Salah satu tugas berat itu adalah berkaitan dengan disposisi Presiden Soeharto soal BLBI yang diduga mendorong terjadinya pelanggaran dalam pengucuran BLBI, mengandung indikasi maksud atau kepentingan tertentu untuk menyelamatkan bank-bank milik para kroni yang sebenarnya sudah waktunya dilikuidasi.
Dengan disposisi tersebut, bank-bank tak sehat dan bermasalah tidak jadi dilikuidasi, tetapi terselamatkan lewat merger dan akuisisi. Bank yang jadi sorotan adalah Bank Utama. Akibat disposisi, Bank Utama yang sebagian besar sahamnya dimiliki anak-anak Soeharto tetap mendapat fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK) senilai Rp 531 miliar padahal capital adequacy ratio (CAR) atau perbandingan modal dengan aset tertimbang menurut risiko Bank Utama waktu itu kurang dari dua persen.
Disposisi Soeharto yang salinannya bocor ke kami ditandatangani oleh Soeharto sendiri. Bunyinya: "Mangkin cepat persetujuan ini dilakukan akan memperkecil kerugian."
Setelah mendapat disposisi Soeharto, Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad segera mengirimkan memo berkualifikasi rahasia dan segera, bernomor MO-67/MK/1997 kepada Gubernur Bank Indonesia, J Soedradjad Djiwandono. Memo tertanggal 26 Agustus 1997 itu berbunyi, "Minggu yang lalu, melalui ajudan Bapak Presiden kami menerima dokumen berikut disposisi Bapak Presiden yang selengkapnya bersama ini kami lampirkan. Dokumen dimaksud telah kami sampaikan secara lisan dan kami perlihatkan kepada saudara dalam rapat Dewan Moneter minggu lalu, yaitu mengenai merger PT Bank Harapan Sentosa dan PT Bank Utama. Sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia, kiranya perlu diambil langkah-langkah lebih lanjut. Atas perhatian saudara diucapkan terima kasih".
Menyangkut disposisi Soeharto tersebut, Panja BLBI merumuskan kemungkinan adanya pelanggaran dari sudut kebijakan, ketidaksesuaian peraturan yang ditetapkan sendiri oleh pemerintah, dan adanya pelanggaran dalam pelaksanaannya. Di sisi lain, terungkapnya disposisi Soeharto ke publik saat itu membuat Panja BLBI harus mengambil tindakan cepat.
Secara mendadak, kami delapan anggota Panja BLBI yaitu Sukowaluyo, Didi Supriyanto (F-PDI Perjuangan), Eki Syachrudin, Usman Ermulan (F-Partai Golkar), HM Danial Tanjung, Habil Marati (F-PPP), HM Hatta Taliwang (F-Reformasi) dan FX Sumitro (F-KKI), diikuti puluhan wartawan mendatangi kediaman Soeharto, tepat sehari setelah ulang tahun saya yang ke 46, pada tanggal 18 Februari 2000. Kedatangan kami untuk meminta penjelasan tentang kebijakan pengucuran BLBI yang diambil pemerintah semasa Soeharto masih berkuasa.
Keputusan mendatangi Soeharto ini diambil, karena Soeharto tidak bisa memenuhi undangan untuk memberikan penjelasan di Gedung DPR/ MPR. Kedatangan ke rumah Soeharto, menunjukkan sikap tegas Panja BLBI setelah surat alasan sakit yang dikirim Sekretaris Pribadi (Sespri) Soeharto, Anton Tabah, dinilai tidak sesuai dengan isi undangan DPR yang ditandatangani Wakil Ketua DPR H Tosari Widjaya.
Dalam jawaban suratnya, Anton Tabah tidak memberikan konfirmasi kehadiran maupun ketidakhadirannya sesuai undangan Panja. Anton hanya melampirkan Surat Keterangan Sakit yang dikeluarkan Ketua Tim Dokter, dr Teguh AS Ranakusuma SpSK untuk kepentingan pemeriksaan pidana korupsi oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus.
Sebelum berangkat, Panja BLBI memberikan toleransi waktu satu jam agar Anton Tabah memperbaiki surat yang dikirimkan. Namun, setelah satu jam berlalu, surat tersebut belum juga dikirimkan, sehingga Panja BLBI memutuskan untuk berangkat ke rumah Soeharto.
Dalam kunjungan selama kurang lebih 50 menit itu, Panja BLBI tidak berhasil menemui Soeharto. Kami tidak dihalang-halangi. Ibu Tutut (Ny Siti Hardiyanti Rukmana), menerima kami, meminta maaf bahwa Pak Harto tidak bisa ditemui, karena sakit.
Dalam pertemuan tersebut, Tutut didampingi Agus Sutjipto, dokter pribadi Soeharto dan tim pengacaranya, yang terdiri dari Juan Felix Tampubolon, M Assegaf, Denny Kailimang, dan Indriyanto Seno Adji. Kami diajak masuk ke ruangan dimana Soeharto terbaring dalam posisi sedang dalam perawatan (infus).
Tentu saja Soeharto tidak dpt menjawab lima pertanyaan tertulis yang diajukan dan disiapkan Panja karena tidak bisa berkomunikasi, dan memorinya terganggu,kata dokter Agus. Namun, kami tetap berharap nantinya pertanyaan tersebut dapat disampaikan ke Soeharto dan segera diberi jawaban. Panja berharap sebelum tanggal 27 Februari jawaban tertulis itu sudah dikirimkan ke DPR, agar Panja BLBI bisa segera membuat kesimpulan dan rekomendasi.
Sampai akhir tugas Panja BLBI, Soeharto tidak pernah memberi jawaban!
Pada akhir tugas Panja BLBI ada puluhan nama yang kami rekomendasi untuk ditindak lanjuti oleh penegak hukum. Namun entah bagaimana ujungnya, karena tidak lama kemudian Gus Dur jatuh. Presiden penggantinya dengan Menteri Keuangannya Boediono membuat kebijakan yang membuat urusan BLBI ini abu abu.
Sampai sekarang skandal keuangan terbesar sejak RI merdeka ini penyelesaiannya tidak memberi rasa keadilan bagi rakyat.
[***]
BERITA TERKAIT: