipertanyakan kalaÂngan DPR dan aktivis anÂtiÂkoÂrupÂsi. Soalnya, para tersangka tidak ditahan seperti tersangka kasus koÂrupsi lainnya. Bahkan, setelah dilimpahkan ke penuntutan, para tersangka juga tidak digiring ke rumah tahanan (rutan).
Kasus ini pun dinilai lambat bergulir ke pengadilan. Sebab, KeÂjaksaan Agung sudah melakuÂkan penyidikan sejak Agustus taÂhun lalu. Hotasi dan Guntur diÂtetapkan sebagai tersangka pada Agustus 2011. Sedangkan Tony diÂteÂtapÂkan sebagai tersangka pada 22 DeÂÂsemÂber 2011, berÂdaÂsarÂkan suÂrat perinÂtah penyidikan (SprintÂdik) Print 196/F.2/Fd.1/12/2011.
Sementara bekas Direktur UtaÂma PT MNA Cucuk SurÂyoÂsupÂrojo dan bekas Dirut PT MNA SarÂdjono Jhoni hanya dimintai keterangan sebagai saksi. Cucuk diÂperiksa sebagai saksi pada 16 Agustus 2011. Sedangkan SarÂdjoÂno dimintai keterangan sebaÂgai saksi pada 25 Mei 2011.
Kasus ini bermula saat Direksi PT Merpati Nusantara Airlines menyewa dua pesawat Boeing dari Thirdstone Aircaft Leassing Group Inc (TALG) di Amerika Serikat pada tahun 2006. Namun, sejak biaya sewa sebesar 500 ribu dolar AS per pesawat dibayarkan ke rekening kantor lawyer Hume And Associates melalui transfer Bank Mandiri, kedua pesawat itu tidak pernah dikirim ke IndoneÂsia. Akibatnya, diduga terjadi kerugian negara sebesar satu juta dolar AS atau sekitar Rp 9 miliar pada salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini.
Reka Ulang
Merpati Sulit Tarik Duit Jaminan
Ditetapkan sebagai tersangÂka, bekas Direktur Utama MerÂpati, Hotasi Nababan tidak tingÂgal diam. Dia meminta Kejaksaan Agung tidak mengesampingkan puÂtusan pengadilan Distrik WasÂhington DC, Amerika Serikat.
Menurutnya, Pengadilan DisÂtrik Washington menerima guÂgaÂtan PT Merpati Nusantara AirÂlines (MNA) dan mewajibkan Thirdstone Aircaft Leassing Group Inc (TALG) meÂngemÂbaliÂkan uang milik Merpati. “Upaya kami menggugat TALG meÂnunÂjukkan tidak ada kongkalikong antara Merpati dan TALG. Ini murni persoalan wanprestasi. Bagi Merpati, ini merupakan risiko bisnis,†kata Hotasi.
Tapi, Kejaksaan Agung tak begitu saja menerima pembelaan diri Hotasi. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andi Nirwanto memerintahkan anak buahnya agar mendalami kasus korupsi sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 ini.
Penyidik Pidana Khusus, lanjut Andhi, telah mengorek keteraÂngan sejumlah saksi untuk menÂdalami perkara yang diduga meÂruÂgikan negara 1 juta dolar AmeÂrika Serikat atau sekitar Rp 9 miliar ini. Kejaksaan Agung juga meminta keterangan ahli hukum pidana dan ahli pengadaan barang dan jasa untuk mendalami perÂkara tersebut.
Kasus sewa pesawat ini terjadi pada tahun 2006. Saat itu, Direksi PT MNA menyewa dua pesawat Boeing 737 dari Thirdstone AirÂcaft Leassing Group Inc (TALG) di Amerika Serikat, seharga 500 ribu dolar AS untuk setiap pesawat. Tapi, kata Andhi, setelah dilakukan pembayaran sebesar satu juta dolar AS ke rekening lawÂyer yang ditunjuk TALG, yakÂni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesawat tersebut belum perÂnah diterima PT Merpati NuÂsanÂtara Airlines.
Makanya, lanjut Andhi, KejakÂsaan Agung mencium aroma koÂrupsi sebesar satu juta dolar AmeÂrika Serikat dalam kasus tersebut. Kemudian, status perkara ini ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan.
Hal senada pernah disamÂpaiÂkan Direktur Penyidikan pada JakÂsa Agung Muda Pidana KhuÂsus Jasman Pandjaitan (kini KeÂpala Kejaksaan Tinggi KaÂliÂmanÂtan Barat). Menurutnya, TALG melanggar kontrak karena tidak menyediakan dua pesawat jenis Boeing 737 seri 400 dan 500 yang dijanjikan sebelumnya.
Padahal, Merpati telah menÂtransfer duit jaminan 1 juta dolar AS. Namun, duit yang disetor ke rekening lawÂyer yang ditunjuk TALG, yakni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri, tak bisa ditarik kembali.
Menurut Jasman, kebijakan meÂngirim uang ke rekening lawÂyer itulah yang membuat Merpati sulit menarik kembali duit jamiÂnan tersebut. Seharusnya, lanjut dia, duit jaminan disimpan pada lemÂbaga penjamin resmi. MakaÂnya, dia curiga ada keinginan sejumlah pihak untuk mÂeÂnyeÂleÂwengkan dana itu. “Kenapa seÂolah dipaksakan disimpan di sana,†Katanya
Kuasa hukum tersangka Hotasi Nababan, Lawrence TB Siburian mengatakan bahwa penetapan kliennya sebagai tersangka tidak tepat. Soalnya, menurut dia, kaÂsus sewa pesawat ini murni perÂkara perÂdata, bukan kasus pidana. LawÂrence menilai, Kejaksaan Agung terlalu memaksakan diri menetapÂkan kasus ini ke ranah pidana.
Apalagi, lanjut Lawrence, perÂbuatan korupsi harus memiliki tiga unsur. Yakni melawan huÂkum, ada kerugian negara yang meÂngunÂtungÂkan diri sendiri, orang lain atau koorporasi. “KeÂtiga hal terÂsebut yang harus terÂpenuhi, tidak bisa jika hanya satu,†katanya.
Menurut bekas Direktur Utama PT MNA Sardjono Jhoni, yang patut dipahami dalam kasus ini adalah, proses pengajuan sewa pesawat didasari kebutuhan MerÂpaÂti yang saat itu tidak puÂnya uang.
Semakin Lama Semakin Dicurigai
Deding Ishak, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Deding Ishak mengingatkan Kejaksaan Agung agar tak memperlambat penyidikan dan penuntutan terhadap para terÂsangka kasus Merpati. SeÂmakin lama Bagian Penuntutan KÂeÂjaÂgung mengirim berkas para terÂsangka ke Pengadilan Tipikor, kata Deding, maka semakin kuat kecurigaan publik bahwa kasus ini sedang dipermainkan.
“Intinya, saya mendorong agar secepatnya masuk ke peÂngaÂdilan. Jangan sampai meÂnimÂbulkan persepsi publik yang negatif, karena kasus ini terlalu lama berkutat di Kejagung,†ingatnya.
Menurut Deding, sering kali orang-orang yang memiliki akses ke penegak hukum meÂlaÂkukan intervensi agar kasÂusÂnya tidak diusut secara serius samÂpai tuntas. “Semoga hal seperti itu tidak terjadi pada kasus MerÂpati,†katanya.
Proses penyidikan yang berÂlangsung satu tahun atau lebih, kata Deding, sangat tidak efekÂtif. Bahkan, proses seperti itu bisa membuat perkara “maÂsuk anginâ€. Di situlah akan muncul ketidakwajaran proses. “Proses itu wajar kalau ada progres poÂsitif dalam jangka waktu yang signifikan. Kalau prosesnya seÂperti dibolak-balik, tentu jadi perÂtanyaan publik,†ucapnya.
Lantaran itu, dia meminta KeÂjaksaan Agung menjelaskan secara transparan, mengapa proses kasus tersebut begitu lama. “Kejaksaan perlu menÂjelaskannya kepada publik,†saran Deding.
Lagi-lagi, Deding mengiÂngatÂkan, hal-hal yang janggal pasÂti merusak citra kejaksaan. “Maka, jangan munculkan keÂcuÂrigaan. Tidak ada alasan meÂnunda-nunda kasus ini ke peÂngaÂdilan. Ini akan menimÂbulÂkan citra kurang baik bagi peÂneÂgakan hukum,†ucapnya.
Lantaran itu, Deding meminÂta Kejaksaan Agung segera membawa kasus ini ke pengaÂdiÂlan, agar terang benderang, apakah para tersangka itu koÂrupsi atau tidak.
“Kalau alat bukti sudah ada, kok mandeg. Mengapa tidak segera dilimpahkan? Apa ada upaya mempetieskan kasus ini?†tandasnya.
Terlalu Lama Akan Busuk
Ilyas Indra Damarjati, Pengamat Hukum
Pengamat hukum dan poÂlitik dari Universitas AzÂzahra, Ilyas Indra Damarjati mengiÂngatkan Kejaksaan Agung agar tidak berlama-lama menangani kasus Merpati. Sebab, perkara korupsi yang terlalu lama ditaÂngani, akan membusuk.
Penanganan kasus yang terÂlalu lama, lanjut Ilyas, juga akan menimbulkan kecurigaan yang luar biasa dari masyarakat. Yang dicurigai masyarakat buÂkan hanya jaksa penyidik, peÂneliti atau penuntut, tapi juga pimpinan mereka di Kejaksaan Agung. “Harusnya tak perlu sampai hitungan tahun proses penyidikan. Aneh kalau progÂresÂnya lelet,†ujarnya.
Bila proses penyidikan dilaÂkukÂan secara normal atau mekaÂnismenya benar, menurut Ilyas, kasus ini seharusnya sudah maÂsuk ke pengadilan sejak lama.
“Kalau normal-normal saja, seÂharusnya bisa segera disiÂdangÂkan. Sekarang ini, orang mauÂnya penanganan kasus koÂrupsi dipercepat,†kata Wakil Rektor Universitas Azzahra ini.
Lambannya penanganan kasus ini, kata Indra, akan menimbulkan terbengkalainya pengusutan kasus lain. Bahkan, kecurigaan masyarakat kian merebak, apalagi karena terÂsangÂkanya tidak ditahan.
“KeÂcurigaan bahwa ada keÂkuatan-kekuatan yang bisa mengÂhilangkan kasus ini, mencuat,†ujarnya.
Ilyas juga mengingatkan, henÂdaknya aparat penegak huÂkum tidak pandang bulu dalam mengusut kasus ini, walaupun berkenaan dengan BUMN. “Bisa jadi, jaksa lamban karena sungkan, sebab melibatkan eleÂmen yang bersentuhan dengan kekuatan negara,†katanya.
Ilyas berharap, kasus tersebut bisa segera disidangkan untuk pembuktian, apakah para terÂsangka itu korupsi atau tidak. “PerÂsidangan itu juga akan menÂjadi bukti, seperti apa kinerja kejaksaan,†tandasnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52