Berita

ilustrasi/ist

WIND OF CHANGE

Kelas Menengah Indonesia Gampang Mengeluh

MINGGU, 10 JULI 2011 | 19:11 WIB | LAPORAN: TEGUH SANTOSA

RMOL. Karena memiliki kesadaran politik yang rendah, kelas menengah Indonesia pun malas terlibat dalam aksi massa, dan lebih memilih menjadi penonton. Inilah salah satu sebab mengapa perubahan politik Indonesia tidak melibatkan kelas menengah.

“Partisipasi politik mereka terbatas pada solidaritas seperti mengumpulkan koin untuk Prita Mulyasari, atau menyumbang korban bencana alam. Kalau diajak turun ke jalan seperti di Malaysia almost impossible karena mereka hanya memikirkan kepentingan pribadi dan keluarga saja,” ujar jurnalis senior Budiarto Shambazy ketika menyampaikan pandangannya mengenai kemungkinan gerakan massa menentang pemerintah seperti di Malaysia.

Menurut Budiarto, kualitas kelas menengah Indonesia adalah salah satu sebab utama mengapa gerakan seperti yang terjadi di Malaysia, juga di beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika Utara, sulit terjadi di Indonesia.

Budiarto yang berbicara kepada Rakyat Merdeka Online pada Minggu siang (10/7) juga mengatakan bahwa kalkulasi utama kelas menengah Indonesia adalah “what's in it for me”.

“Mereka amat pragmatis dan oportunis. Tapi sama sekali tidak mau berpartisipasi,” sambungnya lagi.

Ketika belang rezim sudah ketahuan, kelas menengah mengeluh panjang lebar sembari berharap ada pihak lain, dalam hal ini mahasiswa, yang mau turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Tetapi, di saat mahasiswa berdemonstrasi, kelas menengah akan mengeluhkan kemacetan lalulintas dan aksi pembakaran ban yang mungkin terjadi. Apabila demonstrasi itu gagal, mereka akan mengumpat sejadi-jadinya. Tetapi, bila berhasil, mereka akan berpesta pora seperti orang yang paling berperan.

“Saya lebih suka kelas bawah karena mereka tahu mereka mau apa. Mereka (kelas bawah) lebih mengerti cara mengelola gaji yang pas-pasan dan loyal terhadap pilihan pemimpin dan partai juga ideologi,” kata Budiarto lagi.

Ciri lain kelas menengah Indonesia adalah gampang mengeluh. Di zaman Soeharto merindukan Bung Karno. Di zaman BJ Habibie merindukan Soeharto, di zaman Gus Dur merindukan BJ Habibie, di zaman Megawati merindukan Gus Dur. Dan sekarang menyesal memilih SBY karena dulu membenci Mega. [guh]


Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Bangunan di Jakarta Bakal Diaudit Cegah Kebakaran Maut Terulang

Senin, 29 Desember 2025 | 20:13

Drama Tunggal Ika Teater Lencana Suguhkan Kisah-kisah Reflektif

Senin, 29 Desember 2025 | 19:53

Ribuan Petugas Diturunkan Jaga Kebersihan saat Malam Tahun Baru

Senin, 29 Desember 2025 | 19:43

Markus di Kejari Kabupaten Bekasi Mangkir Panggilan KPK

Senin, 29 Desember 2025 | 19:35

DPP Golkar Ungkap Pertemuan Bahlil, Zulhas, Cak Imin, dan Dasco

Senin, 29 Desember 2025 | 19:25

Romo Mudji Tutup Usia, PDIP Kehilangan Pemikir Kritis

Senin, 29 Desember 2025 | 19:22

Kemenkop Perkuat Peran BA dalam Sukseskan Kopdes Merah Putih

Senin, 29 Desember 2025 | 19:15

Menu MBG untuk Ibu dan Balita Harus Utamakan Pangan Lokal

Senin, 29 Desember 2025 | 19:08

Wakapolri Groundbreaking 436 SPPG Serentak di Seluruh Indonesia

Senin, 29 Desember 2025 | 19:04

Program Sekolah Rakyat Harus Terus Dikawal Agar Tepat Sasaran

Senin, 29 Desember 2025 | 18:57

Selengkapnya