Demikian disampaikan pengamat hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Arief Setiawan menanggapi putusan Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap terdakwa kasus bioremediasi Herlan Bin Ompo selaku Direktur PT Sumi Gita Jaya, Widodo selaku Team Leader Weste Management PT CPI Duri, dan Ricksy Prematury selaku Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI).
"Dalil dakwaan jaksa penuntut umum dan pertimbangan hukum majelis hakim yang menyatakan perkara ini merupakan ranah korupsi merupakan lompatan," kata Arief kepada wartawan di Jakarta, Rabu (26/2).
Dia menjelaskan, kalaupun terdapat unsur pidana, maka sesuai asas lex spesialis bukanlah pidana korupsi tetapi pidana di bidang lingkungan hidup yang diatur Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menurut Arief, majelis hakim hanya mempertimbangkan laporan Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan dan keterangan ahli dari JPU Kejaksaan Agung, Dr. Edison Efendi yang menyebut tanah tidak perlu dibioremediasi karena Total Petroleum Hidrocarbon (TPH)-nya kurang atau sama dengan satu persen. Bukan di atas 7,5-15 persen. Padahal, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003, tidak pernah menyebutkan batasan angka 7,5-15 persen.
Soal pengelolaan limbah bahan beracun berbahaya (B3), PT CPI bisa melibatkan pihak lain, sesuai pasal 59 ayat 3 Undang-Undang Nomor 32/2009, dan PT CPI sudah mempunyai izin mengelola B3.
"Pertimbangan hakim Sofialdi benar PT GPI dan PT SGJ tidak harus tunduk pada ketentuan itu. Hanya PT CPI yang wajib tunduk pada ketentuan Bab I huruf G ayat 2 huruf I angka 1 PTK No 007/VI/2004 BP Migas karena termasuk kontraktor kontrak kerja sama (KKKS)," jelas Arief.
Terkait pembuktian perkara yang telah diputus, lanjutnya, majelis hakim juga hanya menggunakan keterangan ahli Edison Efendi. Padahal Edison dan Prayitno juga pernah mengikuti tender di PT CPI atas nama PT Sinar Mandar Mandiri pada 2007 dan 2011. Edison juga pernah melakukan proyek ini di PT CPI atas nama PT Riau Putra Kemari, sehingga dinilai mempunyai konflik kepentingan, seperti disampaikan hakim Sofialdi. Hakim tersebut juga menyatakan bahwa keterangan Edison yang menjelaskan Kepmen LH Nomor 128 Tahun 2003 patut diragukan.
"Mestinya pendapat ahli tersebut dimintakan pendapat ahli yang lebih kompeten seperti dari ITB, IPB, dan UI," papar Arief.
Dalam kesimpulannya, Arief menilai para terdakwa kasus bioremediasi seharusnya bebas demi hukum jika mengacu pada hukum acara, karena terjadi dissenting opinion. Dua hakim menyatakan bersalah dalam dakwaan subsider, sementara satu hakim menyatakan terbukti dakwaan primer, dan dua hakim lainnya menyatakan tidak terbukti dakwaan primer dan subsider.
Dua hakim menyatakan terdakwa Widodo bersalah dalam dakwaan subsider, sedang dua hakim membebaskan dari dakwaan primer dan subsider, maka tidak mungkin diambil putusan dengan mengambil suara terbanyak, bahwa terdakwa bersalah melakukan dakwaan subsider.
"Mestinya kasus tersebut tidak dapat lagi dimusyawarahkan, mengingat sudah ada dissenting opinion dari tiga hakim yang berbeda pendapat dengan ketua dan anggota satu. Mestinya mekanisme yang diikuti menerapkan ketentuan pasal 182 ayat 6 huruf b, yaitu diputus sesuai pandangan hakim yang menguntungkan, di mana dissenting opinion hakim anggota tiga dan empat," demikian Arief.
[rus]