Berita

anne frank/ist

Dunia

KISAH NYATA

Setelah Pohon Berangan Anne Frank Tumbang

MINGGU, 12 JUNI 2011 | 11:36 WIB | LAPORAN: TEGUH SANTOSA

Anne Frank, dan kakaknya, Margot, diperkirakan meninggal dunia sekitar satu bulan sebelum pasukan Inggris merebut kamp konsentrasi Bergen Belsen di Lower Saxony, Jerman, dari tangan pasukan SS Nazi pada pertengahan April 1945. Anne dan Margot, seperti ribuan tahanan lain di kamp itu mati karena tipus, TBC, kelaparan, kekurangan gizi, kedinginnan, dan kelelahan yang amat sangat.

Hari ini Anda dapat menemukan batu nisan Anne dan Margot di tengah Bergen Belsen yang telah diubah menjadi sebuah taman untuk mengenang kekejaman perang di masa itu. Foto Anne dan Margot diletakkan di batu nisan alami itu bersama karangan bunga, lilin, dan batu-batu kecil lain yang dibawa para peziarah.

Anne adalah anak bungsu Otto Frank, seorang pengusaha Belanda berdarah Yahudi. Setelah Jerman menginvasi Belanda, keluarga Frank memilih bersembunyi di sebuah kamar rahasia di kantor Otto di Jalan Prinsengracht, Amsterdam. Dua tahun lamanya keluarga Frank dan empat kerabat mereka bersembunyi di kamar rahasia itu sampai polisi rahasia Belanda dan serdadu Schutzstaffeln menangkap mereka pada suatu pagi di awal Agustus 1944.

Dari Amsterdam keluarga Frank ditahan di kamp konsentrasi Auschwitz, di Polandia. Di bulan Oktober 1944, mereka dipisahkan. Anne dan Margot dipindahkan ke Bergen Belsen di dekat Hannover dan meninggal di sana. Sementara Otto dan ibu mereka, Edith, tetap ditahan di Auschwitz. Edith meninggal di bulan Januari. Adapun Otto dapat bertahan hidup. Ia meninggal dunia tahun 1980 di Switzerland karena kanker paru-paru.

Buku harian milik Anne, tempat ia menuliskan berbagai kisah selama masa persembunyian, berhasil diselamatkan salah seorang keluarga Belanda yang membantu keluarga Frank. Setelah perang berakhir, catatan harian Anne Frank itu diterbitkan dan telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa.

Kisah terakhir yang berkaitan dengan Anne dan keluarga Frank datang beberapa hari lalu mengenai sebatang pohon chestnut atau castanea atau dalam bahasa Indonesia disebut berangan berusia antara150 hingga 170 tahun. Ini bukan pohon berangan biasa.

Pohon ini tumbang dihantam petir pada Agustus tahun lalu.

Selama dua tahun dalam persembunyian, pohon berangan ini adalah satu-satunya pohon yang bisa dilihat Anne Frank dari jendela kamar rahasia keluarga mereka.

“Dari tempat favoritku di lantai itu aku dapat memandang langit yang biru dan pohon chestnut yang cabang-cabangnya berkilauan bagai perak oleh tetes air hujan,” tulis Anne pada 23 Februari 1944.

“Selama pohon ini eksis dan sudah tentu begitu, selama itu pula aku tahu selalu ada kemudahan untuk setiap penderitaan, bagaimanapun keadaannya,” tulisnya lagi.

Di musim semi terakhir, April 1944, Anne kembali bercerita tentang sang pohon berangan. “Pohon chestnut kami sudah mulai tampak kehijau-hijauan dan kau bahkan bisa melihat kuncup-kuncupnya di sana sini.”

***

23 Agustus 2010 malam ketika Amsterdam diguyur hujan badai, sebuah petir menyambar pangkal pohon chestnut itu. Pohon itu tumbang meninggalkan bongkahan setinggi sekitar satu meter.

Yayasan Pendukung Pohon Anne Frank marah pada kontraktor yang membangun sebuah penopang dari besi yang diharapkan dapat mempertahankan pohon itu tetap hidup. Yayasan Pohon Anne Frank menuding kontraktor sengaja merusak dan membunuh pohon itu sama sekali, dan membiarkannya membusuk. Seharusnya, menurut Yayasan Pohon Anne Frank, pihak kontraktor mengirimkan bongkahan pohon ke museum Yahudi atau organisasi lain di seluruh dunia yang ingin menyimpannya.

Sebegitu marah pihak Yayasan, mereka menuding kontraktor bertingkah tak ubahnya Nazi.

Sebetulnya, pihak pemerintah kota Amsterdam telah berencana menumbangkan pohon itu beberapa tahun lalu. Maklumlah, usia pohon telah begitu tua, dan kekuatan batangnya pun semakin lemah untuk menopang seluruh cabang dan ranting juga daun. Apalagi, sejak setidaknya satu dekade lalu, batang sang chestnut dirusak oleh penyakit jamur. Bila tidak ditumbangkan, pemerintah Amsterdam khawatir pohon itu akan tumbang dengan tiba-tiba dan melukai atau mungkin menewaskan orang yang kebetulan ada di bawahnya.

Tetapi, rencana itu digagalkan oleh para penentang.

“Pohon ini adalah monumen harapan,” ujar Helga Fassbinder, anggota Yayasan Pohon Anne Frank yang juga pensiunan gurubesar yang tinggal tak jauh dari pohon berangan Anne Frank.

Pada tahun 2008 Yayasan PAF mengambil alih tanggung hawab untuk mempertahankan hidup sang pohon. Menurut sejumlah ahli botani, pohon chestnut ini masih memiliki peluang hidup antara 5 hingga 15 tahun lagi bila dibantu dengan penopang besi.

Dengan pertimbangan itulah, seorang anggota Dewan Yayasan PAF, Arnold Heertje, yang juga dikenal sebagai ekonom papan atas di Belanda, meminta kontraktor lokal , Rob van der Leij, membangun pondasi metal di bawah pohon. Seperti Anne dan keluarga Frank, Heertje juga punya kisah tersendiri selama masa pendudukan Nazi di Belanda. Heertje selamat dan bisa bertahan dalam persembunyian.

Harga pondasi metal yang dipersiapkan itu sekitar 170 ribu dolar AS, dan pembangunannya selesai dilakukan pada April 2008. Sang kontraktor, Van der Leij, dan pihak lain yang membantu pembangunan pondasi metal itu sepakat menyumbangkan sekitar 120 ribu dolar AS dari harga pekerjaan. Itu artinya pihak Yayasan hanya perlu membayar 50 ribu dolar AS.

Tetapi, setelah pekerjaan selesai, pihak Yayasan hanya bisa membayar sekitar setengah dari kewajiban 50 ribu dolar AS.

Van der Leij memahami kesulitan Yayasan. Ia tidak marah, melainkan menganggap 25 ribu dolar AS yang belum terbayar sebagai pinjaman tanpa bunga. Adapun Yayasan, mengajaknya bergabung dalam Dewan Yayasan.

Begitulah, sampai pada malam hari 23 Agustus tahun lalu, pohon setinggi sekiatr 70 kaki itu tumbang.

Setelah pohon berangan Anne Frank tumbang, Yayasan menggelar rapat mendadak di sebuah kafe yang berada di seberang rumah Helga Fassbinder. Dalam rapat itu, menurut Helga, pihak Van der Leij mengaku bertanggung jawab atas kegagalan pondasi metal yang dibuatnya. Selain itu, masih menurut Fassbinder, kontraktor juga setuju untuk mengangkut pohon yang tumbang itu sesegera mungkin.

Adapun Rob Van der Leij mengatakan, segera setelah mendengar kabar pohon berangan Anne Frank tumbang, ia menghubungi Generali Non-Life, perusahaan yang membantu mengasuransikan pohon itu. Generali mengatakan bahwa asuransi untuk sang chestnut tidak termasuk menutupi biaya kerusakaan yang terjadi akibat pohon tumbang. Dalam rapat di kafe itu, Rob Van der Leij menyarankan agar anggota Dewan Yayasan patungan menanggung biaya kerusakan yang diakibatkan pohon tumbang itu, bila perlu.

Juga di dalam rapat itu Rob Van der Leij merasa mendapatkan mandat untuk mengangkat pohon sebesar 30 ton itu.

Tetapi, setelah melakukan pekerjaannya, ia menerima surat yang menyesalkan pembersihan pohon. Saat itu, kepercayaannya pada Yayasan berkurang. Rob Van der Leij menggelar rapat kedua untuk mengajukan protes. Tetapi yang terjadi sebaliknya. Arnold Heertje yang tidak datang dalam rapat pertama malah marah-marah dan membandingkan-bandingkan urusan pohon tumbang dengan Auschwitz dan kamar gas.

Dalam pertemuan tertutup dengan Arnold Heertje, katanya, dia dipaksa untuk mencabut gugatan kecuali bila ingin kesalahannya dalam proyek pembangunan pondasi metal pohon Anne Frank jadi pemberitaan di media massa.

Van der Leij tak takut. Desember tahun lalu pengacara yang disewa Rob Van der Leij mengirimkan tagihan uang pembayaran ongkos pemindahan pohon tumbang.

Beberapa hari setelah itu, Rob Van der Leij menerima sepucuk surat yang difaxkan Arnold Heertje ke kantornya. Surat itu juga ditembuskan kepada anggota Dewan Yayasan yang lain dan media lokal, de Volkskrant. Heertje kembali menyebut Rob Van der Leij tak ubahnya seperti petinggi-petinggi Nazi.

Keributan semakin tak terelakkan. Bulan lalu Rob Van der Leij mengajukan gugatan hukum. Dia juga menagih utang Yayasan sebesar 50 ribu dolar AS.

“Saya tak peduli dengan uang itu. Setelah mendapatkannya saya akan mendonasikan uang itu,” kata Rob Van der Leij seperti dikutip Huffington Post. Van der Leij sangat kecewa dituding sebagai orang jahat yang mencuri peninggalan budaya Yahudi.

Selama menunggu keputusan pengadilan, Rob Van der Leij memindahkan bongkahan pohon itu ke kantornya. Dia bermaksud mengirimkannya ke museum Yahudi yang ada di beberapa negara. Calon penerima adalah museum Yahudi di Berlin, New York, dan tuan rumah, Amsterdam.

“Bagaimanapun juga ini adalah pohon Anne Frank. Ini adalah tanggung jawab kita untuk memperlakukannya dengan baik,” demikian Van der Leij. [guh]


Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Pidato Prabowo buat Roy Suryo: Jangan Lihat ke Belakang

Senin, 08 Desember 2025 | 12:15

UPDATE

BNN-BNPP Awasi Ketat Jalur Tikus Narkoba di Perbatasan

Jumat, 19 Desember 2025 | 00:09

Perkuat Keharmonisan di Jakarta Lewat Pesona Bhinneka Tunggal Ika

Jumat, 19 Desember 2025 | 00:01

Ahmad Doli Kurnia Ditunjuk Jadi Plt Ketua Golkar Sumut

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:47

Ibas: Anak Muda Jangan Gengsi Jadi Petani

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:26

Apel Besar Nelayan Cetak Rekor MURI

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:19

KPK Akui OTT di Kalsel, Enam Orang Dicokok

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:12

Pemerintah Didorong Akhiri Politik Upah Murah

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:00

OTT Jaksa oleh KPK, Kejagung: Masih Koordinasi

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:53

Tak Puas Gelar Perkara Khusus, Polisi Tantang Roy Suryo Cs Tempuh Praperadilan

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:24

Menkeu Purbaya Bantah Bantuan Bencana Luar Negeri Dikenakan Pajak

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:24

Selengkapnya