Berita

X-Files

Kejagung Belum Bisa Bekuk 11 Buronan

KAMIS, 30 DESEMBER 2010 | 06:13 WIB

RMOL. Tugas yang sangat berat disandang Jaksa Agung baru, Basrief Arief. Betapa tidak, Korps Adhyaksa belum bisa membekuk 11 buronan yang kabur ke luar negeri hingga tahun ini akan berganti.

Berdasarkan data dari Kejaksaan Agung, Sebelas buronan itu ada­lah Andrian Kiki Ariawan, Eko Edi Putranto, Hary Matalata, Hendro Bambang Sumantri, Hes­ham Al Waraq, Rafat Ali Rizvi, Lesmana Basuki, Samadikun Har­tono, Sherny Kojongian, Sud­jiono Timan dan Tony Suherman.

Yang pertama ialah Andrian Kiki Ariawan. Pria kelahiran Jakarta, 28 April 1944 ini men­jabat sebagai Direktur Utama PT Bank Surya. Menurut data Ke­jaksaan Agung, Andrian merugi­kan keuangan negara dengan cara memberikan persetujuan kredit kepada 166 perusahaan yang dibentuk atau di bawah kendali Bambang Sutrisno yang tidak melakukan kegiatan operasional/paper company senilai Rp 1,030 miliar pada 1989-1998.


Diduga, Andrian telah me­rugi­­kan negara sebanyak Rp. 1.963.897.431.978,17 (satu tri­­li­un, sembilan ratus enam puluh tiga miliar, delapan ratus sembilan puluh tujuh juta, empat ratus tiga puluh satu ribu, sembilan ratus tujuh puluh delapan rupiah, tujuh belas sen). Posisi terakhir menurut Korps Adhyaksa, Andrian telah di­tang­kap kepolisian Australia, namun dia belum dibawa pu­lang ke Indonesia.

Kemudian, Eko Edi Putranto. Dia dilahirkan di Jakarta pada 9 Maret 1967. Eko merupakan be­kas Komisaris PT BHS. Menurut data Kejagung, Eko bersama kawan-kawannya memberikan persetujuan untuk memberikan kredit kepada 28 lembaga pem­bi­ayaan yang ternyata merupakan rekayasa, karena kredit itu oleh lembaga pembiayaan disalurkan kepada perusahaan group dengan cara dialihkan atau disalurkan dengan menerbitkan giro kepada perusahaan group.

Tanpa melalui proses admini­stra­si kredit dan tidak dibukukan, selanjutnya beban pembayaran lembaga pembiayaan kepada PT BHS dihilangkan dan dialihkan kepada perusahaan group. Korps Adhyaksa menaksir kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 1.950.995.354.200 (satu tri­liun, sembilan ratus lima puluh miliar, sembilan ratus sembilan puluh lima juta, tiga ratus lima pu­luh empat ribu, dua ratus rupiah). Info yang didapat Ke­jagung, Eko saat ini berada di Australia Barat dan Sudah di­kirim formal requestnya ber­sama terpidana Adrian Kiki Ariawan.

Yang ketiga, Hary Matalata. Dia merupakan Direktur PD Pooja dan PT Devi Pooja Kumari. Hary dinilai Kejagung  me­lawan hukum lantaran meng­ajukan dan menerima SE atas hasil ekspor tek­stil atau produk tekstil ke Singapura, sehingga negara dirugikan sebesar Rp 1.655.836.251,37 (satu miliar, enam ratus lima puluh lima juta, delapan ratus tiga puluh enam ribu, dua ratus lima puluh satu rupiah tiga puluh tujuh sen). Saat ini posisinya masih belum diketahui keberadaannya.

Buronan selanjutnya ialah Hendro Bambang Sumantri. Hendro merupakan pria kelahiran 31 Januari 1929. Dia adalah pensiunan Departemen Perda­gang­an. Menurut Kejagung, Hendro telah melakukan kesala­han dalam penyalahgunaan la­boratorium Pusat Pengendalian Mutu Barang Departemen Per­dagangan Ri (PPMB) meng­akibatkan kerugian negara sebe­sar Rp 130.985.390,47 (seratus tiga puluh juta, sembilan ratus delapan puluh lima ribu, tiga ratus sembilan puluh rupian, empat puluh tujuh sen).  Saat ini posisi keberadaan Hendro pun belum diketahui secara pasti.

Selanjutnya ialah duet Hesham Al Waraq dan Rafat Ali Rizvi. Mereka telah merugikan keuang­an negara karena terlibat kasus ko­rupsi Bank Century yang mem­bobol uang negara Rp 3,1 triliun.

Ketujuh ialah Lesmana Basuki. Lesmana merupakan Presiden Direktur PT Sejahtera Bank Umum. Menurut Kejagung, pria kelahiran 13 Januari 1923 itu antara Mei 1994 sampai Februari 1998 bertempat di kantor PT Sejahtera Bank Umum, Jalan Wahid Hasyim Nomor 65 Jakarta Pusat, telah menjual surat-surat berharga berupa Commercial Paper (CP) dan atau Medium Term Note (MTN) atas tang­gungan PT Hutama Karya.

Dana hasil penjualan CP dan MTN yang di arrenger oleh PT SBU dimasukkan ke rekening konsorsium Hutama Yala Nomor 08-11666-45 di PT SBU cabang Ha­yam Wuruk. Seharusnya, di­masukkan ke rekening PT Hu­tama Karya. Hasil penjualan yang terdapat pada rekening itu juga digunakan untuk pelunasan CP/MTN yang jatuh tempo, yang seharusnya pelunasan itu dari uang yang disetorkan PT Hutama karya, dan sebagian lagi diguna­kan untuk kepentingan diri sen­diri, orang lain atau suatu badan.

Kerugian negaranya mencapai Rp 209.350.000.000.

Buronan Kasus BLBI Juga Belum Ditangkap

Buronan Kejagung selanjut­nya adalah Sama­dikun Hartono. Dia adalah bekas Komi­saris Uta­ma PT Bank Mo­dern. Menurut data dari Ke­jagu­ng, PT. Bank Modern, sebagai bank umum swasta nasional yang mengalami saldo debet karena terjadinya rush, dimana untuk menutup saldo debet tersebut PT Bank Modern, telah menerima bantuan  likuidasi dari Bank In­donesia dalam bentuk Surat Ber­harga Pasar Uang Khusus (SB­PUK), Fasdis dan Dana Talangan Valas sebesar Rp 2.557.694.000.000 (dua triliun, lima ratus lima puluh tujuh miliar, enam ratus sembilan puluh empat juta rupiah).

Bahwa dari jumlah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam bentuk SBPUK, Fasdis dan dana talangan valas sebesar Rp 2,5 triliuan tersebut, Samadikun dalam kapasitasnya selaku Presiden Komisaris PT Bank Modern,  telah mengguna­kan bantuan likuiditas dari Bank Indonesia tersebut me­nyimpang dari tujuan yang secara keselu­ruhan berjumlah Rp 80.742.270.528,81 (delapan puluh miliar, tujuh ratus empat puluh dua juta, dua ratus tujuh puluh ribu, lima ratus dua puluh delapan rupiah, delapan puluh satu sen). Info yang didapat Korps Adhyaksa, Samadikun saat ini tinggal di apartemen Beverly Hills Singapura dan punya pabrik film di China dan Vietnam.

Di posisi kesembilan ada sosok perempuan bernama Sherny Kojongian. Sherny merupakan bekas Direktur Internasional  dan Direktur Kredit PT BHS. Wanita kelahiran Manado, 8 Februari 1963 ini dinilai Kejagung ber­salah karena BI telah mengeluar­kan surat yang ditujukan kepada Direksi PT BHS tanggal 18 September 1997 dan yang pada pokoknya berisi agar Direksi PT BHS menghentikan penyaluran kredit kepada Direktur terkait.

Namun larangan tersebut tidak ditaati oleh Sherny yang telah memberikan persetujuan penari­kan dana oleh pihak terkait dan penarikan dana Valas pihak terkait. Sehingga, muncul kerugi­an negara sebesar Rp. 1.950.995.354.200 (satu triliun, sembilan ratus lima puluh miliar, sembilan ratus sembilan puluh lima juta, tiga ratus lima puluh empat ribu, dua ratus rupiah).

Selanjutnya, ada Sudjiono Timan. Sudjiono merupakan seorang konsultan dan bekas Direktur Utama PT Bahana Pem­binaan Usaha.

Berdasarkan data Kejagung, Sudjiono Timan seba­gai Dirut PT Bahana Pem­binaan Usaha Indo­nesia (BPUI) pada tahun 1995 - 1997 telah menya­lah­­gunakan kewe­nang­an dengan cara mem­berikan pinjaman kepada Festival company Inc sebesar 67 juta dolar AS, Penta Invesmen Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL US 34.629.­701,65 dolar AS dan dana Pinja­man Pemerintah (RDI) sebesar Rp 98.703.388.000 (sembilan puluh delapan miliar, tujuh ratus tiga juta, tiga ratus delapan puluh delapan ribu rupiah). Akibat kelakuannya, negara dirugikan Rp 98 miliar. Saat ini Sudjiono dikabarkan tengah berada di Ardmare Park Singapura.

Terakhir, atau yang kesebelas terdapat nama Tony Suherman. Tony merupakan Direktur Ope­rasional PT Sejahtera Bank Umum (PT SBU). Kejagung menilai, Tony sebagai Direktur Operasional PT SBU pada waktu antara bulan Mei 1994 - Februari 1998 bertempat di kantor PT Sejahtera Bank Umum, Jalan Wahid Hasyim Nomor 65 Jakarta Pusat telah menjual surat-surat berharga berupa Commercial Paper (CP) dan atau Medium Term Note (MTN) atas tanggung­an PT Hutama Karya.

Dana hasil penjualan CP dan MTN yang di arrenger oleh PT SBU dimasukkan ke rekening konsorsium Hutama Yala Nomor 08-11666-45 di PT SBU cabang Hayam Wuruk yang seharusnya dimasukkan ke rekening PT Hutama karya dan hasil penjualan yang terdapat pada rekening tersebut digunakan untuk peluna­san CP dan MTN yang jatuh tempo, yang seharusnya peluna­san tersebut dari uang yang di­setorkan PT Hutama Karya dan sebagian lagi digunakan untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau suatu badan. Berdasar­kan data Kejagung, untuk kasus ini negara telah dirugikan Rp 209.350.000.000 (dua ratus sem­bilan miliar, tiga ratus lima puluh juta rupiah) dan 105.000.000 dolar AS.

Kok, Tim Pemburu Tak Ada Hasilnya
Dasrul Djabar, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR, Dasrul Djabar meminta Jaksa Agung Basrief Arief memprioritaskan pengejaran para buronan yang kabur membawa uang negara, selain mengembalikan uang negara tersebut ke kas negara.

“Yang pasti Pak Basrief Arief perlu wujudkan keseriusan un­tuk membawa pulang para bu­ron­an itu, selain meng­em­bali­kan uang negara dalam kasus-kasus itu,” katanya ketika dihubungi, kemarin.

Menurut Dasrul, nasib 11 bu­ronan tersebut semakin menjadi tak jelas meskipun Korps Adhyaksa sudah mem­bentuk tim pemburu para buronan. Bahkan, dia menilai, pembentu­kan tim itu hanya sebagai propaganda untuk mengelabui masyarakat.

“Buk­ti­nya mana, tim di­bentuk kok tak berhasil mena­ngkap para buronan kelas kakap tersebut. Padahal, salah satunya ialah buronan mega skandal Bank Century,” tegas­nya.

Politisi Demokrat ini menya­ran­kan, bila Kejagung berniat untuk menyeret para obligor yang merugikan negara, se­baik­nya dipersiapkan perang­kat hukum, dan langkah politik yang maksimal, termasuk koor­dinasi dengan semua pi­hak terkait. “Pastikan daftar pen­ca­ri­an orangnya. Kemu­dian laku­kan pengejaran ke tempat buro­nan itu bersem­bunyi atau hu­bungi pihak interpol,” ujarnya.

Korps Adhyaksa diingatkan oleh Dasrul jangan mengumbar pernyataan yang masih klise alias tidak jelas dengan meng­atakan membentuk tim pem­buru dan akan membawa pula­ng para buronan tersebut.

“Ha­nya dengan membukti­kan uca­pan­nya Kejagung bisa mem­perbaiki citra, jangan umbar janji terus yang bertuju­an meninabobokan masyara­kat,” imbuhnya.

Alhasil, Dasrul menilai lem­baga yang dikomandoi oleh Basrief Arief itu masih lemah. Pasalnya, sampai saat ini Korps Adhyaksa itu belum bisa membuat gebrakan baru pasca lengsernya Hendarman Supan­dji.

“Harus buat gebrakan yang baru agar tak dikatakan lemah, minimal kejar asetnya jika tidak mampu untuk menang­kap ora­ngnya, sehingga nega­ra tidak rugi dua kali lipat,” tandasnya.

Dasrul yakin Korps Adhyak­sa mampu mengembalikan aset para buro­nan itu asalkan di­sertai dengan keseriusan dan praktik nyata.

“Hanya dengan cara itu me­nang­kap koruptor tidak akan memakan waktu hingga ber­tahun-tahun seperti ini. Sampai-sam­pai sudah ganti Jaksa Agu­ng pun belum bisa menangkap pula,” ujarnya.   [RM]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Bangunan di Jakarta Bakal Diaudit Cegah Kebakaran Maut Terulang

Senin, 29 Desember 2025 | 20:13

Drama Tunggal Ika Teater Lencana Suguhkan Kisah-kisah Reflektif

Senin, 29 Desember 2025 | 19:53

Ribuan Petugas Diturunkan Jaga Kebersihan saat Malam Tahun Baru

Senin, 29 Desember 2025 | 19:43

Markus di Kejari Kabupaten Bekasi Mangkir Panggilan KPK

Senin, 29 Desember 2025 | 19:35

DPP Golkar Ungkap Pertemuan Bahlil, Zulhas, Cak Imin, dan Dasco

Senin, 29 Desember 2025 | 19:25

Romo Mudji Tutup Usia, PDIP Kehilangan Pemikir Kritis

Senin, 29 Desember 2025 | 19:22

Kemenkop Perkuat Peran BA dalam Sukseskan Kopdes Merah Putih

Senin, 29 Desember 2025 | 19:15

Menu MBG untuk Ibu dan Balita Harus Utamakan Pangan Lokal

Senin, 29 Desember 2025 | 19:08

Wakapolri Groundbreaking 436 SPPG Serentak di Seluruh Indonesia

Senin, 29 Desember 2025 | 19:04

Program Sekolah Rakyat Harus Terus Dikawal Agar Tepat Sasaran

Senin, 29 Desember 2025 | 18:57

Selengkapnya