Ibukota sudah dalam kondisi Darurat Preman dan Polda Metro Jaya tidak mampu mengatasinya. Sehingga aksi-aksi premanisme makin sadis karena merasa dibiarkan aparat kepolisian.
"Pemerintah tidak boleh membiarkan kasus ini dan harus mendesak Pom TNI maupun Polri mengusutnya. Sebab aksi sadis ini terjadi di sekitar Istana Kepresidenan dan di pusat pemerintahan RI maupun pusat pemerintahan Jakarta," tegas Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW), Neta S. Pane (Kamis, 26/6).
Selasa malam kemarin, Yusri (47) seorang juru parkir liar di Monas dibakar seorang oknum TNI Sertu HS karena tidak memberikan setoran jatah preman sebesar Rp 50.000.
Menurut Neta, tentu sangat ironis jika di sekitar pusat pemerintahan RI sudah dikuasai preman dan preman tersebut bebas berbuat sadis, apalagi preman itu adalah oknum TNI.
"Kasus ini adalah gambaran bahwa para preman di Jakarta makin sadis dan polisi makin tak berdaya," tegasnya.
Dari pendataan IPW, para preman di Jakarta terdiri dari oknum aparat keamanan, oknum aparat pemda, oknum ormas, dan kelompok masyarakat lainnya.
Di Jakarta sedikitnya ada 15 kelompok besar preman, yang sebagian besar terdiri dari beberapa suku. Kelompok-kelompok ini umumnya dibacking oknum aparat, sehingga mereka bebas "berkuasa".
"Bahkan kawasan di depan Polda Metro Jaya, tepatnya di Parkir Timur Senayan dikuasai tiga kelompok preman dan polisi membiarkannya saja," beber Neta.
Ke-15 kelompok preman Jakarta menguasai kawasan tempat hiburan malam, pasar, terminal, lokasi kaki lima, parkir liar, dan lain-lain. Di sekitar Roxi, Jakpus misalnya ada 20 titik parkir liar.
"Setiap titik harus setor ke oknum aparat sebanyak dua shift, yang satu shiftnya Rp 150.000. Gurihnya dana segar di lingkungan preman membuat kawasan parkir liar sulit diberantas dan premanisme tumbuh subur dan makin sadis dalam mendapatkan jatah uang setoran," ungkap Neta.
Karena itu, IPW mendesak pemerintah perlu serius membersihkan aksi preman di ibukota agar sadisme bisa dicegah.
[zul]
BERITA TERKAIT: