Syaratnya, konvensi dijadikan sebagai wahana untuk merespons dinamika kecenderungan pemilih dengan memasukkan nama-nama capres dan cawapres berdasarkan tingkat elektabilitas hasil jaring pendapat publik dan terbuka munculnya calon alternatif.
Demikian disampaikan peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity, Endang Tirtana kepada
Rakyat Merdeka Online pagi ini (Senin, 15/4).
Bedahal kalau konvensi dilakukan dengan pemilihan berdasarkan mekanisme internal pengurus parpol yang menggunakan hak suara seperti DPW dan DPC untuk memilih kandidat yang berstatus kader internal partai.
"Ini yang disebut sebagai sisi gelap modal sosial, dimana organisasi menjadi ekslusif dan tidak membuka peluang bagi orang diluar partai untuk masuk," ungkapnya.
Meski begitu, pilihan berdasarkan internal itu bisa dimaklumi, karena alasan kaderisasi, prioritas kader internal, dan kontrol organisasi. Jika sudah percaya diri dengan kualitas kader dan loyalitas masa pemilih, cara ini tetap bisa dipakai.
"Akan tetapi masyarakat secara umum akan menyoroti mekanisme umum semacam ini yang penuh dengan aksi 'jual beli suara', dan bisa jadi ekses negatifnya adalah menurunnya elektabilitas Parpol yang dimaksud," ungkapnya.
Terlepas dari itu semua, sambung Endang, mekanisme kedua itu tetap bagus untuk ditempuh dibandingkan mekanisme penetapan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Kemarin, Ketua DPD PD Sulawesi Tenggara M Endang, menjelaskan mekanisme konvensi ini direncanakan semi terbuka. Artinya, dilakukan list terlebih dulu kemudian dilemparkan ke masyarakat.
"Kami akan me-list yang dianggap potensial, kemudian diminta komitmennya bersih dan menjalankan platform partai, kemudian baru kita lempar mintakan pandangan masyarakat," ujarnya.
[zul]
BERITA TERKAIT: