GAYUS Tambunan dan Dhana Widyatmika tiba-tiba saja mendadak menjadi orang yang terkenal saat ini di Indonesia. Bukan karena prestasinya di birokrasi meningkatkan penerimaan pajak, tetapi justru karena perbuatannya telah memperkokoh keyakinan tentang buruknya birokrasi Indonesia. Tidak semua birokrat seperti Gayus dan Dhana tetapi kelemahan sistem organisasi seperti dituliskan oleh Caiden, seorang pakar ternama reformasi administrasi, telah membentuk citra menyeluruh mengenai buruknya birokrasi Indonesia.
Tulisan singkat ini akan menjelaskan bagaimana menjelaskan fenomena Gayusisme dan Dhanaisme sebagai salah bentuk penyakit birokrasi terparah di negeri ini.
Vices, maladies, and sickness of bureaucracy constitute bureaupathologies. They are not individual failings of individuals who compose organizations but the systematic shortcomings of organizations that cause individuals within them to be quilty of malpractices. (Gerald E. Caiden, 1991).
Maladministrasi dan Penyakit Birokrasi
Apa yang terjadi dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh Gayus dan Dhana sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam birokrasi di Indonesia. Selain itu, jumlahnya pun tidak begitu besar dibandingkan dengan kasus-kasus serupa yang belum atau tidak terungkap. Tetapi tetap harus disyukuri bahwa akhirnya kesadaran tentang korupsi dalam birokrasi semakin terbuka lebar dengan terkuaknya kasus Gayus dan Dhana juga kasus kasus lainnya.
Maladministrasi yang saat ini mungkin dapat disebut dengan Gayusisme dan Dhanaisme atau nama lain yang barangkali akan segera muncul sebenarnya bukanlah kesalahan yang bersifat individual, tetapi timbul karena kelemahan sistematik dari organisasi birokrasi. Rumah tahanan, penjara dan lembaga pemasyarakatan mungkin akan penuh dengan birokrat-birokrat yang merupakan golongan Gayusisme dan Dhanaisme. Tetapi apakah kita akan memenjarakan semua birokrat-birokrat dengan predikat Gayusisme dan Dhanaisme tersebut dan mengatakan bahwa hal tersebut sebagai penyimpangan dan kesalahan yang bersifat individual.
Caiden mendefinisikan maladministrasi sebagai "
administrative action (or inaction) based on or influenced by improper consideration or condut". Pakar administrasi negara yang lain seperti Kenneth Wheare menyebutkan berbagai bentuk maladministrasi seperti i
llegality, corruption, neglect, perversity (ketidakwajaran),
turpitude (kejahatan/kekejian),
discourtesy dan
misconduct. Bahkan Caiden sendiri menyebutkan ada 175 penyakit birokrasi yang seringkali terjadi dan dilakukan oleh birokrat (common bureaupathologies).
Didorong oleh rasa ingin tahu, penulis mencermati dan menganalisis bahwa seluruh penyakit yang disebutkan oleh Caiden tersebut terjadi di dalam konteks Birokrasi di Indonesia pada saat ini. Coba kita bayangkan, menderita satu macam penyakit saja seringkali sudah sangat menyusahkan, apalagi menderita 175 jenis penyakit dalam waktu yang bersamaan. Jumlah patologi birokrasi ini sebenarnya bisa lebih banyak di Indonesia, mengingat penyakit birokrasi daerah tropis akan berbeda dengan birokrasi daerah sub-tropis seperti menjadi konteks dalam tulisan Caiden.
Maladministrasi sebagai bentuk patologi birokrasi terjadi secara sistematik, bukan individual. Kelemahan dan kegagalan organisasi untuk membentuk sistem yang mencegah terjadinya penyakit-penyakit birokrasi akan menyebakan perilaku menyimpang yang diterima secara kolektif.
Bahkan individu yang memiliki kharakter unggul dan idealisme yang tinggi tidak akan bisa bertahan lama ketika masuk dalam birokrasi, karena serangan penyakit yang demikian komplek. Birokrat yang semacam ini memiliki 3 pilihan, yaitu menjadi bagian dari sistem yang sakit, dianggap sebagai pesakitan karena tidak menjadi bagian dari sistem, atau keluar dari sistem birokrasi.
Fenomena Gayus, Dhana dan nama-nama birokrat lainnya yang akan muncul serta menjadi bagian dari sindrom Gayusisme atau Dhanaisme adalah patologi birokrasi yang sudah menahun dan sistemik. Patologi ini seperti gurita, merusak sel-sel produktif dalam birokrasi dan melibatkan hampir semua pejabat dalam semua strata. Bisa jadi, patologi birokrasi tersebut terjadi dari level Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintahan, para Direktur Jenderal, Direktur, Kepala Sub-Direktorat, Kepala Seksi sampai dengan birokrat tanpa jabatan.
Hal yang sama terjadi dalam birokrasi pemerintahan daerah. Apalagi setelah pemilihan langsung kepala daerah, penyakit birokrasi daerah semakin parah dan sulit disembuhkan. Para birokrat sebenarnya disamping sebagai pelaku adalah juga korban dari kejahatan yang ditimbulkan oleh buruknya sistem birokrasi Indonesia. Sebagai individu yang memiliki
self-interest, dalam sistem yang korup para birokrat akan memilih menjadi bagian dari sistem tersebut, dari pada harus menjadi pesakitan yang dianggap memiliki perilaku menyimpang.
Itu sebabnya, mayoritas birokrat sebenarnya sangat berpotensi mengidap penyakit sindrom Gayusisme dan Dhanaisme yang bersifat menular dan menahun. Sekarang bisa dibayangkan, bahwa secara genetis mayoritas birokrat di Indonesia (meskipun tidak semua) adalah monster yang setiap saat berperilaku menyimpang dan berpotensi melakukan korupsi.
fairness, seperti rencana kenaikan BBM yang akhir-akhir ini menjadi 'monster' bagi rakyat, yang siap memiskinkan masyarakat dan membebani seluruh biaya sendi-sendi perekonomian negara. Seolah negara dalam kondisi parah dan defisit, namun kenyataannya defisit terjadi akibat dari berbagai penyakit yang di buat oleh pemerintah itu sendiri.
Perintah Presiden untuk mengungkap tuntas kasus mafia pajak dan mafia kasus tidak boleh hanya berhenti hanya sekadar sebagai sindrom paruh waktu, tetapi harus terus bergulir menjadi semangat dan gerakan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Karena pada dasarnya korupsi yang terjadi dalam birokrasi tidaklah berdiri sendiri, melainkan juga melibatkan penegak hukum dan juga politisi, maka terapi reformasi birokrasi harus dilakukan secara radikal. Terapi ini dilakukan antara lain dengan memutus media pertukaran kewenangan (
authority exchange) yang melibatkan pejabat birokrasi, pejabat penegak hukum dan politisi.
Reformasi birokrasi juga harus meliputi pengawasan yang ketat dan konsisten terhadap para pejabat birokrasi dan penegak hukum dengan metode pembuktian terbalik atas kekayaan yang dimilikinya. Pejabat yang memiliki kekayaan tidak wajar dibandingkan penghasilannya sebagai pegawai negeri, harus dapat membuktikan asal-usul kekayaannya tersebut.
Pada sisi yang lain, promosi jabatan dalam birokrasi harus dilakukan secara terbuka dan berdasarkan catatan kompetensi dan kinerja yang dimiliki oleh seorang birokrat. Berbagai perbaikan sistem yang radikal ini diharapkan dapat menjadi obat pamungkas untuk mengurangi patologi dalam birokrasi.[***]
Penulis adalah kandidat Doktor Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia sekaligus anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan